Pendahuluan
> “In some circumstances, insurgent bodies or belligerents may acquire international personality where they attain de facto control and engage in relations under international law.” — J.G. Starke
J.G. Starke, dalam Introduction to International Law, membuka cakrawala pemahaman kita bahwa subjek hukum internasional bukan semata-mata negara yang berdaulat. Dalam praktik modern, aktor-aktor non-negara—seperti organisasi internasional, individu, dan kelompok pemberontak—dapat memperoleh pengakuan terbatas sebagai subjek hukum internasional bila memenuhi kriteria tertentu. Teori ini menjadi relevan dalam mengurai kedudukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam konteks penandatanganan MoU Helsinki tahun 2005 dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Starke secara eksplisit menyatakan bahwa kelompok pemberontak dapat memperoleh kepribadian hukum internasional jika mereka menguasai suatu wilayah secara de facto dan mampu menjalin hubungan berdasarkan norma-norma hukum internasional. Dalam hal ini, GAM memenuhi unsur-unsur tersebut: mereka memiliki struktur kepemimpinan, kendali atas wilayah tertentu di Aceh selama konflik, serta terlibat dalam negosiasi internasional yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) dan dipantau oleh lembaga internasional seperti AMM. Maka, klaim bahwa GAM hanyalah aktor domestik tanpa status hukum internasional tidak lagi relevan dalam kerangka normatif yang dikemukakan Starke.
Namun demikian, MoU Helsinki bukanlah treaty dalam pengertian formal berdasarkan Konvensi Wina 1969 karena ditandatangani antara negara dan aktor non-negara. Meski begitu, substansinya memuat komitmen politik, moral, dan hukum yang mengikat secara timbal balik. MoU ini menjadi perwujudan dari prinsip pacta sunt servanda dalam versi non-tradisional, yang menuntut itikad baik dan konsistensi pelaksanaan dari para pihak. Dalam hal ini, moralitas dan legitimasi politik bertransformasi menjadi norma-norma yang melekat dalam praktik hukum internasional kontemporer.
Pengakuan terhadap GAM sebagai subjek hukum internasional terbatas tidak hanya memiliki dampak teoretis, tetapi juga konsekuensi praktis. Salah satunya: tidak adanya klausul eksplisit dalam MoU Helsinki yang menyatakan pembubaran GAM secara hukum. Maka, dari sudut pandang Starke, GAM tetap eksis sebagai entitas historis dan politik, walaupun telah meninggalkan perjuangan bersenjata dan terintegrasi dalam sistem demokrasi nasional. Fakta ini membuktikan bahwa hukum internasional modern semakin memberi ruang pada aktor non-negara dalam kerangka penyelesaian konflik.
Lebih jauh, pendekatan Starke memberikan preseden penting bagi bangsa-bangsa yang tengah menghadapi konflik internal. Ketika negara mampu bernegosiasi secara setara dengan kelompok pemberontak dalam kerangka normatif internasional, maka perdamaian bukan lagi utopia, melainkan konsekuensi dari rekognisi terhadap realitas politik dan hukum. Dalam kasus Aceh, teori Starke menjelaskan mengapa MoU Helsinki tetap menjadi model damai yang kokoh: karena ia berdiri di atas pengakuan, bukan penyangkalan; dialog, bukan dominasi.
.
Relevansi terhadap Status Hukum GAM
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bukan sekadar gerakan separatis domestik. Dalam perspektif J.G. Starke, GAM memenuhi syarat sebagai subjek hukum internasional terbatas—entitas non-negara yang dalam kondisi tertentu dapat memiliki kapasitas hukum di tingkat internasional. Ini bukan klaim politis, melainkan pembacaan rasional atas kenyataan bahwa GAM selama bertahun-tahun menguasai wilayah Aceh secara de facto, memiliki struktur pemerintahan tersendiri, dan menyatakan tujuan politik yang konsisten: kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia.
Kehadiran GAM dalam perjanjian MoU Helsinki tahun 2005 bukan sebuah pengecualian, melainkan konfirmasi atas eksistensinya sebagai aktor dalam hukum internasional. Perjanjian tersebut tidak dilakukan secara sepihak atau di ruang tertutup. Ia dimediasi oleh lembaga internasional (Crisis Management Initiative) dan dipantau oleh misi pemantau Uni Eropa (AMM), yang merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap kapasitas hukum kedua pihak. Dalam hukum internasional modern, keterlibatan seperti ini menjadi indikator kunci dari status hukum entitas yang terlibat.
Lebih jauh, GAM tidak datang ke meja perundingan sebagai pihak yang kalah perang, tetapi sebagai entitas yang diakui memiliki legitimasi untuk merundingkan masa depan politik Aceh. Dalam kerangka Starke, hal ini menjadi penanda kuat bahwa GAM telah melampaui status “kelompok domestik bersenjata” dan memasuki ranah aktor internasional dengan hak dan kewajiban terbatas. Dengan kata lain, mereka bukan objek dari politik negara, tetapi subjek dari proses damai yang sah.
Konsekuensinya jelas: keberadaan GAM tidak dapat dihapuskan begitu saja pasca-MoU, karena tidak ada klausul eksplisit yang menyatakan pembubarannya. Sebaliknya, keberadaan mereka bertransformasi dari gerakan bersenjata ke partai politik lokal, sebagai bagian dari desain perdamaian berkelanjutan. Ini bukan sekadar kompromi politik, tetapi konsolidasi status hukum dalam kerangka teori internasional yang mapan, sebagaimana ditegaskan oleh J.G. Starke.
