"KPK OTT di Sumut: Terjaring Kepala Dinas PUPR Kesayangan Bobby Nasution dan Sumut Kembali ke Zaman Kegelapan Lagi"

Media Barak Time.com
By -
0



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan


OTT terhadap Topan Obaja Putra Ginting, yang baru dilantik seminggu menjadi Kadis PUPR Sumut, bukan sekadar blunder birokrasi, tapi sinyal kuat bahwa korupsi telah mengakar sedemikian dalam. Nilai proyek jalan yang digelapkan — Rp231,8 miliar — mencerminkan praktik korupsi struktural, bukan kecelakaan sesaat  . Pakar hukum pidana menegaskan, ini adalah pelanggaran terhadap Pasal 12 huruf a atau b dan Pasal 11 UU Tipikor juncto KUHP Pasal 55 ayat (1) ke-1 — menunjukkan niat dan kekuasaan terkoordinasi, bukan impuls individu.


KPK dengan prinsip follow the money menggandeng PPATK untuk tracing aliran dana, membuka kemungkinan aliran ke pejabat tinggi termasuk Gubernur Bobby Nasution  . Dari perspektif teori korupsi, ini mengindikasikan hierarki perintah: jika dana mengalir ke level gubernur, maka Ketua DPR “label ujung” atau principal offender tak bisa dielakkan. Teori agen-principal dalam hukum pidana mempertegas: bukan hanya si pelaksana, tetapi pembuat keputusan senior turut dipidana jika terbukti memberi perintah atau pengaruh.


Menurut para ahli, sistem meritokrasi jabatan seharusnya menjamin integritas, bukan membuka peluang oligarkisasi kekuasaan. Namun Karir Topan, dari Sekda Medan di bawah Bobby hingga dipercaya di level provinsi, memperlihatkan patronase yang menegasikan mekanisme kontrol hukum  . Sebagaimana dijelaskan Teori Kriminal Korporasi (Roscoe Pound), korupsi semacam ini adalah bentuk “kejahatan jabatan” di mana pemegang kekuasaan menggunakan struktur resmi untuk keuntungan pribadi dan jaringan.


Sejarah panjang OTT di Sumut—dari Syamsul Arifin, Gatot Pujo Nugroho, puluhan anggota DPRD Sumut hingga Terbit Rencana—telah membentuk rezim tanpa efek jera. Setiap penindakan hukum, walau spektakuler, selalu diikuti oleh figur baru yang masuk lewat jalur patronase lama. Kajian kepatuhan hukum (compliance studies) menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan, OTT akan terus menjadi ritual dramatik tanpa perubahan nyata.


Kini, publik menuntut lebih dari sekadar OTT. Pakar hukum seperti Refly Harun menyebut, prinsip “leader takes responsibility” harus berlaku: jika Bobby Nasution tidak hanya mengetahui tetapi memfasilitasi jalur pendanaan dan penempatan Topan, maka ia sepenuhnya dapat dijerat sebagai pihak intelektual. Keterbukaan data proyek, pemeriksaan terbuka, hingga audit eksternal adalah syarat mutlak agar kapak hukum benar-benar menebas sistem, bukan hanya menebas ranting.


Ketika Matahari Diredam Awan Busuk


Sumatera Utara kembali menorehkan noda kelam dalam buku catatan republik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas PUPR Kota Medan yang dikenal luas sebagai orang dekat Wali Kota Bobby Nasution. OTT ini terjadi hanya sepekan setelah Topan dipercaya menjabat posisi strategis, yang sesungguhnya bukan sekadar jabatan teknis, melainkan pusat kendali anggaran ratusan miliar rupiah. Dalam iklim birokrasi yang sedang digadang sebagai modern dan transparan, fakta ini menjadi ironi paling getir.


