Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
(Ketua Forum Penyelamat USU )
Pendahuluan
"Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya mencuri uang negara, tapi merampas masa depan bangsa." — Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat KPK.
Setiap kampus mestinya menjadi benteng terakhir moralitas publik—tempat integritas dijaga, dan akuntabilitas diajarkan sebelum dituntut. Namun, Universitas Sumatera Utara (USU) justru menunjukkan ironi yang menyedihkan. Pada Maret 2024, Rektor USU menetapkan Keputusan Nomor 418/UN5.1.R/SK/SDM/2024 tentang Pedoman Rencana Aksi Pencegahan Korupsi (RAPK). Secara normatif, keputusan itu mengklaim komitmen membangun kampus bersih. Sayangnya, dokumen tersebut lebih menyerupai kosmetika moral ketimbang arah pembenahan struktural.
Fakta-fakta lapangan justru menunjukkan kebalikannya. Berdasarkan laporan investigatif BarakTime (Mei 2025), selama satu dekade terakhir, USU konsisten menjadi langganan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penyimpangan anggaran terus membengkak—dan terbaru, temuan mencapai Rp 28 miliar. Ironisnya, di balik citra integritas yang dikibarkan, USU justru mencatat manuver finansial yang ganjil: perkebunan sawit milik USU di Tabuyung, Kabupaten Mandailing Natal, yang sejak 2012 merugi, justru dijadikan agunan untuk kredit Rp 228 miliar. Bagaimana mungkin aset bermasalah digunakan sebagai jaminan pinjaman sebesar itu tanpa menimbulkan alarm integritas?
Temuan ini menegaskan satu hal: rencana aksi tinggal rencana, integritas tinggal jargon. Transparansi hanya berhenti di meja seminar, sementara korupsi terus mengakar dalam praktik. Ketika akuntabilitas dipalsukan lewat simbolisme administratif dan para pimpinan kampus berlindung di balik dokumen penuh jargon moral, maka USU tidak hanya kehilangan kepercayaan publik—tetapi juga kehilangan jiwanya sebagai institusi akademik.
Antara Dokumen dan Kenyataan
Dokumen Rencana Anggaran dan Pendapatan Kampus (RAPK) Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 2024–2025 berbicara lantang tentang transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Rektor bahkan menetapkan struktur pengawasan yang kompleks: Tim SPK, Tim RAPK, hingga Badan Pengawas Internal (BPI). Namun, seluruh kemegahan administratif itu tampak hampa ketika disandingkan dengan kenyataan: temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap lubang keuangan yang serius. Pertanyaan mendasarnya: di mana semua organ pengawasan saat penyimpangan itu terjadi?
Ketika strategi birokrasi kampus tak mampu mendeteksi atau mencegah kebocoran anggaran, maka kita patut mempertanyakan bukan hanya efektivitasnya, tapi juga kesungguhannya. Apa arti pakta integritas dan struktur pengawasan jika semuanya berujung pada pembiaran? Lebih ironis lagi, alih-alih merespons dengan keterbukaan, pihak rektorat justru mengedepankan sikap diam dan pengelakan ketika dikonfirmasi oleh publik, termasuk oleh aktivis akuntabilitas seperti Iskandar Sitorus.
Keterbukaan informasi bukanlah kemewahan, tetapi kewajiban hukum. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik secara eksplisit mewajibkan badan publik, termasuk perguruan tinggi negeri, membuka data keuangan dan dokumen strategis kepada masyarakat. Ketika rektorat memilih menutup akses informasi, mereka bukan hanya melanggar prinsip tata kelola, tetapi juga melawan hukum yang berlaku.
Lebih jauh, sikap defensif kampus terhadap kritik mencerminkan budaya akademik yang telah membeku. Di mana semestinya ada ruang dialog, kini berganti dengan tembok birokrasi. Ketika pengawasan internal menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang hendak diawasi, maka kontrol menjadi ilusi. Kampus yang seharusnya menjadi pusat rasionalitas publik justru terjebak dalam pola feodalisme modern: kuat dalam simbol, lemah dalam praktik.
USU tak kekurangan regulasi maupun struktur. Yang kurang adalah keberanian moral dan kehendak politik dari pemimpinnya untuk mewujudkan integritas sebagai tindakan nyata, bukan sekadar jargon dalam dokumen. Antara dokumen dan kenyataan, jurang telah menganga terlalu lebar. Jika tak segera dijembatani dengan langkah reformasi radikal, maka kita hanya akan terus menyaksikan episode berulang dari kepura-puraan institusional.
