USU: Janji Pencegahan Korupsi vs. Realita Temuan BPK yang Mencengangkan"

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH. (Ketua Forum Penyelamat USU).


Pendahuluan 


Ironinya, hanya berselang beberapa bulan sebelum laporan audit itu dirilis, Rektor USU menerbitkan Keputusan Nomor 418/UN5.1.R/SK/SDM/2024 tentang Pedoman Rencana Aksi Pencegahan Korupsi (RAPK). Dokumen tersebut semestinya menjadi pijakan moral dan administratif dalam membangun budaya antikorupsi di lingkungan kampus. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Temuan BPK menunjukkan bahwa komitmen itu gagal menembus dinding birokrasi yang sudah lama kedap terhadap etika akuntabilitas.


Dalam konteks ini, ucapan mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, terasa menohok: "Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya mencuri uang negara, tapi merampas masa depan bangsa." USU sebagai institusi pencetak intelektual telah mengkhianati fungsinya sebagai benteng moral bangsa. Ketika pejabat kampus lebih sibuk mengakali sistem daripada membenahinya, maka yang lahir adalah sarjana-sarjana apatis terhadap korupsi, atau bahkan siap menormalisasikannya.


Lebih jauh, temuan BPK terkait dugaan honorarium fiktif dan mark-up pengadaan bukan sekadar kesalahan administratif. Ia mencerminkan struktur moral kampus yang permisif terhadap penyimpangan. Ini adalah kegagalan kolektif—mulai dari rektorat, SPI, hingga Majelis Wali Amanat—untuk membangun tata kelola berbasis etika publik. Rencana Aksi Pencegahan Korupsi yang disusun menjadi sekadar dokumen simbolik, tanpa daya eksekusi maupun pengawasan yang independen.


Jika USU tidak segera melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk kemungkinan keterlibatan pidana, maka integritas institusi ini berada di ambang krisis. Sebab dalam dunia akademik, kepercayaan publik adalah modal utama. Dan sekali integritas itu runtuh, maka tidak ada ijazah, jurnal, ataupun akreditasi yang bisa menutupinya. Di titik ini, kampus harus memilih: memperbaiki sistem dari akar, atau tinggal menunggu kejatuhan yang lebih dalam.


Kampus dan Korupsi: Ironi Institusi Intelektual


Universitas Sumatera Utara (USU) kini memasuki babak baru. Bukan lagi sekadar polemik administratif, melainkan krisis yang menyentuh jantung integritas dunia akademik. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan dugaan penyimpangan pengelolaan dana publik senilai Rp28 miliar dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Fakta ini diperkuat oleh sorotan tajam Indonesian Audit Watch (IAW) yang menyebut USU sebagai “contoh nyata degradasi tata kelola di lingkungan pendidikan tinggi negeri.”


Dalam kerangka teori sistem sosial Talcott Parsons, kampus sejatinya berperan menjaga integrasi nilai—termasuk kejujuran, transparansi, dan etika publik. Namun, bila universitas justru gagal menegakkan prinsip moral paling elementer, maka institusi itu kehilangan legitimasi sosial. Korupsi di lingkungan akademik bukan sekadar kejahatan anggaran; ia adalah indikasi membusuknya akar nilai yang selama ini menjadi fondasi keberadaan kampus. Maka pertanyaannya: jika universitas tak mampu menjadi teladan moral, bagaimana mungkin kita berharap pejabat, birokrat, atau mahasiswa menjunjung tinggi etika publik?


USU selama ini kerap menggelorakan semangat Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi (ZI-WBK) dalam pidato Dies Natalis dan berbagai platform resmi. Tetapi apa gunanya jargon jika realitasnya justru dibantah oleh temuan audit lembaga negara? Temuan BPK dan BPKP tidak main-main—terdapat indikasi honor fiktif, pengadaan barang dan jasa yang dimark-up, hingga penyalahgunaan dana non-akademik yang melanggar prinsip pengelolaan keuangan negara. Lebih menyedihkan lagi, hingga kini belum terlihat langkah serius pihak kampus dalam melakukan evaluasi terbuka dan pertanggungjawaban publik.


Ketika penyimpangan semacam ini dianggap sebagai “kesalahan teknis”, bukan pelanggaran etika, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan kemunduran moral dalam bentuk paling telanjang. Kampus bukan hanya gagal mengajarkan kejujuran, tapi justru sedang memperlihatkan bahwa integritas bisa dinegosiasikan. Jika tak ada reformasi serius, USU berisiko menjadi studi kasus kelam tentang bagaimana sebuah lembaga pendidikan tinggi dapat runtuh bukan karena kekurangan ilmu, melainkan karena hilangnya moralitas.