Kejahatan korupsi, sebagaimana ditegaskan Prof. Harkristuti Harkrisnowo, bukanlah kejahatan tunggal. Ia cenderung collective crime yang melibatkan banyak pelaku, baik secara vertikal (atasan hingga bawahan) maupun horisontal (rekanan, kontraktor, dan oknum legislatif). Maka OTT terhadap satu nama hanya membuka pintu menuju jejaring kekuasaan yang lebih besar dan kompleks. Dalam konteks Topan, mustahil ia bekerja sendiri. Ia mewakili simpul kekuasaan yang berkelindan antara politik lokal dan patronase pusat.


Posisi Topan di Dinas PUPR bukanlah hasil seleksi murni birokrasi, melainkan penempatan strategis dalam pusaran loyalitas kekuasaan. Dinas ini, sejak era reformasi, menjadi salah satu kementerian mini di daerah—karena kendali anggaran pembangunan fisik selalu menjadi sasaran empuk bagi bancakan elite. Setiap proyek, mulai dari peningkatan jalan, saluran drainase, hingga infrastruktur kota, memiliki nilai politik dan ekonomi yang tinggi. Maka, wajar bila Dinas PUPR kerap menjadi medan rebutan bagi mereka yang ingin memanfaatkan birokrasi sebagai ladang bisnis.


KPK, tentu saja, tidak bisa hanya berhenti pada aktor eksekutor. Menurut Prof. Harkristuti, penegakan hukum atas kejahatan korupsi harus menggunakan pendekatan network-based crime, yaitu membongkar seluruh struktur kejahatan sebagai satu sistem yang saling menopang. Jika Topan adalah pelaksana, maka siapa pemberi restu? Siapa pemilik proyek? Dan siapa yang mendapatkan bagian dari hasilnya? Tanpa menjawab itu, maka OTT ini hanya menjadi kosmetik politik semata.


Jika OTT hari ini tidak menyentuh aktor kunci di balik layar, maka Sumatera Utara akan terus hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang menyamarkan korupsi sebagai kebijakan. Kejahatan tidak lagi dilakukan diam-diam, tapi dengan stempel otoritas. Dan ketika hukum dikebiri oleh relasi kuasa, maka rakyat hanya menjadi penonton yang menunggu babak selanjutnya dari tragedi lama yang terus dipentaskan ulang: republik yang sibuk memberantas korupsi, tanpa benar-benar berniat memberantasnya.


Dinas PUPR Provinsi Sumut: Sumber Daya Publik yang Disulap Jadi Pundi ATM Penguasa”:


Dinas PUPR Provinsi Sumut adalah pintu utama mengalirnya dana publik—dari proyek jalan hingga drainase—yang totalnya mencapai ratusan miliar. Ketika Kepala Dinasnya, Topan Obaja Putra Ginting, tiba-tiba tersangkut OTT KPK terkait dugaan korupsi Rp231,8 miliar, publik pun bertanya: sejauh mana belantara aliran dana ini telah dijarah? Dinas yang seharusnya menjadi pelayan warga berubah rupa menjadi mesin ATM bagi oknum dan kelompok kepentingan.


Topan, mantan Plt Sekda Pemkot Medan dan anak buah Wali Kota Bobby Nasution, baru dilantik Februari 2025 sebagai Kadis PUPR Sumut—namun hanya dalam hitungan minggu sudah terjaring OTT. Dia diketahui terlibat di dua lokasi proyek berbeda, koordinasi antara Dinas PUPR dan Satker PJN Wilayah I Sumut, dengan nilai total Rp231,8 miliar—menegaskan modus yang bersifat lintas unit dan lintas institusi.


Banyak kalangan melihat penempatan Topan sebagai manifestasi patronase politik. Ia adalah “kesayangan Bobby”—promosi yang bukan sekadar jabatan, tetapi penempatan strategis agar anggaran besar bisa dikelola oleh orang kepercayaan. Hipotesis ini diperkuat oleh fakta bahwa Topan pernah menjadi Sekda Medan, yakni jabatan yang sangat dekat secara personal dan politik dengan Bobby.


