"Teladan Rasulullah Ibrahim AS: Makna Perjuangan dan Qurban bagi Pergerakan Kaum Muda Hijau Hitam"

Media Barak Time.com
By -
0


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Instruktur HMI Cabang Medan)


_____________


Pendahuluan 


“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

(QS. Al-An’am: 162)


Setiap musim Idul Adha hadir, umat Islam diajak kembali meneladani spirit total obedience dari Nabi Ibrahim AS. Namun bagi kaum muda Hijau Hitam—mereka yang terhimpun dalam HMI—makna qurban bukan sekadar penyembelihan hewan, tetapi panggilan transformatif: menyembelih ego, membakar kepentingan pribadi, dan mengabdi secara total bagi umat dan bangsa.


 Rasulullah Ibrahim AS: Prototipe Manusia Beriman dan Revolusioner


Ibrahim AS bukan hanya tokoh spiritual dalam sejarah kenabian, tetapi juga arsitek utama dari semangat revolusi iman yang menantang struktur sosial, politik, dan keagamaan zamannya. Ia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia hidup dalam sistem tiranik yang dipenuhi simbol kekuasaan represif dan agama yang telah dikooptasi oleh kepentingan penguasa. Saat ia menghancurkan berhala-berhala fisik, sesungguhnya ia sedang meruntuhkan simbol-simbol kekuasaan ideologis yang mengkerangkeng manusia dari berpikir bebas dan bertuhan secara murni.


Kisahnya menyembelih Ismail AS tidak bisa dipahami hanya dalam bingkai spiritualitas personal. Peristiwa itu adalah puncak dari keberanian eksistensial: ketika seorang ayah rela melampaui logika naluri demi menaati panggilan transenden. Dalam tafsir Ali Shariati, qurban bukan sekadar ritual, melainkan tindakan revolusioner: pembebasan dari ikatan kepemilikan, ego, dan kekuasaan yang membungkam nurani. Qurban adalah gugatan terhadap dominasi: terhadap kekuasaan yang menjajah jiwa, terhadap sistem yang meninabobokan kesadaran.


Dalam konteks kekinian, berhala tak lagi berupa patung-patung batu. Ia menjelma dalam bentuk baru: jabatan yang absolut, kekuasaan yang dibungkus agama, dan organisasi yang menjadikan loyalitas buta sebagai kebajikan. Semangat Ibrahim mestinya menyadarkan kader-kader HMI bahwa iman bukanlah ketundukan pasif, tetapi keberanian aktif menegakkan nilai di tengah badai kepentingan. Menjadi Muslim berarti berani berdiri melawan arus kekuasaan ketika kekuasaan itu mencederai keadilan.


Ibrahim tidak menawarkan zona nyaman. Ia menempuh jalan sunyi—berhadapan dengan ayahnya sendiri, ditolak masyarakatnya, dan dibuang ke padang pasir. Jalan Ibrahim bukan jalan kompromi, melainkan jalan konfrontasi terhadap segala bentuk penyimpangan tauhid. Maka menjadi kader HMI seharusnya bukan jalan karier, melainkan jalan pengabdian. Qurban adalah ujian: apakah kita siap kehilangan demi kebenaran? Ataukah kita justru lebih nyaman menjadi penonton yang bertepuk tangan saat kezaliman berlangsung?


Di tengah krisis integritas elite bangsa, kader HMI dihadapkan pada pilihan fundamental: menjadi penjaga akal sehat umat atau menjadi bagian dari sistem yang menggadaikan idealisme. Dalam semangat Ibrahim, keberanian moral adalah nadi perjuangan. Tak cukup hanya cerdas dalam forum dan fasih dalam narasi, tetapi juga siap menanggung konsekuensi atas kebenaran yang dibela. Qurban adalah kesiapan untuk menanggung luka sosial demi suara umat yang terpinggirkan.