Korupsi Sistemik di Pendidikan Tinggi
Korupsi di perguruan tinggi bukanlah fenomena insidental yang bisa ditambal dengan retorika moral atau pakta integritas. Ia adalah masalah struktural yang berakar dalam tata kelola kampus yang tertutup, elitis, dan minim kontrol publik. Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi contoh tragis dari bagaimana monopoli kekuasaan, diskresi tak terbatas, dan absennya akuntabilitas menciptakan lanskap subur bagi korupsi sistemik.
Robert Klitgaard, dalam rumus terkenalnya—Korupsi = Monopoli + Diskresi − Akuntabilitas—telah memberi kerangka teoretis yang relevan untuk melihat realitas ini. Di USU, hampir seluruh proses strategis kampus, mulai dari rekrutmen dosen, penerimaan mahasiswa, hingga proyek infrastruktur dan pengadaan barang, berada dalam genggaman segelintir elite kampus. Keputusan-keputusan penting diambil tanpa transparansi, sementara badan pengawasan internal seperti SPI seringkali menjadi penonton pasif atau justru bagian dari sistem.
Laporan Transparency International dalam Global Corruption Report: Education (2013) memperkuat sinyal bahaya itu. Korupsi di dunia pendidikan bukan sekadar menyedot dana publik, tetapi juga merusak mutu akademik, meruntuhkan kepercayaan publik, dan memperparah ketimpangan sosial. Setiap praktik suap dalam seleksi jabatan, mark-up anggaran penelitian, atau manipulasi proyek bukan hanya kejahatan administratif, tetapi juga sabotase terhadap keadilan sosial.
USU selama satu dekade terakhir telah masuk sorotan publik, termasuk lewat temuan-temuan berulang dari BPK. Namun, alih-alih melakukan reformasi serius, kampus ini justru mempertebal lapisan birokrasi simbolik: pakta integritas, komite etik, dan dokumen tata kelola yang kerap tanpa roh pengawasan. Bahkan mahasiswa—aktor utama dalam ekosistem akademik—seringkali dijauhkan dari diskursus anggaran dan hanya dijadikan objek penertiban aturan.
Sudah waktunya publik menolak normalisasi korupsi di ruang akademik. Pendidikan tinggi adalah pilar strategis pembentuk masa depan bangsa. Bila institusi seperti USU dibiarkan larut dalam budaya impunitas, maka bukan hanya kredibilitas akademik yang runtuh—tetapi juga harapan kita untuk mencetak generasi pemimpin yang bersih dan berintegritas. Korupsi di kampus harus dipandang bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa.
Dari Pakta Integritas ke Pakta Kepura-puraan?
Integritas bukan dibangun lewat seremonial, melainkan ditegakkan lewat tindakan yang nyata dan terbuka. Di Universitas Sumatera Utara (USU), Pakta Integritas yang tercantum dalam Lampiran III dokumen RAPK seharusnya menjadi komitmen moral dan administratif bagi seluruh pejabat kampus. Namun tanpa mekanisme penegakan, transparansi publik, dan sanksi atas pelanggaran, pakta itu justru berubah menjadi kosmetika etis belaka—alias pakta kepura-puraan.
Pertanyaannya sederhana: untuk siapa pakta ini dibuat, dan oleh siapa ia diawasi? Publik kampus, termasuk mahasiswa dan dosen, bahkan tidak pernah melihat atau mengakses isi lengkap dokumen ini. Tidak ada forum evaluasi, tidak ada laporan pelanggaran, dan yang paling fatal: tidak ada penjelasan siapa yang telah melanggarnya. Dalam situasi seperti ini, pakta integritas tidak mendidik kesadaran, tapi justru meninabobokan tanggung jawab.
Lebih parah lagi, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama satu dekade terakhir telah berkali-kali menyoroti penyimpangan penggunaan anggaran di USU. Tetapi tidak pernah terdengar siapa yang bertanggung jawab, atau bagaimana kampus menindaklanjuti hasil audit tersebut. Padahal dalam prinsip good governance, integritas bukan hanya tentang janji pribadi, tapi juga tentang sistem akuntabilitas yang mengikat secara institusional.
Kekosongan penegakan ini menciptakan budaya permisif: pejabat menandatangani pakta dengan ringan, karena tahu tak akan ada konsekuensi. Ini berbahaya, sebab membentuk moral kepemimpinan yang palsu—mereka tampak bersih di atas kertas, tetapi diam dalam praktik. Integritas lalu menjadi istilah ganda: dipakai untuk memoles wajah lembaga, tapi ditinggalkan saat menyusun kebijakan yang nyata.
Jika USU ingin membuktikan bahwa kampus ini masih memiliki nyali moral, maka Pakta Integritas itu harus keluar dari kertas. Ia harus hidup dalam sistem yang terbuka, dengan pelibatan publik kampus, pengawasan independen, dan sanksi tegas bagi pelanggar. Tanpa itu, yang tersisa hanyalah teater etika, di mana semua orang memainkan peran bersih—namun hanya untuk menipu cermin.