OTT ini memunculkan sinyal kuat bahwa KPK tidak hanya mengejar pelaksana tapi berupaya menelusuri aliran dana. Terlibatnya Satker PJN Wilayah I serta pengamanan lima tersangka dan uang tunai Rp231 juta menunjukkan skala kejahatan yang lebih besar: bukan sekadar korupsi teknis, melainkan modus pengaturan administratif dan persekongkolan sistemik.


Dalam perspektif teori kejahatan kolektif (multiactor criminal conduct), perbuatan korupsi bukanlah ulah segelintir orang, melainkan produk jejaring vertikal-horisontal. Di sini, Topan adalah pelaksana, tetapi ada aktor di atasnya—penempat, pengarah, dan penerima manfaat. Jika jaringan tersebut dilakukan terstruktur, KPK memiliki dasar untuk menduga keterlibatan sosok di balik layar .


Peluang pemeriksaan terhadap Gubernur Bobby Nasution kini mengemuka. Banyak yang menduga KPK akan memintai keterangan Bobby—apakah sebagai saksi atau bahkan tersangka—terkait perannya menempatkan Topan dan memantau proyek yang diduga dikorupsi  . Ini bisa menjadi titik nol bagi akuntabilitas publik, atau sebaliknya, santapan berupa tameng politik jika tak diikuti tindakan nyata.


OTT kali ini memang menyedot perhatian media dan publik. Namun jika KPK berhenti di level kepala dinas atau pelaksana teknis saja, Sumut hanya akan mengulang drama lama: pengadilan berkedok, sementara struktur patronase dan jaringan oligarkis tetap utuh. Publik menuntut pembongkaran total—dari penempatan jabatan hingga jalur anggaran. Jika tidak, maka transformasi birokrasi Sumut hanyalah isapan jempol politik semata.


Korupsi di Sumut: Sejarah Berulang dan Kegelapan yang Menetap


Sumatera Utara adalah provinsi kaya sumber daya alam, tetapi gagal melahirkan kepemimpinan yang kokoh secara moral dan bersih dalam tata kelola. Sejak era pasca-Orde Baru, Sumut seperti dikutuk oleh lingkaran elit yang menjadikan kekuasaan sebagai alat perampasan sistematis. Setelah era keteladanan seperti Gubernur Abdul Hakim Harahap—seorang negarawan dari Parpol Masyumi yang dikenal sederhana, jujur, dan disiplin dan berdedikasi yang meninggalkan lagacy seperti Stadion Teladan Medan,  Univesitas Sumatera Utara dstnya—Sumut sekarang justru terjebak dalam pusaran elite predatoris yang menjadikan birokrasi sebagai pasar gelap kekuasaan.


Nama-nama besar telah mengisi deretan panjang daftar pelaku korupsi di Sumut: Syamsul Arifin, Gatot Pujo Nugroho, dan puluhan pimpinan serta anggota DPRD yang menerima suap dalam skema pengesahan APBD. Tak berhenti di situ, Bupati Langkat Terbit Rencana dengan “penjara pribadi”-nya memperlihatkan bahwa kekuasaan lokal tidak lagi sekadar rakus, tapi brutal dan feodal. Ironisnya, setiap operasi tangkap tangan KPK yang terjadi seolah hanya menjadi episode bersambung dari drama korupsi struktural yang tidak pernah menyentuh akar.


Fenomena ini memperkuat tesis para pakar hukum pidana bahwa korupsi di Sumut bukanlah soal integritas individu semata, tetapi warisan struktur kekuasaan yang permisif, impunitas yang tinggi, serta budaya politik transaksional yang melibatkan elite partai, legislatif, birokrasi, hingga aparat penegak hukum. Setiap pejabat korup yang tumbang seperti segera digantikan oleh figur baru dari jejaring yang sama. Korupsi di Sumut sudah seperti sistem bergilir: aktor boleh berganti, tapi sistemnya tetap lestari.


