Tahun Baru Islam Bagi Muslim Sumatera Utara Dalam Mazhab Ciputat"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Pendahuluan

> “Islam datang membawa pencerahan, bukan keterbelakangan.” — Harun Nasution


Tahun Baru Islam kembali datang, namun pertanyaannya tetap sama: apakah kita benar-benar berhijrah atau sekadar berpindah angka kalender? Di tengah ritual seremonial seperti pawai obor dan doa bersama, makna substansial hijrah sering kali menguap—padahal Al-Qur’an menegaskan bahwa hijrah adalah perintah Tuhan yang penuh konsekuensi spiritual dan sosial. (QS. Al-Baqarah: 218, QS. An-Nisa: 100, QS. At-Taubah: 20).


Hijrah bukan hanya tentang perpindahan fisik, tapi tentang transformasi kesadaran. Rasulullah berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk membangun masyarakat Islam yang berdaulat, inklusif, dan adil. Di Madinah-lah Islam tampil sebagai peradaban, bukan sekadar ritual. Maka jika hari ini kita memperingati hijrah tapi tetap membiarkan kekerasan atas nama agama, ketimpangan sosial, dan kedangkalan intelektual tumbuh subur — maka kita hanya sedang merayakan kehampaan.


Sayangnya, makna mendalam itu perlahan dikerdilkan oleh tafsir sempit. Hijrah kini direduksi menjadi perubahan gaya hidup individual: berhenti musik, memakai gamis, atau memposting kutipan religius. Sementara narasi pembebasan, keadilan, dan pencerahan — nilai-nilai yang dibawa Rasul dari Makkah ke Madinah — justru disingkirkan dari ruang publik oleh gelombang fundamentalisme dan literalisme agama yang kian menguat.


Di sinilah relevansi Mazhab Ciputat menjadi penting. Harun Nasution menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal, bahkan justru meneguhkan rasionalitas sebagai alat untuk memahami wahyu. Dalam semangat hijrah, umat Islam seharusnya berpindah dari keberagamaan yang stagnan menuju Islam yang berpikir, terbuka, dan berkeadaban — Islam yang memanusiakan manusia.


Sumatera Utara dengan keberagaman Islam-nya — dari tarekat di Mandailing hingga Muhammadiyah dan NU di perkotaan — sebenarnya memiliki kekayaan kultural untuk menumbuhkan wajah Islam yang inklusif. Namun realitas sosial menunjukkan adanya kebangkitan eksklusivisme dan kecenderungan formalis dalam beragama. Mazhab Ciputat menawarkan koreksi: bahwa Islam bukan soal dominasi, tapi soal relasi; bukan soal simbol, tapi soal substansi.


Tahun Baru Islam bukan hanya catatan dalam penanggalan Hijriah. Ia adalah momen spiritual-politik yang menuntut keberanian intelektual. Bukan sekadar hijrah dalam pengertian tekstual, tapi ijtihad sosial untuk menjawab problem zaman. Sebab seperti kata Harun Nasution, Islam sejatinya datang untuk menyinari zaman, bukan membiarkan umatnya berjalan dalam gelap — baik gelap pemikiran maupun gelap kemanusiaan.


Refleksi Tahun Baru Islam: Momentum atau Seremonial


1 Muharram 1447 H kembali disambut dengan gegap gempita: pawai obor, zikir akbar, hingga parade budaya Islam lokal. Di Medan, Langkat, Mandailing, hingga Tapanuli, gema Tahun Baru Islam terdengar riuh. Namun, di balik selebrasi itu, pertanyaan mendesak justru menggantung: benarkah kita berhijrah secara spiritual dan intelektual, atau sekadar berpindah tanggal dalam kalender?


Terlalu sering momentum hijriah dibingkai sebagai seremoni emosional—penuh syair, tanpa substansi. Padahal, hijrah Nabi Muhammad bukan peristiwa simbolik, melainkan transformasi sosial-politik yang melahirkan masyarakat madani. Jika Tahun Baru Islam hanya kita maknai dengan nostalgia dan ritual massal, maka kita sedang mengerdilkan makna revolusioner dari peristiwa paling strategis dalam sejarah Islam itu.