Kegagalan Pencegahan: Tanggung Jawab Petinggi USU
Pencegahan korupsi di lingkungan akademik bukan sekadar urusan sistem, tetapi juga soal keberanian moral dan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Di Universitas Sumatera Utara (USU), kegagalan implementasi Rencana Anggaran dan Pendapatan Kampus (RAPK) bukan hanya soal teknis birokrasi, melainkan cermin dari macetnya empat simpul strategis: pimpinan kampus, unit pengawasan internal, pelaksana teknis, dan masyarakat sipil kampus. Ketika keempat simpul ini tak saling terhubung, maka yang terjadi bukan sekadar inefisiensi, tapi keruntuhan integritas.
Pimpinan kampus, terutama Rektor dan Wakil Rektor, adalah poros utama pencegahan korupsi. Mereka bukan hanya simbol, melainkan pengarah arah tata kelola. Ketika dokumen RAPK disusun tanpa pelibatan luas dan ditutup rapat dari mata publik, maka kepemimpinan telah bergeser dari pelayanan menuju kekuasaan tertutup. Dalam situasi ini, transparansi menjadi kata yang kehilangan makna, dan kepercayaan publik pelan-pelan mengikis dari akar.
Di sisi lain, unit pengawasan internal seperti BPI dan SPI seolah kehilangan taring. Laporan audit internal tidak pernah dibuka untuk publik kampus. Padahal, dalam tata kelola modern, pengawasan yang efektif bergantung pada kemampuan dan keberanian menyampaikan temuan secara terbuka, bukan dikunci dalam ruang sunyi antara auditor dan atasan. Ketika pengawasan menjadi ritual administratif, bukan fungsi kontrol substantif, maka korupsi hanya berpindah bentuk: dari transaksi gelap ke diamnya kewajiban.
Fakultas dan lembaga sebagai pelaksana teknis juga tak lepas dari tanggung jawab. Banyak pimpinan unit kerja yang memilih diam, menunggu perintah, atau justru ikut menikmati distorsi anggaran. Sementara itu, mahasiswa—sebagai bagian dari komunitas akademik—hanya dijadikan objek aturan, bukan subjek pengawasan. Tidak ada forum resmi yang mengundang mahasiswa ikut membedah RAPK. Tidak ada mekanisme tanggapan terbuka atas dugaan penyimpangan. Ini adalah kegagalan struktural, sekaligus kesalahan kolektif.
Maka, pertanyaan besarnya kini bergema: siapa yang harus bertanggung jawab atas kegagalan ini? Jawabannya tidak bisa lagi dilemparkan ke "sistem". Yang harus bertanggung jawab adalah mereka yang duduk di kursi kuasa, tapi gagal membangun ekosistem kepercayaan. Jika kampus seperti USU masih ingin mengklaim dirinya sebagai institusi publik yang beradab, maka pembenahan keempat simpul itu harus dimulai—dan dimulai dari atas. Sebab dalam tata kelola yang sehat, integritas bukan dituntut dari bawah, melainkan dicontohkan dari atas.
Saatnya Bergerak: Mendorong Pembaharuan Nyata
Sudah saatnya Universitas Sumatera Utara (USU) berhenti bersembunyi di balik jargon-jargon antikorupsi yang hanya terdengar indah di atas kertas. Jika integritas adalah pilar kampus, maka transparansi seharusnya menjadi dinding kacanya. Dokumen anggaran, hasil audit BPK, dan seluruh jejak belanja publik mestinya menjadi informasi terbuka yang bisa diakses bukan hanya oleh auditor internal, melainkan oleh mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum. Menutupinya adalah bentuk persekongkolan diam-diam terhadap budaya korupsi yang membusuk di dalam.
Forum-forum akademik harus mulai melibatkan elemen-elemen kritis di luar birokrasi kampus. Mahasiswa, LSM antikorupsi, dan media lokal harus diberi ruang dalam mekanisme pengawasan kelembagaan. Ini bukan soal mengundang "pihak luar", melainkan memulihkan kembali marwah kampus sebagai ruang publik yang demokratis. Ketika hanya segelintir orang duduk memutuskan dalam gelap, maka hasilnya tak akan pernah berpihak pada keadilan atau efisiensi, melainkan pada kepentingan sempit segelintir elite kampus.
