Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
“Penghalang terhadap keadilan adalah musuh pertama hukum.” Kutipan itu tidak lagi menjadi peringatan abstrak, melainkan kenyataan tragis dalam kasus OTT Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting. Bukan hanya praktik suap yang mencemari wajah birokrasi daerah, tetapi juga dugaan kuat adanya upaya sistematis menghalangi proses hukum: obstruction of justice—tindakan kriminal yang menghantam jantung penegakan keadilan.
Topan Ginting bukan tokoh anonim dalam politik birokrasi Sumatera Utara. Lahir 7 April 1983, alumnus STPDN ini menapaki karier dari Kasubbag Protokol Pemko Medan, hingga menjadi Kepala Dinas PU Kota Medan saat Bobby Nasution menjabat wali kota. Ia kemudian naik menjadi Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut sejak Februari 2025. Kariernya naik seiring loyalitas politik terhadap Bobby—fakta yang tidak bisa dipisahkan dari struktur patronase yang mengatur promosi jabatan di pemerintahan daerah.
KPK menangkap Topan melalui OTT atas dugaan penerimaan suap dalam proyek infrastruktur strategis. Namun, narasi tidak berhenti di sana. Berbagai indikasi mulai terkuak: bukti elektronik yang tiba-tiba tidak valid, saksi yang "menghilang", hingga kabar beredarnya upaya intimidasi terhadap pegawai dinas yang dianggap tahu terlalu banyak. Jika ini terbukti, maka kita tak sedang berhadapan hanya dengan korupsi, melainkan kejahatan lanjutan: penghalangan terhadap keadilan.
Dalam hukum Indonesia, istilah obstruction of justice memang tidak tertulis secara eksplisit. Namun, substansinya diakomodasi oleh berbagai pasal, seperti Pasal 221 KUHP (menyembunyikan pelaku), Pasal 231 dan 233 KUHP (menghilangkan barang bukti atau menggagalkan penyidikan), serta secara tegas dalam Pasal 21 UU Tipikor yang melarang setiap upaya mencegah atau menggagalkan proses penyidikan dan penuntutan. Ancaman pidananya mencapai 12 tahun. Sanksi ini menggarisbawahi bahwa penghalang keadilan adalah kejahatan terhadap supremasi hukum itu sendiri.
Sayangnya, upaya menghalangi keadilan kerap bersifat struktural. Dalam kasus Topan, terdapat jaringan birokrasi loyalis yang berpotensi menutupi jejak. Prof. Romli Atmasasmita menyebutnya sebagai “korupsi sistemik yang selalu diikuti oleh tindakan perlindungan internal”. Artinya, saat satu pejabat ditangkap, bukan tidak mungkin ada tangan-tangan kekuasaan yang bergerak untuk membungkam penyidikan. Ini yang kerap membuat OTT tak berdampak besar secara sistemik.
Lebih jauh lagi, pola karier Topan yang sangat politis memperkuat dugaan bahwa penegakan hukum bukan semata urusan hukum. Ia juga menyangkut relasi kuasa. Bobby Nasution sebagai Gubernur Sumut punya beban etik dan politik dalam kasus ini. Dalam prinsip public accountability, pemimpin tidak bisa hanya bersembunyi di balik kalimat “saya tidak tahu”. Sebab, dalam politik birokrasi, “yang loyal dinaikkan, yang tahu dibungkam” bukan lagi mitos, tapi praktik yang hidup.
Kini, bola ada di tangan KPK. Jika penghalang keadilan tidak diusut hingga ke akar—termasuk siapa yang memerintahkan, menyembunyikan, atau mengintimidasi saksi—maka kasus ini akan menjadi contoh klasik betapa hukum di Indonesia bisa macet bukan karena tak ada bukti, tapi karena bukti sengaja dimatikan. Dan itulah yang paling berbahaya: ketika negara diam atas kematian keadilan yang disengaja.
Tidak Eksplisit, Tapi Tegas
KUHP memang tidak menyebut istilah obstruction of justice secara harfiah. Namun, tidak menyebut bukan berarti tidak ada. Dalam Black’s Law Dictionary, obstruction of justice diartikan sebagai “any interference with the orderly administration of law and justice” — mencakup tindakan menghalangi penyelidikan, merusak bukti, hingga mengintimidasi atau menyuap saksi. Inilah substansi yang secara normatif telah diadopsi oleh hukum pidana nasional, meskipun tersebar dalam sejumlah pasal.