Data vs Janji: Apa Kata BPK?


Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai institusi akademik yang seharusnya menjadi menara integritas, kini tengah berada dalam pusaran sorotan publik akibat serangkaian temuan audit negara. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan indikasi penyimpangan pengelolaan dana publik senilai Rp28 miliar dalam satu dekade terakhir. Rincian temuan mencakup berbagai aspek, mulai dari pelaksanaan kegiatan internal hingga pengelolaan aset bernilai tinggi yang seharusnya menopang pendidikan dan riset.


Beberapa poin mencolok dari LHP BPK terhadap USU mencakup pembayaran honorarium kegiatan senilai lebih dari Rp1,2 miliar tanpa bukti pelaksanaan yang memadai. Tidak hanya itu, pengadaan alat laboratorium dan infrastruktur diduga mengalami mark-up dan tidak sesuai spesifikasi teknis, yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, dana kemahasiswaan yang semestinya untuk menunjang aktivitas mahasiswa, justru dialihkan tanpa prosedur yang transparan dan akuntabel. Ini bukan hanya kesalahan administratif, tapi kegagalan menjaga amanah publik.


Yang lebih memprihatinkan, kegiatan kemitraan internasional dan penelitian yang selama ini dipamerkan dalam laporan prestasi, ternyata menyimpan praktik double funding. Artinya, satu kegiatan dibiayai oleh lebih dari satu sumber dana—baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam terminologi audit, ini disebut sebagai moral hazard, yaitu perilaku oportunistik yang menabrak etika penggunaan anggaran. Bila praktik ini dibiarkan, maka dunia akademik telah ikut merayakan kelicikan dalam balutan intelektualisme.


Kasus besar lainnya yang kini mengemuka adalah soal pengelolaan kebun sawit USU di Tabuyung, Mandailing Natal. Kebun yang seyogianya menjadi ladang penguatan ekonomi universitas dan pembelajaran bagi mahasiswa, justru berujung pada laporan kerugian. Anehnya, kebun ini malah dijadikan jaminan untuk kredit sebesar Rp228 miliar ke Bank Negara Indonesia (BNI). Dengan agunan berupa kebun sawit yang dinyatakan tidak optimal pengelolaannya, muncul pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab atas risiko finansial yang ditanggung institusi pendidikan ini?


Ironisnya, semua ini terjadi di tengah semangat Zona Integritas dan Rencana Aksi Pencegahan Korupsi (RAPK) yang dikumandangkan Rektor USU sejak 2024. Retorika antikorupsi tidak cukup bila tata kelola internal dibiarkan cacat struktural. Ketika kampus gagal menjalankan akuntabilitas, maka krisis kepercayaan tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam: dari mahasiswa, dosen, hingga rakyat pembayar pajak yang menyokong anggaran pendidikan tinggi. USU sedang menghadapi ujian integritas terbesar dalam sejarahnya, dan hanya keterbukaan serta tindakan tegas yang bisa menyelamatkannya dari kehancuran moral yang lebih dalam.


Anatomi Kegagalan Etika Akademik


Korupsi akademik adalah ironi intelektual paling pahit dalam masyarakat modern. Mengutip sosiolog Robert K. Merton, penyimpangan sosial seperti korupsi terjadi ketika terdapat strain antara tujuan budaya—dalam hal ini integritas dan pengabdian ilmu—dengan cara-cara institusional yang gagal mewadahi pencapaian tujuan tersebut. Ketika prestise dan keuntungan material mulai lebih dihargai daripada kebenaran ilmiah dan moralitas akademik, maka etika akan direduksi menjadi slogan formalistik belaka. Di titik inilah, penyimpangan dalam universitas tidak lagi sekadar pelanggaran, melainkan pengkhianatan terhadap nilai dasar pendidikan itu sendiri.


Ironi ini semakin tragis ketika terjadi dalam institusi seperti Universitas Sumatera Utara (USU), yang sejatinya menjadi pusat lahirnya sarjana hukum, akuntan, ekonom, ilmuwan, hingga pendidik. Di balik toga dan gelar akademik, terdapat aktor-aktor struktural yang justru memainkan peran koruptif dalam sistem meritokrasi kampus. Mereka tidak hanya memanfaatkan celah administratif, tetapi juga mencederai kepercayaan publik yang membiayai pendidikan tinggi melalui pajak. Ini bukan sekadar penyimpangan, tetapi bentuk degradasi moral dalam ruang yang seharusnya paling steril dari korupsi.


