Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
“Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya mencuri uang negara, tapi merampas masa depan bangsa.” Kalimat tajam dari Abdullah Hehamahua itu kini menemukan relevansinya yang paling pahit di Universitas Sumatera Utara (USU). Ketika kampus seharusnya menjadi benteng terakhir moralitas publik, ia justru terseret ke pusaran skandal yang mencoreng integritas akademik dan mempermalukan akal sehat. Temuan BPK soal agunan kebun sawit merugi sejak 2012 yang dijadikan jaminan kredit miliaran rupiah, bukan sekadar soal salah urus—tetapi menjadi sinyal bahaya adanya dugaan manipulasi sistematis yang mengabaikan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.
Kehadiran Pedoman Pencegahan Korupsi yang baru-baru ini digaungkan pihak rektorat tak lebih dari manifesto simbolik yang kehilangan daya gigit. Tanpa perubahan menyeluruh pada struktur kekuasaan internal dan pola relasi antarlembaga kampus, dokumen itu hanyalah kosmetik moral untuk menutupi luka lama yang menganga. Apalagi, belum ada mekanisme pertanggungjawaban terbuka terhadap siapa pun yang terlibat dalam kebun sawit USU di Tabuyung, Kabupaten Mandailing Natal bermasalah dengan laporan rugi sejak 2012 s/d 2025, namun bisa mendapat Kredit dari BNI sebesar Rp 228 miliar dengan agunan kebun sawit yang rugi tersebut dan penyalahgunaan keuangan lainnya. Bukannya membongkar akar masalah, pihak kampus justru lebih sibuk membungkam suara-suara kritis dari kalangan dosen dan mahasiswa yang menuntut transparansi.
USU sedang menghadapi titik nadir kredibilitas. Jika dunia pendidikan saja permisif terhadap korupsi, maka pesan etika yang diajarkan di ruang kuliah akan kehilangan maknanya. Dalam situasi seperti ini, perlawanan terhadap korupsi tidak bisa lagi diserahkan pada jargon internal. Harus ada intervensi eksternal—lembaga hukum, Ombudsman, bahkan KPK—untuk memastikan bahwa reformasi bukan hanya janji kosong. Kampus bukan hanya tempat menanam ilmu, tetapi juga integritas. Dan integritas itu kini sedang dihitung mundur di USU.
Anatomi Janji Antikorupsi USU
Namun, Universitas Sumatera Utara (USU) justru menampilkan ironi yang menyakitkan. Pada Maret 2024, Rektor USU menetapkan Keputusan Nomor 418/UN5.1.R/SK/SDM/2024 tentang Pedoman Rencana Aksi Pencegahan Korupsi (RAPK). Dokumen ini tampak visioner di atas kertas—mengatur prinsip transparansi, integritas, serta pengendalian gratifikasi dan konflik kepentingan. Namun sayangnya, semangat yang tertuang dalam dokumen tersebut berhenti sebagai simbol, bukan sistem. Tidak ada publikasi terbuka mengenai capaian RAPK, tidak ada forum evaluasi periodik, bahkan tidak ada kanal pengaduan independen yang bisa menjamin perlindungan pelapor pelanggaran.
Yang lebih memprihatinkan, RAPK itu lahir di tengah situasi kampus yang justru mengalami penurunan drastis dalam hal akuntabilitas publik. Proyek-proyek bernilai miliaran rupiah tetap berjalan tanpa akses informasi terbuka, sementara laporan keuangan internal sulit ditelusuri. Lembaga pengawasan seperti Satuan Pengawas Internal (SPI) tak lebih dari "penonton resmi" dalam sirkus pengambilan kebijakan yang tertutup dan hierarkis. Transparansi hanyalah slogan, bukan praktik yang hidup dalam tata kelola universitas.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya antikorupsi tidak bisa dibentuk hanya lewat keputusan administratif. Dibutuhkan keberanian struktural—mulai dari restrukturisasi unit pengawasan, pelibatan publik kampus secara nyata, hingga keterbukaan atas segala bentuk perencanaan dan penggunaan anggaran. Jika tidak, pedoman antikorupsi itu hanyalah kamuflase etis, dibuat bukan untuk mencegah korupsi, tetapi untuk meredam tekanan publik. Pada titik ini, USU tampak lebih peduli pada tampilan moral daripada substansi etika.