Di sinilah Mazhab Ciputat menawarkan jendela baru. Sebagai produk pemikiran Islam rasional—yang lahir dari rahim intelektual UIN Jakarta—mazhab ini menekankan bahwa iman harus berjalan seiring dengan akal, sejarah, dan keadaban. Bagi umat Islam Sumatera Utara, Mazhab Ciputat relevan untuk melawan gelombang konservatisme yang menjadikan agama sebatas formalisme, bukan pembebasan.


Tahun Baru Islam seharusnya menjadi waktu untuk meninjau ulang cara berpikir keislaman kita: Apakah Islam kita memberi ruang bagi perbedaan? Apakah ajaran yang kita dakwahkan memperkuat keadilan sosial? Apakah khutbah kita memanusiakan yang miskin dan terpinggirkan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena esensi hijrah bukan pada perpindahan fisik, tapi pada perubahan arah keberagamaan menuju nilai-nilai Qur’ani yang rahmatan lil ‘alamin.


Maka hijrah hari ini bukan ke Madinah, tapi ke cara berpikir yang lebih kritis, terbuka, dan humanistik. Kita tidak butuh lebih banyak pawai obor, tapi lebih banyak cahaya pemikiran. Islam di Sumatera Utara harus melangkah dari seremoni menuju substansi, dari romantisme menuju rasionalitas. Karena dalam Islam yang tercerahkan, perayaan tak boleh menjadi pengganti perubahan.


Mazhab Ciputat: Rasionalisme, Inklusivitas, dan Kritis terhadap Kekuasaan


Mazhab Ciputat bukan institusi formal. Ia adalah laku berpikir, cara pandang, dan orientasi moral yang menempatkan Islam sebagai energi pencerahan di tengah kompleksitas sosial-politik. Lahir dari gelanggang pemikiran IAIN Ciputat (kini UIN Jakarta), mazhab ini mengusung semangat pembaruan Islam berbasis nalar, sejarah, dan hakikat kemanusiaan. Ia tumbuh dalam pergulatan antara iman dan intelek, antara tradisi dan modernitas.


Harun Nasution membuka jalan dengan menekankan pentingnya rasionalitas dalam beragama. Baginya, umat Islam tak akan maju bila terus mengasingkan akal dari agama. Nurcholish Madjid melanjutkan dengan gagasan “sekularisasi” dalam arti positif—yakni pemurnian makna agama dari kepentingan politik dan kekuasaan. Sementara Azyumardi Azra menegaskan pentingnya Islam Nusantara yang historis, terbuka, dan berakar dalam pluralitas.


Pada setiap kesempatan Fachry Ali merumuskan tiga prinsip utama Mazhab Ciputat: bahwa kebenaran tidak tunggal dan eksklusif, dapat tumbuh dalam berbagai ruang sosial, dan harus selalu terbuka untuk dikritik. Tiga prinsip ini bukan sekadar teori filsafat. Ia adalah pedoman etis untuk menjinakkan radikalisme dan meletakkan agama sebagai bagian dari peradaban, bukan alat pembenar kekuasaan.


Di tengah merebaknya konservatisme dan populisme agama di ruang publik—termasuk di Sumatera Utara—Mazhab Ciputat tampil sebagai penyeimbang. Ketika sebagian kelompok menjadikan teks agama sebagai senjata untuk membungkam perbedaan, Mazhab Ciputat menegaskan bahwa teks tidak boleh dibaca lepas dari konteks. Karena agama tanpa konteks hanya melahirkan kekakuan, dan tafsir tunggal hanya mengabdi pada kekuasaan, bukan kebenaran.


Problem utama umat Islam hari ini bukan pada kurangnya pengetahuan, melainkan pada sikap anti-kritik. Kultur “saya paling benar” dan “kami paling Islam” menyuburkan intoleransi, membunuh dialog, dan membekukan dinamika berpikir. Mazhab Ciputat justru mendorong “ijtihad terus-menerus” — karena realitas sosial selalu berubah, dan Islam harus hadir secara kontekstual, bukan tekstual semata.


Lebih dari itu, mazhab ini juga mengajarkan keberanian untuk berbeda pendapat di ruang publik tanpa rasa takut dituduh sesat. Dalam dunia yang kian bising oleh dakwah monologis dan pemikiran skripturalis, nilai-nilai Ciputat mengajak umat untuk berpikir jernih, mendengarkan yang berbeda, dan tidak cepat menghakimi. Karena Islam yang tercerahkan justru tumbuh dari diskusi, bukan dari dogma.