Sayangnya, dalam praktiknya, sebagian anak muda—termasuk di tubuh HMI—lebih tertarik menjadi bagian dari jejaring kekuasaan daripada menjadi penggugatnya. Kultur patronase yang berkembang justru melahirkan kader-kader yang kehilangan daya kritik dan terjebak dalam romantisme historis. Padahal, sejarah HMI dibentuk oleh mereka yang berani mengambil risiko politik dan sosial. Kader sejati adalah mereka yang menyembelih ambisi personal demi cita besar keumatan dan kebangsaan.


Ibrahim mengajarkan bahwa ketaatan kepada Tuhan tak bisa dipisahkan dari keberpihakan pada kemanusiaan. Qurban adalah simbol keberanian untuk melampaui diri, melawan sistem, dan menata ulang struktur nilai. Jika HMI ingin tetap relevan, maka kadernya harus berani menjadi "Ibrahim kecil" yang menyembelih berhala kekuasaan, bukan memeliharanya. Di sanalah letak makna sejati dari iman: keberanian untuk berkorban, ketika semua orang memilih diam.


HMI dan Qurban Intelektual: Membaca Jejak Pemikiran Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Azyumardi Azra


Dalam sejarah pemikiran Islam modern Indonesia, nama-nama seperti Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, hingga Azyumardi Azra bukan sekadar deretan intelektual kampus. Mereka adalah sumur keberanian, cermin keteladanan, dan—dalam konteks HMI—cahaya yang menuntun organisasi ini agar tak hanyut dalam gelombang formalisme dan kekuasaan. Qurban, jika dimaknai lebih dalam, bukan semata penyembelihan hewan atau pengorbanan materi, melainkan keberanian eksistensial untuk menanggalkan kenikmatan struktural demi mempertahankan integritas nurani.


Deliar Noer, mantan Ketua Umum PB HMI dan doktor Muslim pertama dari Cornell University, secara konsisten menolak kompromi antara kebenaran dan kekuasaan. Bagi Deliar, Islam tak boleh tunduk pada institusi yang mengklaim mewakilinya tapi justru melanggengkan kezaliman. Kritis terhadap negara dan elite agama menjadi panggilan iman. Maka bagi kader HMI hari ini, qurban berarti berani melepaskan romantisme terhadap kekuasaan: menolak tunduk pada oligarki politik, dan mengembalikan HMI sebagai benteng moral di tengah erosi etika bangsa.


Nurcholish Madjid atau Cak Nur, dengan semboyan legendarisnya "Islam Yes, Partai Islam No", telah jauh melampaui zamannya. Ia memperingatkan bahaya formalisasi agama dan menegaskan bahwa yang substansial adalah nilai, bukan bendera. Dalam konteks HMI, peringatan ini menjadi sangat relevan. Identitas Hijau Hitam tak boleh direduksi menjadi atribut organisasi belaka, tetapi harus menjadi motor etis yang berpihak pada keadilan sosial dan pembebasan umat. Di sinilah qurban menemukan makna terdalamnya: pengorbanan terhadap ego organisasi demi kepentingan yang lebih tinggi—masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban.


Lebih radikal lagi, Ahmad Wahib menawarkan qurban dalam bentuk paling sunyi: pengorbanan cara berpikir lama yang tertutup. Dalam Catatan Harian-nya, ia menulis bahwa Tuhan tidak butuh pembelaan, melainkan manusia yang bersedia berpikir bebas. Qurban, dalam perspektif ini, berarti kesediaan untuk menggugat dogma, membongkar kebekuan berpikir, dan menjadikan akal sebagai alat tajam untuk menimbang ulang iman dan tindakan. Jika HMI hanya menjadi museum slogan dan ritual organisasi, maka ia telah kehilangan keberanian Wahib—keberanian untuk berpikir dengan risiko ditinggalkan.