Realita BPK: Angka Tidak Pernah Bohong
Audit bukan sekadar laporan teknokratis. Ia adalah cermin integritas—dan dalam kasus Universitas Sumatera Utara (USU), cermin itu retak parah. Laporan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2024 mengungkap fakta mencengangkan: USU menerima kredit jumbo sebesar Rp 228 miliar dari Bank Negara Indonesia (BNI), dengan agunan berupa kebun sawit di Tabuyung, Mandailing Natal, yang justru tercatat terus merugi sejak 2012. Dalam kaidah bisnis, ini bukan keputusan yang keliru, tapi mencurigakan.
Tidak ada dokumen kajian kelayakan bisnis yang memadai, apalagi transparansi kepada publik kampus soal dasar pengambilan keputusan tersebut. Proyek yang dikelola di bawah badan usaha milik universitas ini berjalan dalam senyap, tertutup dari pengawasan mahasiswa, dosen, maupun publik eksternal. Alih-alih memperbaiki performa aset kampus, justru muncul indikasi kuat terjadinya conflict of interest antara pimpinan universitas dan pihak mitra pengelola kebun sawit. Ketika pengelolaan aset negara dipenuhi jejaring kedekatan, maka celah korupsi terbuka lebar.
Yang lebih tragis, laporan yang seharusnya menjadi alarm perubahan itu justru berakhir sebagai dokumen formalitas. Tidak ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum, tidak ada sikap jelas dari Kementerian Pendidikan, dan tidak ada upaya perbaikan sistem dari dalam USU sendiri. Seolah laporan BPK hanyalah angin lalu. Dalam negara hukum yang sehat, temuan sebesar ini seharusnya menjadi pintu masuk penyelidikan pidana, bukan sekadar bahan diskusi di ruang seminar.
Fenomena ini memperlihatkan kegagalan total dalam membangun respons struktural terhadap korupsi. Ketika pelanggaran besar dibiarkan tanpa sanksi, maka korupsi tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan, melainkan norma baru yang diterima dalam sistem. Inilah yang oleh sosiolog Pierre Bourdieu disebut sebagai pembentukan habitus korupsi, di mana budaya diam, permisif, dan loyalitas semu menggantikan akuntabilitas. USU sedang menuju titik di mana korupsi tidak perlu disembunyikan lagi—karena ia telah menjadi bagian dari rutinitas institusional.
Angka-angka dalam laporan BPK tidak pernah berbohong. Yang kerap berdusta adalah cara kita menanggapi angka-angka itu. Jika tak ada tindakan hukum, jika tak ada evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan rektorat, maka USU bukan hanya gagal sebagai institusi akademik, tetapi juga telah mengkhianati mandatnya sebagai pengelola keuangan negara. Diamnya negara atas kasus ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bentuk lain dari pembiaran terhadap perusakan masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.
Dalam konteks Universitas Sumatera Utara (USU), reformasi antikorupsi bukan hanya menghadapi tantangan struktural, tetapi juga represi birokratik yang sistematis. Salah satu bentuk paling mengkhawatirkan dari resistensi itu adalah obstruction of justice—penghalangan terhadap proses pengungkapan kebenaran. Ketika dosen-dosen bersuara soal dugaan penyimpangan keuangan, ketika mahasiswa menggelar forum diskusi kritis, atau ketika media kampus mencoba menelusuri jejak aliran dana proyek kebun sawit, respons institusi bukan introspeksi, melainkan intimidasi. Kegiatan dibekukan, forum dibubarkan, dan akses terhadap dokumen internal mendadak dikunci rapat.
Fenomena ini persis seperti yang dikritik oleh Noam Chomsky dalam tesisnya tentang manufacturing consent—di mana institusi pendidikan bukan lagi tempat tumbuhnya nalar bebas, melainkan pabrik pembentuk konsensus yang melayani kekuasaan. Dalam kondisi demikian, keberanian untuk mengkritik sistem dianggap sebagai gangguan, bukan kontribusi. Kampus bukan lagi rumah intelektual, tetapi ruang steril yang mengutamakan keseragaman atas keberanian berpikir. Ketika sistem hanya menyisakan satu suara—suara pimpinan—maka demokrasi kampus telah berubah menjadi monolog kekuasaan.