Struktur Tim Satuan Pencegahan Korupsi (SPK) dan pelaksana RAPK saat ini ibarat pagar yang dijaga oleh serigala. Ketika pejabat kampus yang memiliki potensi konflik kepentingan justru memimpin tim pengawasan, maka objektivitas akan selalu tergerus. USU harus berani merevisi komposisi tim ini dengan menghadirkan unsur independen: akademisi lintas disiplin, pakar tata kelola, dan bahkan tokoh masyarakat sipil. Reformasi tidak mungkin datang dari dalam sistem yang korup, kecuali jika sistem itu dibuka secara radikal.
Tak kalah penting, USU perlu secara resmi mengundang lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman Republik Indonesia untuk melakukan audit etis dan kelembagaan secara menyeluruh. Evaluasi eksternal bukan aib, melainkan bentuk itikad baik. Kampus besar tidak akan runtuh karena dibedah, tetapi justru akan bangkit ketika berani menatap cermin dan mengoreksi dirinya sendiri secara jujur. Ini adalah tes kepemimpinan: apakah berani melepaskan kenyamanan demi integritas?
Pada akhirnya, reformasi tata kelola kampus bukan hanya untuk menjaga reputasi, tetapi untuk menyelamatkan masa depan generasi yang dititipkan dalam ruang-ruang kelas USU. Kita tidak sedang bicara tentang pencitraan kelembagaan, melainkan tentang pertaruhan etis: apakah kampus ini akan menjadi ladang ilmu atau kubangan korupsi? Jika pemimpin USU masih ingin dikenang sebagai pendidik, bukan pelindung penyimpangan, maka saatnya mereka membuktikan keberanian politiknya—dengan membuka pintu perubahan, bukan menutup-nutupi luka yang bernanah.
Penutup
Korupsi di lingkungan akademik bukan sekadar kejahatan administratif—ia adalah bentuk pengkhianatan intelektual. Ketika perguruan tinggi seperti Universitas Sumatera Utara (USU) membiarkan praktik penyimpangan berlangsung dalam senyap birokrasi, maka yang dirusak bukan hanya anggaran, tetapi nilai-nilai ilmu pengetahuan itu sendiri. Ini adalah pelanggaran terhadap akal sehat, pengingkaran terhadap etika keilmuan, dan bentuk pengabaian terhadap masa depan bangsa.
Lebih mengerikan lagi, jika pembohongan ini terus bersembunyi di balik gelar akademik, jabatan struktural, atau jargon reformasi, maka kita tidak sedang membangun dunia pendidikan—melainkan sedang memproduksi generasi yang mewarisi kebusukan sistem. Kampus, dalam keadaan seperti itu, bukan lagi tempat mendidik, tetapi pabrik ilusi yang membiarkan kebohongan tumbuh bersama kurikulum dan pakaian toga.
USU tidak membutuhkan lagi satu rapat tim reformasi atau satu dokumen pakta integritas tambahan. Yang dibutuhkan adalah reformasi nyata dan terbuka—dengan melibatkan publik, mengakui kesalahan, dan bertanggung jawab secara institusional. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak profesor dihasilkan, tetapi oleh seberapa jujur lembaga tempat ilmu itu dilahirkan.
Demikian
Penulis Advokat dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
---
Daftar Pustaka
1. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2024). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023 pada Universitas Sumatera Utara (USU). Jakarta: BPK RI.
2. Transparency International. (2013). Global Corruption Report: Education. London: Routledge.
3. Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press.
4. BarakTime. (2025, Mei). 10 Tahun Temuan BPK: USU Menikmati Cengkeraman Korupsi Sistemik. Diakses dari: https://www.baraktime.com/2025/05/10-tahun-temuan-bpk-usu-menikmati.html
5. Hehamahua, A. (2012). Korupsi di Dunia Pendidikan Merampas Masa Depan Bangsa. Jakarta: Penerbit Kompas (kutipan editorial).
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
7. Universitas Sumatera Utara. (2024). Keputusan Rektor Nomor 418/UN5.1.R/SK/SDM/2024 tentang Pedoman Rencana Aksi Pencegahan Korupsi (RAPK). Medan: Rektorat USU.
8. Iskandar Sitorus. (2024). Catatan Publik atas Kinerja Anggaran USU. [Wawancara dan laporan penggiat akuntabilitas publik]. https://www.porosjakarta.com/kanal-editorial/066024274/usu-dan-10-tahun-korupsi-dimaafkan-laporan-bpk-ungkap-penyimpangan-rp28-miliar?page=4#sidr
9. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Indeks Integritas Pendidikan Tinggi Indonesia. Jakarta: Kedeputian Pencegahan KPK.
10. Kemendikbudristek, https://kemdiktisaintek.go.id/kabar-dikti/kabar/mendiktisaintek-perkuat-sinergi-hukum-dengan-kejaksaan-agung-demi-pendidikan-tinggi-yang-bersih-dan-akuntabel/
Posting Komentar
0Komentar