Di tengah peringatan Tahun Baru Islam, Mazhab Ciputat hadir sebagai cermin kritis. Ia mengingatkan bahwa hijrah bukan hanya soal meninggalkan yang buruk, tetapi juga menuju sesuatu yang lebih adil, rasional, dan manusiawi. Di saat banyak orang menjadikan agama sebagai penguat identitas eksklusif, Mazhab Ciputat justru mengajak kita untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan pembebas—bagi akal, bagi sesama, dan bagi kemanusiaan.


Sumatera Utara: Kekayaan Islam Tradisional dan Tantangan Radikalisme


Sumatera Utara adalah rumah besar keberagaman Islam yang tumbuh dari akar budaya dan intelektual lokal. Di kawasan Mandailing Natal, berdiri tegak Pesantren Musthafawiyah Purba Baru—salah satu pusat Islam tradisional tertua dan terbesar di Sumatera Utara, yang mewarisi kuat tradisi Nahdliyyin. Sejak awal abad ke-20, pesantren ini memainkan peran strategis dalam menjaga tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, melestarikan kitab kuning, dan membentuk ulama-ulama yang membumi, berpikir mendalam, dan dekat dengan rakyat. Di tempat lain, Muhammadiyah tampil modern, inklusif dan progresif di wilayah Tapanuli dan Pematangsiantar, sementara Al Jam’iyatul Washliyah, yang berdiri di Medan tahun 1930, memperkuat Islam berkarakter tradisional, nasionalis dan inklusif melalui jaringan madrasah dan perguruan tinggi keislaman.


Namun kekayaan itu kini menghadapi tekanan berat. Riset Kementerian Agama RI tahun 2023 tentang Tren Keberagamaan Generasi Muda Muslim mengindikasikan kemunduran pemahaman Islam progresif dan kontekstual, khususnya di kalangan anak muda perkotaan yang terpapar konten agama via media sosial. Ruang digital kini dipenuhi retorika keagamaan yang dangkal, dogmatis, dan eksklusif. Generasi baru lebih sering dicekoki ajaran hitam-putih ketimbang pemahaman Islam yang rasional, adil, dan terbuka.


Data dari Puslitbang Bimas Agama Kemenag menunjukkan hanya 23% generasi muda Muslim Sumut yang memahami hubungan Islam dan kebangsaan secara mendalam. Sebaliknya, lebih dari 40% menyatakan sepakat dengan ide negara berbasis syariat formal, tanpa mengerti kompleksitas historis bangsa yang plural. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah tanda bahwa kita sedang kehilangan narasi Islam yang membangun, yang memanusiakan, dan yang berpikir.


Ironisnya, pesantren tua seperti Musthafawiyah Purba Baru—yang selama puluhan tahun menjadi benteng keilmuan Islam tradisional—kini mulai kalah gaung dibanding ustaz viral di TikTok yang menawarkan surga secara instan. Tradisi keilmuan tafaqquh fid din, yang selama ini menjadi kekuatan Islam Sumut, tergerus oleh gaya dakwah cepat saji yang minim substansi dan miskin empati. Islam tak lagi menjadi ajaran yang membina akal dan akhlak, tapi berubah menjadi alat pembatas dan penghakiman.


Dalam kondisi seperti ini, Mazhab Ciputat hadir bukan sebagai tandingan, tetapi sebagai peneguh. Islam progresif ala Ciputat—yang digerakkan Harun Nasution, Cak Nur, dan Azyumardi Azra—dapat menjadi energi penyegar bagi pesantren dan lembaga Islam tradisional untuk tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman. Sebab Islam yang benar-benar hidup, adalah Islam yang mampu berpijak pada tradisi, tapi tidak takut bergerak ke depan. Hijrah hari ini bukan hanya berpindah tempat, tapi berpindah cara berpikir—dari simbol ke substansi, dari retorika ke nalar, dari seremonial ke transformasi.


Hijrah Kultural: Membumikan Mazhab Ciputat


Hijrah, dalam pemahaman Mazhab Ciputat, bukan semata soal mengganti penampilan atau berhenti dari aktivitas yang dianggap tidak islami. Hijrah adalah proses transformatif—perjalanan dari cara berpikir yang sempit menuju horizon keislaman yang lebih rasional, inklusif, dan membumi. Ini adalah hijrah intelektual dan kultural, yang menuntut keberanian untuk keluar dari zona nyaman tradisi tanpa meninggalkan nilai-nilai universal Islam.