Lebih parah lagi, represi terhadap suara-suara kritis tidak disertai dengan mekanisme pengaduan atau evaluasi independen. Tidak ada ruang banding institusional. Tidak ada perlindungan terhadap pelapor. Padahal, dalam prinsip good university governance, transparansi dan partisipasi bukanlah pilihan, melainkan prasyarat. Ini menunjukkan bahwa obstruction of justice di USU bukanlah insiden, melainkan gejala sistemik. Birokrasi kampus telah berubah menjadi tembok, bukan jendela. Ia menutupi, bukan membuka.
Dalam perspektif hukum pidana, Prof. Barda Nawawi Arief dengan tegas menyatakan bahwa obstruction of justice adalah bentuk pelanggaran serius terhadap keadilan substantif. Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa penghalangan terhadap proses pembuktian kebenaran, terlebih di lembaga publik, merupakan “tindak pidana lanjutan” yang memperkuat impunitas. Jika obstruction ini dibiarkan di dunia akademik, maka kampus justru akan mencetak generasi yang terbiasa menoleransi ketidakadilan demi stabilitas semu.
USU sedang memainkan paradoks berbahaya: membungkam suara demi menjaga reputasi. Tapi reputasi yang dibangun di atas represi adalah reputasi semu. Kampus yang takut terhadap kritik, sejatinya sedang menyiapkan keruntuhan dari dalam. Jika birokrasi kampus terus menjadi alat kekuasaan yang antikritik, maka bukan hanya keadilan yang mati, tetapi juga harapan akan pendidikan yang membebaskan. Maka menjadi tugas publik, termasuk aparat penegak hukum, untuk memastikan bahwa obstruction of justice ini tak lagi berlindung di balik toga dan gelar.
Kosmetik Moral atau Reformasi Struktural?
Ada perbedaan fundamental antara membangun sistem antikorupsi dan sekadar mendeklarasikan niat. Di Universitas Sumatera Utara (USU), perbedaan itu terlihat jelas: dokumen Pedoman Pencegahan Korupsi memang ada, tetapi dampaknya nyaris tak terasa. Di tengah sorotan publik akibat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kampus ini tampak lebih sibuk merawat citra daripada membongkar akar masalah. Antikorupsi seolah menjadi kosmetik moral—dipakai saat kamera menyala, dilepas saat panggung reda.
Dalam prinsip good governance, antikorupsi bukan sekadar dokumen normatif, melainkan sistem yang hidup. Itu berarti harus ada transparansi menyeluruh dalam tata kelola, akuntabilitas terhadap publik, serta partisipasi aktif dari sivitas akademika. Sayangnya, ketiganya nyaris absen di USU. Lelang proyek masih berjalan tanpa sistem informasi publik yang terbuka. Proyek kebun sawit bernilai ratusan miliar dijalankan tanpa kajian bisnis kredibel. Dan ketika suara-suara kritis muncul, respons birokrasi bukan koreksi, melainkan represi.
Tidak adanya tindak lanjut hukum atas temuan BPK hanya menambah daftar ironi. Sampai hari ini, belum ada keterlibatan resmi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, maupun Ombudsman dalam mengusut skandal keuangan kampus. Padahal, sebagai pengelola anggaran negara, USU berada dalam koridor hukum yang seharusnya diawasi secara ketat. Jika tidak ada audit forensik independen dari lembaga eksternal yang kredibel, maka reformasi akan terus mentok di level retorika.
Reformasi struktural juga menuntut keberanian membuka ruang partisipasi publik secara substansial. Mahasiswa dan dosen tidak boleh lagi sekadar menjadi pelengkap acara seremoni. Mereka harus memiliki kursi dan suara dalam dewan pengawas kampus, dengan akses langsung terhadap dokumen keuangan dan proses pengambilan kebijakan. Tanpa mekanisme keterlibatan kolektif, sistem akan terus dikendalikan oleh oligarki kampus yang kebal kritik dan akuntabilitas.
Lebih jauh, unit-unit usaha kampus yang berorientasi pada laba harus direformasi total. Pengelolaan kebun sawit, rumah sakit pendidikan, hingga kerja sama swasta harus tunduk pada prinsip transparansi dan audit publik. Proyek-proyek tersebut tidak boleh menjadi ruang gelap yang rawan konflik kepentingan, apalagi digunakan sebagai alat politik atau kepentingan pribadi segelintir elite birokrasi kampus. USU butuh tata kelola yang menjunjung integritas, bukan sekadar laba.
