Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menolak pemanggilan Joko Widodo sebagai saksi dalam perkara korupsi yang menjerat Tom Limbong menyentuh jantung sistem peradilan pidana kita. Dalam perspektif hukum pidana, kehadiran saksi bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen vital dalam membangun kebenaran materil. Oleh karena itu, penolakan terhadap saksi yang disebut relevan oleh pihak pembela atau penuntut harus diuji ketat secara yuridis, bukan sekadar ditimbang secara politis.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas melalui Pasal 160 ayat (1) menempatkan kesaksian sebagai alat bukti utama. Hakim berkewajiban mendengar keterangan saksi secara langsung di ruang sidang. Lebih lanjut, Pasal 224 KUHAP memberi ancaman pidana bagi siapa pun yang sengaja mangkir sebagai saksi. Artinya, tidak ada kekebalan hukum yang melekat pada posisi mantan presiden dalam kapasitas sebagai saksi. Joko Widodo, secara hukum, adalah warga negara biasa yang wajib hadir jika dipanggil sah.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 memberikan pedoman teknis yang memperkuat posisi hukum ini. SEMA menyebutkan bahwa ketidakhadiran saksi dapat ditindaklanjuti dengan pemanggilan paksa melalui aparat kepolisian. Maka menjadi ganjil apabila pengadilan sendiri yang justru menutup pintu bagi kemungkinan kesaksian dari seseorang yang diduga memiliki pengetahuan penting tentang aliran kebijakan atau dana yang relevan dengan dakwaan.
Asas audi et alteram partem, atau prinsip mendengar kedua belah pihak, menjadi tiang penyangga keadilan prosedural. Ketika terdakwa melalui penasihat hukumnya mengajukan permintaan untuk menghadirkan saksi, termasuk Joko Widodo, maka penolakan tanpa argumentasi hukum yang terang benderang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak terdakwa untuk membela diri secara optimal. Ini bukan hanya soal prosedur, tetapi soal penghormatan terhadap prinsip peradilan yang adil (fair trial).
Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 006/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa hak menghadirkan saksi merupakan bagian dari hak konstitusional setiap warga negara. Jika saksi dinilai tidak relevan, pengadilan memiliki kewenangan menilai bobot keterangan tersebut dalam proses persidangan, bukan menolaknya sejak awal secara mutlak. Tindakan pengadilan yang menutup ruang kesaksian bahkan sebelum diuji di forum pengadilan dapat menciptakan preseden buruk bagi praktik keadilan.
Lebih jauh, dalam perkara Nazaruddin dan kasus Bank Century, pengadilan secara terbuka menghadirkan pejabat tinggi negara sebagai saksi. Bahkan dalam beberapa kasus, menteri aktif dipanggil untuk memberi keterangan. Artinya, secara doktrinal dan praktik, tidak ada halangan hukum untuk menghadirkan Joko Widodo sebagai saksi. Justru menjadi preseden menyimpang apabila pengadilan menolak saksi hanya karena status sosial-politiknya yang tinggi.
Dari aspek asas legalitas (nullum crimen sine lege), keputusan pengadilan yang menolak saksi tanpa dasar hukum eksplisit patut dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip tersebut. Pengadilan adalah pelaksana undang-undang, bukan pencipta norma baru. Maka, tidak semestinya hakim bertindak sebagai penjaga kepentingan politik, apalagi jika keputusan tersebut tidak disertai penjelasan yuridis dalam putusan sela atau berita acara persidangan.
Sikap Majelis Hakim ini juga dapat diuji dari aspek etika yudisial. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) mengamanatkan independensi, imparsialitas, dan integritas dalam setiap tahapan peradilan. Bila penolakan saksi dilakukan tanpa prosedur yang transparan dan akuntabel, maka patut menjadi perhatian Komisi Yudisial. Integritas hakim bukan hanya soal bebas suap, tetapi juga menyangkut keberanian membuka ruang bagi seluruh kebenaran hukum yang relevan.
Keterangan seorang saksi tidak semata-mata untuk membuktikan kesalahan, tetapi bisa menjadi bagian dari exculpatory evidence—yaitu bukti yang meringankan terdakwa. Maka dari itu, kehadiran Joko Widodo bisa memberi penjelasan struktural atas keputusan atau aliran kebijakan yang bersinggungan dengan dakwaan terhadap Tom Limbong. Dengan menolaknya, pengadilan justru menutup kemungkinan pemahaman yang utuh terhadap peristiwa pidana yang sedang diadili.
Lebih krusial lagi, penolakan ini berisiko mencederai prinsip keterbukaan pengadilan. Dalam masyarakat demokratis, keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi harus tampak ditegakkan (justice must not only be done, but must also be seen to be done). Ketika hakim memutus tanpa transparansi dan menyembunyikan alasan yuridis, maka kepercayaan publik pada pengadilan akan terkikis. Hal ini berbahaya dalam jangka panjang bagi legitimasi institusi peradilan itu sendiri.
Dalam konteks sistem hukum pidana, pengadilan bertugas mencari kebenaran materiil, bukan sekadar kebenaran formal. Menolak saksi potensial yang dapat memperjelas konstruksi peristiwa pidana adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar ini. Lebih dari itu, pengadilan bukan forum untuk menjaga citra kekuasaan, melainkan panggung untuk membongkar fakta hukum, seberapa pun sensitifnya fakta tersebut.
Oleh sebab itu, tindakan Majelis Hakim yang menolak pemanggilan Joko Widodo sebagai saksi merupakan preseden yang merusak sendi-sendi peradilan yang adil dan setara. Di hadapan hukum, tidak boleh ada “warga negara istimewa”. Jika hukum tunduk pada politik, maka yang akan runtuh bukan hanya satu perkara, tetapi bangunan kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
____________
Daftar Pustaka
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Jakarta: Sekretariat Negara, 1981.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Amandemen ke-IV. Jakarta: Sekretariat Negara, 2002.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pemanggilan Saksi dan Terdakwa. Jakarta: MA-RI, 2011.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 tentang Hak atas Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak (Fair Trial). Jakarta: MK-RI, 2006.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 tentang Pemanggilan dan Pemeriksaan Saksi. Jakarta: MK-RI, 2010.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Nomor 69/Pid.B/2016. Arsip Putusan PN Jakpus, 2016.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2009.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Posting Komentar
0Komentar