Lebih jauh, dalam bukunya Peran Akuntansi dalam Korupsi (USU Press), Moenaf H. Regar menguraikan bagaimana praktik akuntansi—yang semestinya menjadi alat kontrol keuangan—malah dapat dijadikan “selimut legalitas” bagi praktik penyelewengan dana publik. Menurut Regar, penyimpangan dalam audit dan pembukuan seringkali bukan karena lemahnya sistem, tetapi karena adanya kompromi antara aktor pengelola dan pengawas. Dalam konteks USU, temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi bukti nyata bahwa sistem bisa dilumpuhkan dari dalam, oleh mereka yang seharusnya menjaganya.


Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan internal dan ketiadaan keberanian dalam membongkar jejaring kekuasaan akademik. Sebuah ekosistem yang kerap mengandalkan hierarki dan loyalitas, membuat pelaporan terhadap penyimpangan dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Kampus sebagai institusi moral, akhirnya tak lebih dari institusi birokratik yang rapuh. Jika para pemimpin akademik tidak segera membersihkan tubuhnya sendiri, maka kampus akan menjadi tempat reproduksi elit korup—bukan pencerah bangsa.


Maka, pertanyaannya kini bukan lagi “apakah korupsi bisa terjadi di kampus?” tetapi “mengapa sistem pendidikan tinggi kita begitu mudah disusupi mentalitas predator?” Jawabannya mungkin terletak dalam kata-kata Merton dan Regar: ketika nilai budaya dikompromikan demi kepentingan material, dan peran keilmuan dikerdilkan oleh nafsu jabatan serta ketakutan kehilangan posisi, maka kampus akan kehilangan daya imunitas sosialnya. Dan jika USU tidak segera bangkit dari pembusukan ini, ia akan mencetak lebih banyak lulusan yang cakap secara akademik, tetapi nihil etika dan tanggung jawab publik.


Kebijakan Tanpa Taji


Keberadaan Satuan Pengawas Internal (SPI) dan berbagai regulasi kampus seperti Peraturan Rektor tentang Tata Kelola Keuangan seharusnya menjadi pagar integritas dalam mengelola dana publik di Universitas Sumatera Utara (USU). Namun sayangnya, pagar ini tampak keropos. Hingga kini, tidak ada keterbukaan mengenai tindak lanjut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tidak ada kejelasan soal sanksi, pemulihan dana, atau perbaikan sistemik yang dilakukan. Transparansi yang menjadi roh akuntabilitas publik justru dikebiri dalam sunyi birokrasi akademik.


Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap penyimpangan keuangan negara yang mencapai Rp100 juta atau lebih sudah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Maka, temuan BPK yang mencapai miliaran rupiah bukan sekadar catatan administratif, melainkan alarm hukum yang seharusnya ditindaklanjuti secara serius. Pembiaran atas pelanggaran semacam ini bukan hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mencoreng marwah akademik kampus itu sendiri.


Lebih ironis lagi, Komite Etik Universitas tampak hilang dalam polemik ini. Tidak ada pernyataan, apalagi tindakan nyata dari lembaga yang seharusnya menjaga standar moral sivitas akademika. Apakah mereka sekadar asesor simbolik yang hanya aktif dalam urusan plagiarisme mahasiswa, tetapi diam saat terjadi pembusukan nilai di level pimpinan? Jika kampus tak mampu mengoreksi dirinya sendiri, maka publik berhak mempertanyakan: masihkah USU pantas menyandang predikat sebagai lembaga pencetak intelektual bangsa?


Perubahan dari Kampus Sendiri


Perubahan sejati di tubuh Universitas Sumatera Utara (USU) tidak mungkin datang dari tekanan eksternal semata. Justru, perubahan itu harus dimulai dari kesadaran internal. Civitas akademika USU—mulai dari Rektor, Senat Akademik, Majelis Wali Amanat, dosen hingga mahasiswa—harus berani mengakui bahwa ada masalah serius dalam tata kelola universitas. Menutup-nutupi atau membungkusnya dengan jargon "integritas akademik" justru akan memperparah krisis kepercayaan.