Pasal 221 KUHP adalah fondasi awal. Siapa pun yang dengan sengaja menyembunyikan pelaku tindak pidana atau memberi bantuan agar terhindar dari penyelidikan dan penahanan, dapat dipidana. Ini menyasar tindakan protektif dari atasan, kolega, atau bahkan pihak luar seperti pengacara, ASN loyalis, atau oknum aparat yang bermain dua kaki. Dalam konteks kasus OTT Topan Ginting, ini menjadi sangat relevan—terutama bila ditemukan adanya upaya sistematis melindungi aktor utama dan mengamankan jaringan pendukung.
Pasal 231 dan 233 KUHP memperluas cakupan. Tidak hanya menyasar pelaku utama, tapi juga siapa saja yang secara aktif menghilangkan, menyembunyikan, atau menghancurkan barang bukti. Misalnya, penghapusan dokumen elektronik proyek infrastruktur, penggantian notulensi rapat pengadaan, hingga hilangnya rekaman CCTV dalam proses tangkap tangan. Semua itu bisa dimaknai sebagai bentuk obstruction yang memiliki konsekuensi hukum serius.
Lalu bagaimana dengan hukum positif di luar KUHP? Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan rambu paling eksplisit: menghalangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, maupun persidangan kasus korupsi dipidana maksimal 12 tahun. Pasal ini adalah instrumen strategis bagi KPK dan aparat penegak hukum lainnya untuk menindak pihak-pihak yang coba bermain di balik layar.
Tindakan obstruction bukan sekadar pelanggaran prosedural, tapi ancaman nyata terhadap prinsip due process of law. Ia menghancurkan akuntabilitas dari dalam. Ketika saksi diintimidasi, bukti dihilangkan, atau pelaku utama diselamatkan, maka proses hukum kehilangan integritas. Dan pada titik itu, seperti kata Prof. Romli Atmasasmita, “yang mati bukan hanya hukum, tetapi harapan masyarakat pada keadilan itu sendiri.”
Korupsi dan Kejahatan Lanjutan
Korupsi di Indonesia tidak pernah berdiri sendiri. Ia hampir selalu datang bersama iring-iringan kejahatan lanjutan: intimidasi saksi, manipulasi dokumen, penghancuran bukti, hingga penghilangan data digital. Inilah yang disebut oleh Prof. Romli Atmasasmita sebagai organized crime within bureaucracy—kejahatan yang bukan hanya dilakukan oleh individu, tetapi dilindungi oleh sistem kekuasaan itu sendiri. Korupsi menjadi entitas hidup yang bergerak cepat, cerdas, dan licin, jauh melampaui pola-pola hukum pidana klasik.
Dalam konteks itu, penghalangan keadilan (obstruction of justice) bukan sekadar pelengkap, tapi bagian integral dari modus operandi. Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut tegas bahwa siapa pun yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum—baik secara langsung maupun tidak langsung—diancam pidana berat: maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp600 juta. Ini adalah pasal antisipatif terhadap mafia keadilan yang bergerak dalam bayang-bayang sistem hukum.
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa dalam 67% kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum antara 2018–2023, ditemukan indikasi obstruction, baik berupa tekanan terhadap saksi, penghilangan berkas, hingga intervensi politik. Artinya, hampir 7 dari 10 kasus korupsi diwarnai dengan kejahatan lanjutan. Fenomena ini menggambarkan bahwa penindakan korupsi tidak cukup hanya berhenti pada aktor penerima atau pemberi suap, tapi harus menjangkau ekosistem pelindung kejahatan itu.
Khusus dalam kasus OTT Topan Ginting di Sumatera Utara, tanda-tanda obstruction ini mulai tampak: adanya jeda waktu yang tidak lazim dalam pengembangan tersangka, keengganan saksi internal bicara, hingga dugaan peran pejabat lain yang justru ikut melindungi, bukan mendukung proses hukum. Jika ini dibiarkan, maka seluruh operasi tangkap tangan hanya akan menjadi sandiwara prosedural—sorotan kamera tanpa kekuatan hukum substantif.