Sumatera Utara, dengan kekayaan Islam lokalnya, sangat potensial menjadi laboratorium hijrah kultural ini. Namun potensi itu kerap tertahan oleh formalisme keagamaan yang lebih sibuk pada simbol ketimbang substansi. Dalam konteks ini, semangat Mazhab Ciputat menjadi penting untuk dihadirkan kembali: Islam yang berpikir, yang mengolah pengalaman sejarah, dan yang berpihak pada kemanusiaan. Bukan Islam yang hanya menghafal dalil, tapi yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai keadilan dalam tatanan sosial.


Tiga jalan yang ditawarkan Mazhab Ciputat layak dijadikan acuan. Pertama, menghidupkan tradisi dialog, seperti yang dilakukan Cak Nur di Taman Ismail Marzuki pada 1970-an—menjadikan agama sebagai diskursus terbuka, bukan arena penghakiman. Kedua, merevisi cara pandang terhadap warisan Islam, sebagaimana Harun Nasution membangkitkan kembali nalar rasional Islam dengan menggali khazanah pemikiran Mu’tazilah. Ketiga, mendekatkan agama pada problem nyata masyarakat—seperti kemiskinan, ketimpangan, dan korupsi—alih-alih terus-menerus mengunci agama dalam ranah ritual dan privat.


Umat Islam di Sumatera Utara perlu diarahkan agar keberagamaannya tidak lagi berhenti pada konsumsi simbol, tetapi bergerak menuju praksis intelektual, inklusif dan etis. Di tengah maraknya radikalisme simbolik dan komodifikasi agama, hijrah seharusnya dimaknai sebagai proses pendewasaan spiritual dan sosial, bukan sekadar perubahan gaya hidup. Sebab Islam bukan datang untuk memoles tampilan luar, tetapi untuk merevolusi kesadaran spritual umatnya.


Tahun Baru Islam harus menjadi titik balik. Bukan hanya pembaruan niat pribadi, tapi juga peremajaan kesadaran spritual dan cara berpikir kolektif umat. Bila ekosistem intelektual dibiarkan kosong, maka yang tumbuh adalah keberagamaan instan yang tak punya akar sejarah dan arah masa depan. Mazhab Ciputat mengajarkan bahwa Islam bukan menolak zaman, tapi berdialog dengannya—dan hijrah hari ini adalah berpindah dari kejumudan menuju Islam yang merdeka secara nalar dan adil secara sosial.


Peran Strategis Perguruan Tinggi dan Ormas Islam


Di tengah turbulensi ideologi keagamaan yang menyerbu ruang digital tanpa filter, tanggung jawab membumikan Islam yang tercerahkan tak lagi bisa ditunda. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), IAIN Padangsidimpuan, serta pesantren-pesantren modern seperti Musthafawiyah Purba Baru dan Darularafah bukan hanya lembaga pendidikan, tapi seharusnya menjadi poros kebangkitan nalar Islam Nusantara yang berpijak pada tradisi dan berpandangan ke masa depan. Di kampus dan pesantren inilah semestinya pemikiran kritis, historis, dan kontekstual tentang Islam ditanam dan ditebarkan secara sistematis.


Namun, transformasi ini tak cukup dikerjakan oleh perguruan tinggi semata. Ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Al Washliyah, dan Nahdlatul Ulama di Sumatera Utara memiliki tanggung jawab besar untuk menyuntikkan semangat pembaruan ke dalam tubuh umat. Sayangnya, banyak aktivitas dakwah masih berkutat pada seremoni dan kegiatan struktural yang menjauh dari dialog substantif. Dakwah kerap menjadi panggung seremonial tahunan, bukan alat kritis untuk membaca ulang problem sosial umat secara jujur dan progresif.


Kehadiran ormas Islam di ruang publik seharusnya menjadi penjaga akal sehat umat, bukan hanya penjaga rutinitas organisasi. Dalam sejarahnya, Muhammadiyah dan NU pernah menjadi pelopor pembaruan pemikiran Islam, dan Al Washliyah menjadi penggerak pendidikan umat sejak era kolonial. Spirit itu harus dihidupkan kembali di tengah lanskap digital hari ini, di mana ribuan konten keislaman yang beredar setiap hari justru mempersempit cara berpikir, memelintir sejarah, dan memanipulasi identitas keagamaan untuk tujuan ideologis.