Sementara itu, Azyumardi Azra menempatkan peran intelektual Muslim dalam konteks demokrasi dan civil society. Ia menekankan bahwa organisasi Islam harus berdiri di garda depan dalam merawat tata kelola yang bersih, menjaga ruang publik yang sehat, dan mencegah demokrasi direduksi menjadi alat transaksi. HMI, yang pernah menjadi suara nurani dalam sejarah kelam Orde Lama dan Orde Baru, kini diuji kembali: apakah ia tetap menjadi kekuatan moral atau malah tergoda menjadi pelengkap kekuasaan yang korup?


Qurban Ibrahim adalah pelepasan total dari keterikatan duniawi demi misi Ilahi. HMI hari ini membutuhkan keberanian sejenis. Kader Hijau Hitam harus siap melepaskan privilege struktural, kepentingan politis, dan relasi kuasa, jika itu bertentangan dengan cita-cita keadilan dan kemanusiaan. Qurban yang dimaksud bukan lagi soal kurban sapi, tetapi kurban ego, kurban ambisi, dan kurban kesetiaan semu terhadap elit yang menindas.


HMI tidak akan pernah relevan jika takut berbeda. Sejarah organisasi ini dibangun oleh mereka yang memilih jalan sulit: Deliar yang dikucilkan, Cak Nur yang dikafirkan, Wahib yang dikritik habis, atau Azra yang bersetia dalam sunyi. Mereka semua menunjukkan bahwa qurban adalah harga dari integritas intelektual. Maka, jika HMI ingin tetap menjadi pelita dalam kegelapan zaman, ia harus kembali pada tradisi kritis ini—bukan menjadi mesin kaderisasi birokratik, melainkan menjadi rumah pembebasan, tempat anak-anak muda belajar mencintai kebenaran, meski harus berdarah untuknya.


Qurban, Keberanian, dan Jalan Sunyi HMI


Qurban dalam konteks ke-HMI-an bukanlah sekadar ritual simbolik, tetapi sebuah kesaksian eksistensial: bahwa perjuangan harus dibayar mahal, bahkan dengan kesendirian. Dalam sejarah Islam, Ibrahim AS menunjukkan bahwa ketaatan sejati seringkali membawanya pada jalan sepi—ditinggalkan kaum, ditentang penguasa, dan bahkan diminta mengorbankan darah dagingnya sendiri. Jalan ini tidak populis, tidak menggiurkan kekuasaan, dan tak menjanjikan panggung.


Hari ini, di tengah euforia jabatan struktural dan oportunisme politik yang menyusup ke dalam ruang-ruang kaderisasi, makna qurban menjadi kabur. Banyak kader Hijau Hitam lebih nyaman menjadi juru tafsir kepentingan elite daripada menjadi pelita bagi mereka yang terpinggirkan. Orientasi gerak lebih banyak diarahkan pada what to gain daripada what to sacrifice. Dalam logika ini, semangat qurban nyaris menjadi artefak: dikenang, tapi tak lagi dijalani.


Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut bahwa pembebasan sejati lahir dari dialektika antara refleksi dan aksi. HMI sebagai kawah candradimuka intelektual seharusnya membentuk kader yang tidak hanya tajam nalar, tetapi juga berani bertindak meski harus menghadapi arus kekuasaan. Namun hari ini, terlalu banyak kader yang menjadikan forum sebagai panggung, bukan ruang pengabdian.


Qurban adalah keberanian untuk tidak ikut arus. Dalam situasi ketika kekuasaan membentuk konsensus palsu, justru kader HMI dituntut menjadi disonansi moral. Tapi menjadi berbeda selalu mahal. Dibutuhkan keberanian untuk menolak kooptasi, membongkar narasi hipokrit, dan berdiri tegak meski harus sendirian. Itulah jalan sunyi. Jalan para Ibrahim.