Sebagaimana dikatakan Prof. Romli, "korupsi hanya bisa dibongkar tuntas jika keberanian menindak penghalangnya lebih besar daripada kepentingan menjaga citra kekuasaan." Hukum anti-korupsi bukan hanya soal penangkapan, tetapi juga menyangkut keberanian untuk memotong mata rantai pelindung yang membuat korupsi terus tumbuh subur di birokrasi daerah. Jika Pasal 21 tidak ditegakkan sekarang, maka pesan yang dikirimkan justru jelas: bahwa di negeri ini, hukum bisa dibendung dengan kekuasaan.
Pola Klasik: Saksi Menghilang dan Barang Bukti Dihilangkan
Dalam setiap kasus korupsi besar, selalu ada skenario pengaburan. Bukan hanya aliran uang yang disembunyikan, tetapi juga pelaku kunci yang diamankan atau “dihilangkan” dari jangkauan hukum. OTT KPK terhadap Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara menunjukkan pola klasik tersebut: tersangka yang dijaring hanyalah pejabat teknis, sementara pengambil keputusan di tingkat strategis tetap tak tersentuh. Ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah hukum kita benar-benar berani, atau hanya selektif dalam menindak?
Salah satu indikasi paling krusial dari obstruction of justice adalah hilangnya saksi atau tidak kooperatifnya aparatur birokrasi dalam memberikan informasi. Dalam konteks OTT Topan Ginting, pertanyaan besar mengemuka: di mana posisi saksi kunci? Apakah mereka benar-benar bungkam karena takut, atau telah dijauhkan dari proses hukum oleh tangan-tangan tak terlihat? Penghilangan saksi bukan hanya bentuk sabotase hukum, tapi juga pembunuhan atas kebenaran.
Selain saksi, perkara korupsi era digital sangat bergantung pada bukti elektronik: log percakapan, aliran transaksi bank, dokumen pengadaan daring, dan rekaman CCTV. Jika bukti-bukti ini tidak diamankan dalam waktu cepat, maka keadilan tinggal selangkah lagi dari kegagalan. Berdasarkan data KPK, lebih dari 35% kasus korupsi daerah sejak 2020 menghadapi kendala hilangnya atau rusaknya bukti elektronik dalam 3 hari pertama pasca-OTT. Ini bukan kebetulan, melainkan pola sistemik.
Prof. Herkristuti Harkrisnowo, dalam risetnya di UI, menegaskan bahwa tindakan menghalangi keadilan seharusnya ditindak sebagai delik tersendiri, bukan sekadar perintang administrasi penyidikan. Ketika aparat penegak hukum gagal menindak penghilangan saksi dan manipulasi bukti, maka secara tidak langsung negara sedang memberi insentif pada mafia birokrasi untuk terus bermain. Alih-alih menakutkan, hukum justru menjadi alat tawar-menawar.
Maka, dalam setiap penyidikan kasus besar seperti OTT PUPR Sumut ini, pengamanan saksi dan bukti digital harus menjadi prioritas awal, bukan tambahan prosedural. Tanpa itu, kerja KPK akan selalu dibajak oleh kekuasaan lokal yang bermain rapi dan sistematis. Ini bukan soal menangkap banyak orang, tapi tentang menjaga agar kebenaran tidak dikubur sebelum sempat bicara.
Hukum Harus Bertaji
Hukum pidana kehilangan daya gentarnya saat keberpihakannya menjadi vertikal—tajam ke bawah, tumpul ke atas. Prof. Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro, berulang kali menegaskan: hukum tidak boleh semata represif, tapi juga harus edukatif dan preventif. Ketika publik menyaksikan pejabat yang jelas-jelas menghilangkan barang bukti atau menekan saksi justru dilindungi, maka efek jera yang seharusnya tercipta malah berubah menjadi sinisme terhadap sistem keadilan.
Penegakan hukum di Sumatera Utara, terutama dalam kasus OTT Kepala Dinas PUPR, akan menjadi uji lakmus. Bukan sekadar tentang siapa yang tertangkap, tetapi seberapa dalam aparat hukum berani membongkar jejaring obstruction of justice. Sebab di balik satu pejabat yang ditangkap, hampir selalu ada struktur loyalis—baik di lingkar ASN, penegak hukum, maupun politisi daerah—yang menjadi pelindung sekaligus penyembunyi kejahatan.