Di medan yang begitu cair dan bising ini, para akademisi, dai muda, dan aktivis ormas Islam harus merebut kembali ruang wacana. Bukan dengan marah, bukan dengan ujaran kebencian, tetapi dengan keberanian untuk bicara jujur, berpikir tajam, dan berdakwah berbasis ilmu. Islam tidak boleh hadir di ruang publik hanya sebagai slogan yang bergaung, tapi sebagai panduan moral yang mencerahkan. Islam harus berani tampil sebagai kekuatan sosial yang membela rakyat, bukan membungkam perbedaan.


Karena itu, sinergi antara kampus Islam, pesantren progresif, dan ormas-ormas Islam Sumut adalah keniscayaan. Bukan sekadar kolaborasi program, tetapi integrasi visi: membentuk umat Islam yang dewasa secara spiritual, kritis dalam berpikir, dan adil dalam bertindak. Bila ruang nalar dibiarkan kosong, maka ekstremisme akan mengisinya dengan cepat. Tahun Baru Islam adalah saat yang tepat untuk menegaskan kembali: bahwa masa depan umat tak ditentukan oleh jumlah pawai, tapi oleh kedalaman pemikiran dan keberanian mencerdaskan umat.


Penutup


Mazhab Ciputat mengajarkan bahwa akal bukanlah musuh wahyu, melainkan cermin keagungan ilahi. Dalam kerangka ini, Islam tidak menolak modernitas, ilmu, atau kemajuan, melainkan menolak setiap bentuk penindasan yang dibungkus jubah agama. Islam adalah ajaran yang menghidupkan akal sehat dan menyentuh hati nurani—dua fondasi yang makin langka dalam wacana keislaman kontemporer yang terjebak pada simbol, bukan substansi.


Bagi umat Islam di Sumatera Utara, momentum 1 Muharram bukan sekadar ritus tahunan. Ia adalah ajakan untuk melakukan hijrah kultural dan intelektual: dari ritualisme menuju pemahaman Islam yang membebaskan, dari retorika menuju refleksi, dari keimanan yang pasif menuju keberislaman yang aktif dalam membela nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberagaman. Sebab Islam sejatinya tidak hadir untuk menciptakan umat yang takut berpikir, tetapi umat yang berani berpikir dan berpihak pada yang tertindas.


> “Tugas kita bukan hanya menjadi Muslim yang taat, tapi juga Muslim yang tercerahkan.”


Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH. Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999 dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut 

_____________


Daftar Pustaka:


Al-Qur'an al-Karim :

QS. Al-Baqarah (2): 218

QS. An-Nisa (4): 100

QS. At-Taubah (9): 20


Ali, Fachry. 2021. Mazhab Ciputat dan Masa Depan Islam Indonesia. Orasi Budaya Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mei 2021.


Azra, Azyumardi. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Jakarta: KPG.


Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2023. Moderasi Beragama Menuju Islam Progresif di Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI.


BPS Sumatera Utara. 2024. Data Pendidikan dan Keagamaan di Sumatera Utara Tahun 2022–2023. Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.


BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). 2024. Peta Potensi Radikalisme Berbasis Agama di Indonesia: Analisis 10 Provinsi Prioritas. Jakarta: BNPT RI.


Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.


Kementerian Agama RI. 2023. Laporan Nasional Indeks Kesalehan Sosial dan Tren Keberagamaan Generasi Muda Muslim Indonesia. Jakarta: Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan.


Latief, Hilman. 2017. Filantropi Islam dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: LP3ES.


Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.


Nasution, Harun. 1986. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Mizan.


Sindonews.com. 2025. “Menggaungkan Mazhab Ciputat ke Ruang Publik.” Diakses 25 Juni 2025. https://nasional.sindonews.com/read/1566033/15/menggaungkan-mazhab-ciputat-ke-ruang-publik-1746893129


Tirto.id. 2022. “Musthafawiyah: Pesantren Tradisional di Jantung Mandailing.” Diakses 25 Juni 2025. https://tirto.id


Zamzam, Nurul. 2022. “Tantangan Dakwah Islam Progresif di Era Digital.” Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam 4(2): 45–63.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)