Audit independen dan reformasi kelembagaan harus didorong secara sistemik. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada laporan tahunan atau pidato seremonial Dies Natalis. Jika perlu, kerjasama dengan lembaga eksternal seperti KPK, Ombudsman, atau Indonesian Audit Watch harus difasilitasi. Seperti diingatkan oleh sosiolog FISIP UI, Imam B. Prasodjo, kampus yang tidak terbuka terhadap kritik dari dalam akan menjadi menara gading yang rapuh—tinggi tapi mudah runtuh karena lemah fondasi moralnya.


Jika hal ini dibiarkan, USU bukan hanya berisiko kehilangan reputasi akademik, tapi juga berubah menjadi "pabrik ijazah"—tempat produksi gelar tanpa integritas, tanpa makna. Kondisi seperti ini tidak hanya merugikan mahasiswa dan orang tua mereka, tapi juga masyarakat yang bergantung pada kampus untuk mencetak pemimpin masa depan. Kredibilitas universitas dibangun dari kejujuran akademik, bukan dari kemegahan gedung atau banyaknya program studi.


Antonio Gramsci pernah mengingatkan bahwa ketika institusi pendidikan kehilangan fungsi moralnya, maka negara sedang kehilangan salah satu penopang hegemoni moralnya. Kampus bukan hanya tempat mengajar dan meneliti, tetapi juga benteng nilai—nilai yang melawan korupsi, manipulasi, dan pembusukan sistemik. Jika benteng ini roboh, maka yang tersisa hanyalah institusi tanpa jiwa.


Penutup 


Universitas Sumatera Utara (USU) adalah rumah besar ilmu pengetahuan. Namun, rumah ini kini retak—bukan oleh badai intelektual, tetapi oleh arus penyimpangan yang menggerogoti fondasi moralnya. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan sekadar laporan teknis, tapi peringatan keras tentang gagalnya kontrol internal dan mandeknya komitmen integritas. Jika kampus saja tak bisa dipercaya mengelola dana publik, bagaimana publik bisa berharap pada lulusannya?


Sudah cukup klarifikasi normatif dan bahasa birokratis yang mengelak. Yang dibutuhkan adalah langkah korektif struktural: audit investigatif ulang, transparansi anggaran, pemulihan kerugian negara, serta reformasi total sistem pengawasan di tubuh kampus. Namun, langkah administratif semata tak akan cukup. Harus ada keterlibatan serius aparat penegak hukum—Kejaksaan, KPK, maupun Kepolisian—untuk memproses temuan-temuan yang masuk kategori pidana. Fakta penyimpangan miliaran rupiah bukan sekadar pelanggaran etik, tapi delik hukum yang tak bisa diselesaikan hanya dengan surat edaran internal.


Tanpa tindakan hukum, maka kita hanya menonton drama lama: pelaku aman, institusi diam, dan publik kembali dilukai. Efek jera hanya lahir dari keberanian menindak. Kampus bukan tempat berlindung para pelanggar integritas. Jika USU tak segera bersih-bersih secara hukum, maka ia hanya akan menjadi simbol kemunduran moral akademik yang menyakitkan. Negeri ini butuh universitas yang menjadi mercusuar etika, bukan pabrik ijazah yang disokong oleh pembiaran korupsi.


Demikian 


Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

____________


Daftar Pustaka


1. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2022–2023. Jakarta: BPK RI.


2. Indonesian Audit Watch (IAW). (2024). https://www.porosjakarta.com/kanal-editorial/066024274/usu-dan-10-tahun-korupsi-dimaafkan-laporan-bpk-ungkap-penyimpangan-rp28-miliar?page=4#sidr.


3. Merton, R. K. (1968). Social Theory and Social Structure. New York: Free Press.


4. Parsons, T. (1951). The Social System. London: Routledge and Kegan Paul.


5. Hehamahua, A. (2012). Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Kompas Pustaka.


6. Regar, Moenaf H. (2015). Peran Akuntansi dalam Mencegah Korupsi di Institusi Pendidikan. Medan: USU Press.


7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


8. Prasodjo, Imam B. (2018). Sosiologi Moral dan Perubahan Sosial. Depok: Pusat Studi Sosiologi FISIP UI.


9. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (2023). Evaluasi Pengelolaan Aset Negara pada Unit Usaha Kebun Sawit Universitas Sumatera Utara. Jakarta: BPKP.


10. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.


11. Dokumen" Keputusan Rektor USU Nomor : 418/UN5.1.R/SK/SDM/2024

Tentang Pedoman Rencana Aksi Pencegahan Korupsi Di Lingkungan USU Tahun 2024-2025":

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)