Kasus ini juga mengungkap realitas kelam birokrasi: ASN loyalis sering dimanfaatkan untuk mengganti atau memalsukan dokumen pengadaan agar menghilangkan jejak korupsi. Di sisi lain, oknum aparat penegak hukum diduga kuat kerap membocorkan rencana penangkapan atau bahkan memberikan “proteksi informal” kepada pelaku utama. Dan tak kalah berbahaya, politisi lokal memainkan peran bayangan dengan menekan saksi atau mengatur alibi melalui pengaruh kekuasaan dan uang.
Fakta ini sejalan dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023, yang mencatat bahwa dalam 42% kasus korupsi daerah, terjadi keterlibatan pihak ketiga dalam upaya menghalangi penyidikan. Artinya, kejahatan ini bukan hanya milik individu, tetapi sudah menjadi pola struktural. Jika KPK dan lembaga penegak hukum tidak masuk hingga ke jaringan proteksi ini, maka OTT akan terus berulang tanpa pernah menyentuh inti masalah.
Sudah saatnya hukum berbicara bukan hanya melalui pasal-pasal, tetapi melalui ketegasan dan keberanian. Menindak pelaku utama itu penting, namun menindak penghalang keadilan jauh lebih penting, karena mereka adalah benteng terakhir para koruptor. Jika hukum ingin kembali berwibawa di mata rakyat, maka ia harus bertaji ke segala arah—terutama ke atas.
Penutup
Operasi tangkap tangan (OTT) yang tidak disertai penindakan terhadap pelaku obstruction of justice hanya akan menjelma menjadi ritual tahunan tanpa makna. Korupsi hari ini bukan lagi sekadar “siapa menerima berapa”, melainkan tentang siapa yang secara sistematis menggagalkan keadilan, dari menghilangkan bukti hingga menyelamatkan dader intelektual—otak utama di balik kejahatan. Jika aparat penegak hukum hanya berhenti di level pelaksana teknis, maka struktur impunitas akan tetap kokoh.
Sudah saatnya KPK, Kejaksaan, dan Polri menggunakan semua instrumen hukum yang tersedia: Pasal 21 UU Tipikor, Pasal 221, 231, dan 233 KUHP, untuk menjerat aktor-aktor penghalang keadilan. Termasuk ASN yang memanipulasi dokumen, aparat yang membocorkan penyidikan, hingga politisi yang bermain di balik layar. Keadilan tidak akan pernah sampai ke publik bila pelindung kejahatan dibiarkan bebas, sementara hanya pion-pion kecil yang dikorbankan di meja hijau.
Sebagaimana sering diingatkan oleh Prof. Romli Atmasasmita: “Negara yang gagal menindak obstruction of justice, sesungguhnya sedang membiarkan hukum mati pelan-pelan.” Maka pertanyaan mendesaknya bukan lagi apakah ada korupsi, tapi apakah kita cukup berani membongkar siapa saja yang selama ini menyelamatkan para koruptor dari jerat hukum.
Demikian.
___________
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenadamedia Group, 2013.
Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: Harvarindo, 2001.
Harkrisnowo, Herkristuti. “Reformasi Hukum Pidana dan Perlindungan Saksi.” Berbagai publikasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004–2020.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary, 9th ed. St. Paul, MN: Thomson Reuters, 2009.
Indonesia Corruption Watch. Tren Penindakan Kasus Korupsi di Indonesia 2018–2023. Laporan Tahunan. Jakarta: ICW, 2023.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data OTT dan Penanganan Perkara 2016–2024. Diakses 29 Juni 2025. https://www.kpk.go.id.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pasal 221, 231, dan 233.
“KPK OTT di Sumut Terjaring Kepala Dinas.” BarakTime, 29 Juni 2025. https://www.baraktime.com/2025/06/kpk-ott-di-sumut-terjaring-kepala-dinas.html.
Kompas.com. “Topan Ginting, Sosok di Balik PUPR Sumut dan Kariernya Bersama Bobby Nasution.” Diakses 29 Juni 2025.
Posting Komentar
0Komentar