Kedudukan MoU Helsinki Menurut Starke
Dalam pusaran dinamika hukum internasional, tidak semua perjanjian harus dibingkai dalam bentuk treaty formal antarnegara. J.G. Starke secara eksplisit membuka ruang bagi perjanjian yang lahir dari “international engagements between subjects of international law”, termasuk perjanjian antara negara dan entitas non-negara. Inilah fondasi teoritik yang meneguhkan kedudukan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki sebagai perjanjian internasional dalam arti material, meskipun tidak dikategorikan sebagai treaty dalam kacamata konvensional Konvensi Wina 1969.
MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 tidak hanya menyudahi konflik bersenjata yang berlangsung puluhan tahun di Aceh, tetapi juga menjadi cetak biru damai yang diakui oleh komunitas internasional. Meski bentuknya bukan treaty, ia menghasilkan dampak nyata: penghentian konflik, pelucutan senjata, pembentukan partai lokal, serta reintegrasi kombatan ke dalam masyarakat sipil. Semua ini adalah konsekuensi hukum dari suatu kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk terikat.
Fakta bahwa perjanjian ini dimediasi dan dipantau oleh lembaga internasional seperti Crisis Management Initiative (CMI), Uni Eropa, dan Aceh Monitoring Mission (AMM) menegaskan dimensi internasional yang tidak bisa dibantah. Fasilitasi pihak ketiga dari komunitas global bukan sekadar simbol, tetapi bentuk rekognisi terhadap validitas hukum dan politik dari perjanjian tersebut. Ini adalah substansi dari apa yang disebut Starke sebagai material agreement with international effects—yaitu kesepakatan yang membawa perubahan nyata dan mengikat, meski tidak dibungkus dalam kemasan hukum formal.
Lebih penting lagi, Starke menekankan bahwa dalam konteks konflik bersenjata internal yang berdampak internasional, keterikatan moral dan politik suatu MoU dapat menjadi sumber legitimasi hukum. Dalam hal ini, MoU Helsinki menjadi dokumen hibrida: ia berdiri di antara norma politik dan norma hukum, dengan kekuatan yang bersandar pada prinsip pacta sunt servanda, itikad baik, dan pengawasan internasional. Inilah yang membedakannya dari kesepakatan-kesepakatan lokal yang bersifat simbolik tanpa efek legal yang mengikat.
MoU Helsinki menunjukkan bahwa hukum internasional modern telah bertransformasi: dari sistem tertutup yang hanya diisi oleh negara-negara, menjadi ruang dialog antara negara dan aktor non-negara yang sah secara normatif. Dalam konteks ini, kerangka teori J.G. Starke tidak hanya menjelaskan, tetapi juga membenarkan bahwa MoU Helsinki adalah perjanjian internasional secara substantif, dan karenanya, tidak dapat diperlakukan sebagai sekadar kesepakatan politis domestik. Ia adalah bagian dari hukum perdamaian global.
Penutup
Dalam perspektif hukum internasional J.G. Starke, status Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak bisa direduksi hanya sebagai entitas domestik. GAM telah memenuhi indikator sebagai subjek hukum internasional terbatas—yakni kelompok pemberontak yang menguasai wilayah, memiliki struktur politik, dan berpartisipasi dalam negosiasi internasional. Penandatanganan MoU Helsinki menjadi penegasan bahwa mereka diakui, secara de facto, sebagai pihak yang sah dalam resolusi konflik, bukan semata objek dari kebijakan negara.
MoU Helsinki itu sendiri bukanlah treaty formal dalam makna Konvensi Wina 1969, namun secara substansial memuat ciri-ciri perjanjian internasional. Ia lahir dari interaksi antara dua subjek hukum internasional, didukung fasilitasi lembaga internasional, dan menghasilkan konsekuensi hukum nyata di ranah pasca-konflik: pelucutan senjata, reintegrasi kombatan, dan reformasi kelembagaan di Aceh. Artinya, meski lahir dari proses politik, MoU Helsinki membawa bobot normatif yang setara dengan komitmen internasional lainnya—termasuk prinsip pacta sunt servanda yang mewajibkan para pihak untuk menepati janji.
Karena itu, baik Pemerintah Indonesia maupun eks-GAM, memiliki tanggung jawab moral, politik, dan dalam batas tertentu hukum, untuk menjaga integritas perjanjian tersebut. Melanggar MoU berarti bukan hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mengkhianati fondasi perdamaian yang telah diakui komunitas internasional. Dalam dunia yang semakin mengedepankan prinsip good faith, stabilitas bukan dibangun dari kekuatan koersif, melainkan dari kesetiaan pada komitmen bersama. Maka, menjaga MoU Helsinki adalah menjaga martabat hukum, moral, dan masa depan perdamaian Indonesia.
Demikian.
Penulis M.Taufik Umar Dani Harahap, SH. Merupakan Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut
_________
Referensi Utama
J.G. Starke, Introduction to International Law, 10th Edition, Butterworths, 1989
Christine Bell, Peace Agreements and Human Rights, Oxford University Press, 2000
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Posting Komentar
0Komentar