Dan akhirnya, tak akan ada makna dari seluruh pedoman antikorupsi jika tidak diikuti dengan keberanian menjatuhkan sanksi. Sanksi etik dan hukum harus ditegakkan tanpa kompromi, tanpa pandang bulu. Inilah ujian sejati dari komitmen antikorupsi: apakah kampus bersedia melukai dirinya sendiri untuk menyembuhkan penyakit yang telah mengakar? Atau justru terus membungkus borok itu dengan jargon moral yang manis di luar tapi membusuk di dalam?
USU kini berada di persimpangan sejarahnya: antara membuktikan bahwa ia layak disebut universitas negeri yang modern dan bersih, atau tenggelam sebagai contoh buruk dari institusi pendidikan yang gagal menjaga marwahnya sendiri. Publik tak lagi butuh deklarasi moral. Yang dibutuhkan adalah keberanian struktural untuk bertindak. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Dan jika bukan dari kampus, dari mana lagi bangsa ini belajar integritas?
Penutup
Universitas Sumatera Utara (USU) adalah rumah besar ilmu pengetahuan, tempat di mana nilai kejujuran dan akuntabilitas seharusnya dijunjung tinggi. Namun rumah itu kini retak, bukan oleh waktu, melainkan oleh kebocoran moral dan pembiaran struktural. Pedoman Pencegahan Korupsi yang mestinya menjadi fondasi perubahan justru tampak seperti dekorasi simbolik—indah dalam kata, nihil dalam aksi.
Jika kampus tidak membuka ruang bagi penyelidikan hukum, tidak mengundang aparat penegak hukum untuk masuk, dan tidak menjatuhkan sanksi pidana pada pelanggaran yang nyata, maka integritas yang digaungkan hanyalah basa-basi. Tanpa efek jera, budaya korup akan terus beranak-pinak dalam diam. Penegakan hukum bukan pelengkap, tapi kunci—karena hanya dengan sanksi tegas, sistem bisa bersih, dan kepercayaan publik bisa dipulihkan.
USU harus memilih: menjadi mercusuar perubahan dengan menegakkan hukum dan menempatkan etika di atas kepentingan pribadi, atau menjadi bangunan tua yang menunggu ambruk oleh bobot kebohongan yang dibiarkan tumbuh subur. Dalam sejarah republik ini, kampus bukan sekadar tempat belajar, tapi benteng terakhir akal sehat bangsa. Dan jika benteng itu runtuh, maka siapa lagi yang bisa kita harapkan menjaga nurani negeri?.
Demikian.
Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
____________
Daftar Pustaka
1. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Keuangan Universitas Sumatera Utara Tahun 2024.
Jakarta: BPK RI, 2024.
https://www.bpk.go.id
2. Universitas Sumatera Utara (USU).
Keputusan Rektor USU Nomor 418/UN5.1.R/SK/SDM/2024 tentang Pedoman Rencana Aksi Pencegahan Korupsi (RAPK).
Medan: Biro SDM USU, 2024.
3. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perguruan Tinggi Negeri.
Jakarta: Kemendikbud RI, 2020.
4. Barda Nawawi Arief.
Kapita Selekta Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
(Bab tentang Obstruction of Justice dan Penegakan Hukum Pidana dalam Lingkungan Pendidikan)
5. Transparency International Indonesia (TII).
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2024.
Jakarta: TII, 2024.
https://ti.or.id
6. Chomsky, Noam.
Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media.
New York: Pantheon Books, 1988.
(Relevan dalam konteks represi terhadap kritik di institusi publik)
7. Ombudsman Republik Indonesia.
Laporan Tahunan 2023: Pelayanan Publik dan Maladministrasi di Sektor Pendidikan Tinggi.
Jakarta: ORI, 2023.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Modul Pendidikan Antikorupsi Perguruan Tinggi.
Jakarta: KPK RI, 2022.
https://www.kpk.go.id
9. Baraktime.com.
“USU: Janji Pencegahan Korupsi vs. Realita Temuan BPK yang Mencengangkan.”
https://www.baraktime.com/2025/06/usu-janji-pencegahan-korupsi-vs-realita.htm
Posting Komentar
0Komentar