Di sinilah relevansi HMI diuji. Apakah ia masih menjadi penjaga moral bangsa seperti dideklarasikan pada 1947, atau telah menjadi perpanjangan tangan dari mesin-mesin pragmatisme politik? Kader HMI yang memahami makna qurban tidak akan menjadikan organisasi sebagai batu loncatan kekuasaan, tapi sebagai jembatan pengabdian—meski jalannya terjal, bahkan menuntut pengorbanan personal.


Tak mudah memilih jalan sunyi. Tapi sejarah tak mencatat mereka yang ramai mengikuti kerumunan. Sejarah hanya mengenang mereka yang memilih untuk berbeda, berani, dan bersetia pada nilai meski harus terluka. Dalam konteks ini, kader HMI yang berqurban adalah mereka yang mau membayar harga idealisme dengan kerja nyata, bukan sekadar retorika di forum training atau proposal kegiatan.


Karenanya, qurban sejati bagi kader Hijau Hitam adalah: mengorbankan kenyamanan untuk keberpihakan, menanggalkan jabatan demi kebenaran, dan menyuarakan nurani saat semua memilih diam. Itulah HMI dalam esensi terdalamnya: bukan hanya organisasi mahasiswa Islam, tapi rumah sunyi bagi mereka yang berani mencintai umat tanpa syarat dan membela bangsa tanpa imbalan.


Penutup


Idul Adha bukan sekadar prosesi penyembelihan hewan, tetapi momen kontemplatif untuk menakar ulang makna eksistensi dan arah perjuangan. Bagi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), spirit Ibrahim AS adalah cermin perjuangan sunyi yang penuh luka, namun menyala karena keyakinan. Ia menolak tunduk pada berhala kekuasaan, menolak kompromi dengan ketidakadilan, dan menjadikan pengorbanan sebagai syarat iman. Maka jalan Ibrahim bukan jalan selebrasi, tapi jalan eksistensial menuju keberanian berpikir dan keteguhan bertindak.


Dalam konteks kekinian, kader HMI dihadapkan pada pilihan genting: bertahan dalam zona nyaman struktural atau melangkah ke medan sepi perjuangan moral. Di tengah banalitas politik dan institusi yang semakin menjauh dari cita-cita keumatan, kader Hijau Hitam tak cukup hanya hadir dalam seremoni, diskusi, atau forum, tapi mesti hadir sebagai kekuatan yang mengganggu status quo. Idealisme tak tumbuh dari pidato indah, melainkan dari luka yang ditanggung karena keberpihakan pada mereka yang tak bersuara. Jalan HMI adalah jalan keberanian: intelektual yang berpihak, dan aktivisme yang bertanggung jawab.


> Maka tanyalah pada diri: apa yang telah kaubakar demi umat? Apa yang telah kautinggalkan demi idealisme? Apa yang telah kautumpahkan demi keadilan? Karena sejarah tak pernah ditulis oleh mereka yang ragu-ragu, tapi oleh mereka yang berani menyembelih egonya demi cahaya keadilan yang lebih besar. Dan di situlah, jalan Ibrahim bertemu jalan HMI—di jalan sunyi yang tak menjanjikan pujian, tapi menyelamatkan martabat.


Sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 123: "Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): 'Ikutilah Dinul Ibrahim, seorang yang hanif.' Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."

Inilah jalan hanif itu: tegak lurus pada nilai, bebas dari syirik kekuasaan, dan siap berkurban demi kebenaran.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999

https://sg.docworkspace.com/d/sIAaX75KXApyhhMIG?sa=601.1074

_________

Referensi:


1. Al-Qur’an, QS. As-Shaffat: 102–107; QS. Al-An’am: 162, Surat An-Nahl ayat 123:


2. Shariati, Ali. Hajj: A Reflection on Its Rituals.


3. Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed.


4. Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam. LP3ES, 1981


5. Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan.


6. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. LP3ES, 1980


7. Azra, Azyumardi. Islam, Civil Society, and Democratic Development in Indonesia.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)