"Akibat Hukum Ketidakhadiran Joko Widodo Sebagai Saksi Dalam Sidang Tipikor Tom Lembong"

Media Barak Time.com
By -
0

 


Dalam ruang sidang pengadilan Tipikor, ketidakhadiran seorang saksi bukan sekadar absensi; ia adalah peristiwa hukum. Terlebih jika yang tidak hadir adalah Joko Widodo, mantan Presiden Republik Indonesia, yang diminta memberikan kesaksian dalam perkara korupsi yang menyeret Tom Lembong. Absennya beliau dalam posisi sebagai warga negara biasa menimbulkan pertanyaan mendasar: apa akibat hukumnya? Pertanyaan ini tak hanya menggugah sisi normatif KUHAP, tetapi juga menyentuh etika keadilan dan praktik yurisprudensi.


Pasal 159 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa saksi yang telah dipanggil secara sah wajib hadir di persidangan. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, posisi saksi memiliki dimensi strategis karena pembuktian pidana sangat bergantung pada kesaksian langsung, selain alat bukti lain. Ketika saksi yang relevan tidak hadir, proses penegakan hukum bisa terganggu. Maka, kehadiran saksi bukan sekadar formalitas, tetapi elemen substantif dalam proses mencari kebenaran hukum.


Lebih jauh, Pasal 224 KUHP menyebutkan bahwa siapa pun yang telah dipanggil secara patut oleh pengadilan sebagai saksi dan dengan sengaja tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah, dapat dipidana maksimal sembilan bulan penjara atau denda. Ini bukan pasal mati. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pemanggilan saksi bukan tawaran; ia adalah perintah hukum yang mengikat. Status mantan Presiden tidak menghapus kewajiban itu. Ketika jabatan ditanggalkan, imunitas pun gugur. Yang tersisa adalah kewajiban warga negara di hadapan hukum.


Ketentuan hukum tersebut diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 1983, yang menegaskan bahwa pemanggilan saksi harus dilakukan secara patut melalui surat resmi dan dilaksanakan oleh pihak berwenang. Dalam konteks ini, jika pemanggilan terhadap Jokowi telah dilakukan secara sah oleh majelis hakim atas permintaan penasihat hukum, maka secara hukum beliau berkewajiban hadir. Jika tidak, terdapat konsekuensi yuridis yang tidak bisa diabaikan.


Yurisprudensi MA No. 857 K/Pid/1986 memberikan preseden bahwa ketidakhadiran saksi yang relevan dapat menyebabkan cacat dalam proses pembuktian. Dalam perkara-perkara korupsi, di mana struktur dan alur kekuasaan menjadi bagian dari anatomi kejahatan, kesaksian dari tokoh yang memiliki informasi strategis sangat menentukan. Maka, ketidakhadiran Jokowi tidak hanya menghambat kebenaran hukum, tetapi juga bisa dimaknai sebagai tindakan yang berdampak terhadap legitimasi peradilan.


Alasan sah untuk tidak hadir tetap dibuka oleh hukum. KUHAP memberi ruang bagi saksi untuk menunda kehadiran karena alasan kesehatan, keselamatan pribadi, atau force majeure. Namun, alasan tersebut harus dibuktikan secara objektif, bukan asumtif. Jika tidak ada alasan sah yang disampaikan secara tertulis dan dapat diverifikasi, maka ketidakhadiran mantan Presiden berpotensi melanggar Pasal 224 KUHP secara formil.


Dari sisi etik, ketidakhadiran Jokowi juga menyentuh dimensi moralitas politik. Sebagai tokoh yang pernah bersumpah menegakkan hukum dan konstitusi, ketidaksediaannya untuk hadir di hadapan majelis hakim dapat ditafsirkan publik sebagai sikap menghindar. Padahal, kehadirannya justru dapat menjadi bentuk teladan bahwa hukum tidak mengenal eksistensi kekuasaan, hanya mengenal fakta dan bukti. Apalagi jika keterangan yang diminta menyangkut kebijakan atau persetujuan yang secara administratif diketahui langsung oleh dirinya.


Jika ketidakhadiran Jokowi dinilai tidak sah, maka hakim dapat memerintahkan pemanggilan ulang. Bahkan jika diperlukan, KUHAP membuka ruang untuk melakukan pemanggilan paksa melalui perintah hakim kepada aparat kepolisian. Tindakan ini sah secara hukum dan tidak boleh ditafsirkan sebagai bentuk pelecehan terhadap mantan kepala negara, melainkan sebagai upaya menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu.


Namun, perlu dicermati pula bahwa tidak semua permintaan kehadiran saksi harus dikabulkan. Majelis hakim memiliki diskresi untuk menilai relevansi dan urgensi keterangan saksi terhadap pokok perkara. Jika hakim menilai bahwa keterangan Jokowi bersifat tidak substansial atau hanya mengulang keterangan lain, maka pemanggilan bisa dianggap tidak perlu. Akan tetapi, jika permintaan telah disetujui dan surat panggilan telah dikeluarkan, maka absensi tanpa dasar sah tetap menjadi pelanggaran hukum.


Secara politik-hukum, kasus ini juga menjadi ujian bagi wajah sistem peradilan pasca kekuasaan. Apakah mantan pejabat tinggi negara masih tunduk pada panggilan hukum setelah kekuasaan ditanggalkan? Atau justru hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah secara struktur? Bila dibiarkan, ketidakhadiran tanpa sanksi akan membuka ruang pembangkangan terhadap panggilan hukum, terutama bagi elite yang merasa tak tersentuh.


Dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, kesaksian pejabat tinggi (baik aktif maupun pensiun) bukan hal baru. Presiden SBY, Megawati, hingga Wiranto pernah dimintai keterangan dalam berbagai sidang, meski sebagian cukup memberikan pernyataan tertulis atau melalui kuasa hukum. Namun kunci legalitasnya tetap ada pada sah tidaknya panggilan hakim dan keabsahan alasan ketidakhadiran.


Pengadilan Tipikor sebagai forum ultra-serius dalam pemberantasan korupsi membutuhkan ketegasan. Dalam ruang sidang Tipikor, tidak ada ruang untuk feodalisme atau glorifikasi kekuasaan yang sudah lalu. Yang ada hanyalah fakta, hukum, dan keberanian untuk menyingkap yang tersembunyi. Maka, kehadiran atau ketidakhadiran Jokowi bukan lagi isu personal, tapi isu sistemik yang menguji integritas sistem hukum kita.


Ketika saksi penting tak hadir dan tidak dijatuhi konsekuensi hukum, maka pesan yang disampaikan kepada publik adalah bahwa hukum tidak setara. Ketika mantan presiden bisa menolak hadir tanpa sanksi, maka warga biasa pun boleh merasa bebas untuk melakukan hal serupa. Ini bukan hanya soal satu orang, ini soal prinsip: hukum harus bekerja tanpa melihat nama, jabatan, atau sejarah kekuasaan.


Maka, jika bangsa ini masih percaya pada semangat reformasi hukum, pemanggilan terhadap Jokowi harus diproses secara sah, dan ketidakhadirannya —jika tanpa alasan—harus dijatuhi konsekuensi hukum. Hanya dengan cara itu, supremasi hukum tidak menjadi slogan kosong yang diabaikan oleh mereka yang pernah berdiri di puncak kekuasaan.


Demikian.


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.


Daftar Pustaka:


1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 159 dan 160.


2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 224.


3. SEMA No. 4 Tahun 1983 tentang Pemanggilan Saksi.


4. Yurisprudensi MA No. 857 K/Pid/1986.


5. Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)