Selayang Pandang
dr. Rizky Ardiansyah, M.Ked (Ped), Sp.A(K), bukan sekadar dokter anak. Ia teladan intelektual muda dunia medis yang memadukan kepakaran klinis, keberanian moral, dan integritas akademik. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ini dikenal luas sebagai kader terpelajar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kritis namun santun. Ia tak hanya menyembuhkan pasien, tetapi juga menyuarakan nurani—bahkan ketika kritik itu diarahkan ke jantung kekuasaan: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sebagai bagian dari tim RSUP H. Adam Malik, dr. Rizky berkontribusi dalam operasi pemisahan bayi kembar siam selama 12 jam yang melibatkan 50 dokter lintas disiplin—suatu prestasi kolektif yang tak ternilai. Namun alih-alih penghargaan, kritik konstruktifnya terhadap sistem pendidikan dokter anak justru dibalas pemecatan dan cap "tidak disiplin". Ini ironi yang menohok: ketika dedikasi dibalas dengan represi.
Dimana Negara Saat Nurani Dilukai
Ketika seorang dokter berdiri membela etik profesi dan menyuarakan kritik, lalu dibalas dengan pemecatan dan intimidasi administratif, publik patut bertanya: di manakah negara saat suara nurani dilukai? dr. Rizky, sebagai profesional medis dan warga negara, telah menjalankan kewajiban moral sekaligus hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat. Dan ketika suara itu dibungkam, kita berhadapan dengan ancaman nyata terhadap kebebasan sipil di republik ini.
Kebebasan berpendapat bukan hadiah negara, tapi hak kodrati manusia. Bill of Rights dalam Konstitusi Amerika Serikat secara terang melarang negara membatasi kebebasan berbicara. Prinsip ini bersifat universal. Dalam konteks Indonesia, Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan setiap warga menyatakan pendapat. Kritik dr. Rizky terhadap Koligium Kesehatan Anak (KKA) seharusnya dibaca sebagai bentuk ethical review, bukan dianggap makar intelektual.
Antikritik Adalah Otoritarianisme
Alih-alih didengar, suara dr. Rizky dibalas dengan stempel 'tidak disiplin'—sebuah bentuk soft repression yang membungkam tanpa kekerasan, namun melukai lebih dalam. Ini bukan sekadar persoalan personal. Ini soal kemunduran demokrasi, jika profesi dijadikan alat kekuasaan dan kritik disamakan dengan pembangkangan.
Teori natural rights dari John Locke menegaskan: bila negara menindas hak kodrati warga, negara kehilangan legitimasi moralnya. Immanuel Kant lewat teori moral autonomy mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang bertanggung jawab menyuarakan kebenaran. Kritik bukan ancaman, tapi bentuk tertinggi tanggung jawab warga negara.
Lebih dari itu, Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights dan ICCPR—yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 12 Tahun 2005—menjamin kebebasan berekspresi. Maka, tekanan terhadap dr. Rizky bukan hanya pelanggaran hak nasional, tapi juga pengingkaran terhadap komitmen internasional Indonesia dalam HAM.
Preseden Yang Membahayakan
Kasus ini menjadi preseden buruk. Jika seorang dokter yang menyuarakan etika profesi bisa dibungkam, maka siapa lagi yang aman? Apakah kita hendak melanggengkan budaya diam, bahkan ketika sistem menyimpang? Demokrasi tanpa kritik adalah tirani yang dibungkus rapih dengan retorika prosedural.
Mereka yang membungkam kritik atas nama stabilitas, sejatinya sedang memupuk otoritarianisme. Dalam masyarakat terbuka, stabilitas justru lahir dari feedback, bukan ketakutan. Kritik harus dijawab dengan dialog, bukan skorsing. Direspons dengan kajian, bukan pemecatan.
Kita pun tak boleh abai terhadap prinsip perlindungan whistleblower. Dalam banyak sistem hukum, termasuk di Indonesia, pelapor dugaan pelanggaran sistem harus dilindungi, bukan dihukum. Jika dr. Rizky menyuarakan dugaan ketimpangan dalam sistem KKA, maka reaksi etis yang sepatutnya adalah investigasi independen, bukan intimidasi birokratik.
Intelektual Organik dan Etika Profesi
dr. Rizky sedang menjalankan fungsi intelektual organik ala Antonio Gramsci: tidak tunduk pada status quo, tetapi menjadi katalis perubahan. Ia menginterupsi diamnya sistem demi etika publik. Ia berani mengambil risiko demi integritas profesi. Bukankah ini bentuk loyalitas yang sejati?
Bila negara dan institusi tetap bungkam, maka kebebasan akademik dan otonomi profesi sedang dikebiri. Sistem yang anti kritik hanya akan memperbanyak kepalsuan. Justru melalui kritik, sistem diberi kesempatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Pertanyaannya kini: apakah demokrasi di Indonesia sungguh hidup, atau sekadar ilusi prosedural yang kosong makna? Demokrasi sejati tak hanya mempersilakan pemilu, tapi juga menjamin kebebasan menyuarakan suara yang berbeda, bahkan ketika suara itu mengguncang kenyamanan kekuasaan.
Kini Saatnya Kita Bersikap
Kasus dr. Rizky adalah panggilan moral. Hari ini, seorang dokter diintimidasi karena menyuarakan kebenaran. Besok, bisa jadi giliran siapa pun di antara kita. Karena dalam masyarakat di mana nurani dibungkam, kebebasan akan mati pelan-pelan, digantikan ketakutan yang dijaga oleh keheningan.
Kini saatnya masyarakat sipil bersuara: mahasiswa, akademisi, jurnalis, tenaga medis, pembela HAM. Diam bukanlah netralitas, tetapi bentuk lain dari keberpihakan pada ketidakadilan. Kita tak bisa tinggal diam ketika kebenaran diseret ke meja disiplin, hanya karena ia berani keluar dari barisan.
Kebebasan berpendapat bukan sekadar hak legal, tapi tindakan moral. dr. Rizky telah menunjukkan keberanian itu. Sekarang, giliran kita menjaga agar suara itu tak padam. Karena jika satu suara nurani dibungkam hari ini, maka seluruh republik bisa mati dalam diam esok hari.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Referensi
Locke, John. Two Treatises of Government. London: Awnsham Churchill, 1689.
Kant, Immanuel. Groundwork of the Metaphysics of Morals. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
United Nations. Universal Declaration of Human Rights. 1948.
United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights. 1966.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
UUD 1945 Pasal 28E dan 28I.
Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers, 1971
Posting Komentar
0Komentar