Hari ini, ketika pejabat strategis seperti Kadis PUPR kembali ditangkap KPK, kita tidak lagi kaget. Publik Sumut justru semakin skeptis. Sebab berkali-kali OTT terjadi, namun hasilnya hanya menciptakan pergantian topeng, bukan penghentian sandiwara. Kegelapan hari ini bukan lagi karena ketidaktahuan rakyat, tetapi karena kekuasaan terlalu dilindungi dan terlalu akrab dengan aparatus pengawasan.


Dalam negara yang sehat, korupsi akan membuat pejabat malu dan sistem segera membenahi diri. Tapi di Sumatera Utara, korupsi justru seperti batu loncatan karier—selama belum tertangkap. Maka tidak cukup dengan OTT. Sumut butuh pembaharuan kelembagaan menyeluruh: dari partai, dari birokrasi, dan dari aparat hukum. Jika tidak, Sumut akan terus menjadi laboratorium kejahatan kekuasaan—dan rakyat hanya menjadi penonton dalam pertunjukan gelap yang tak kunjung usai.


Bobby Nasution dan Dosa Kekuasaan


Sebagai Gubernur Sumatera Utara dan wajah muda politik istana, Bobby Nasution berdiri di titik silang antara harapan dan kekuasaan. OTT terhadap Topan Ginting—anak buah kepercayaannya sejak menjabat Wali Kota Medan—adalah ujian serius atas integritasnya. Ia tidak bisa berlindung di balik frasa “tidak tahu”. Dalam prinsip good governance, kepala daerah bukan hanya administrator, tetapi simbol tanggung jawab kolektif. Seperti dikatakan oleh John Gardner, “leadership is not avoiding accountability, it is embracing it.”


Bobby kerap menampilkan diri sebagai sosok visioner: modern, digital, dan terobosan. Namun OTT ini membuka sisi gelap yang tak terbantahkan: bahwa birokrasi di sekelilingnya justru menjadi ladang korupsi. Bila ia tak segera membongkar total proyek-proyek PUPR dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tim yang dibawanya dari Medan, maka ia telah menyuburkan korupsi dengan membungkusnya dalam retorika reformasi.


Isu mengenai kedekatan Topan dengan Bobby bukan sekadar narasi liar. Di berbagai caffe dan warkop Medan, nama keduanya kerap disebut dalam satu tarikan napas bersama istilah "Gank Solo"—merujuk pada jejaring kekuasaan politik yang diduga dikonsolidasikan untuk kepentingan Pilpres 2029, di mana Gibran Rakabuming (abang ipar Bobby) bakal disiapkan sebagai calon  presiden kedepan. Dalam konteks ini, jabatan strategis di daerah tak lagi semata urusan pelayanan publik, tapi bagian dari investasi politik nasional kedepan, dimana Sumut berdasarkan data KPU RI pemilih terbesar ke- 4 setelah Provinsi Jawa Tengah.


Dalam pandangan publik yang melek politik, skema semacam ini bukan hanya mencederai etika kekuasaan, tapi berpotensi melahirkan negara bayangan dalam negara. Ketika jabatan publik digunakan untuk membangun struktur kekuasaan privat, maka demokrasi dikerdilkan menjadi sekadar panggung akrobat dinasti. 


Sumut tidak butuh gubernur yang sibuk membangun narasi anak muda yang punya pandangan nasional dengan menutup mata terhadap kebusukan lokal: Bobby dengan kasus OTT ini tidak membuktikan bahwa ia berbeda dari para pendahulunya yang tumbang karena korupsi. Dari peristiwa OTT memperlihatkan pada publik, Bobby telah menyatu dalam sejarah gelap Sumatera Utara sebagai kekuasaan yang membusuk pelan-pelan dari dalam.


Penutup


OTT ini harus jadi momentum kebangkitan dan melakukan pembersihan ditubuh pemerintah daerah Di Sumatera Utara, bukan sekadar tontonan sesaat. Sumut tidak butuh pemimpin yang hanya rajin selfie dan pencitraan. Ia butuh pemimpin yang berani membongkar sarang-sarang korupsi, bahkan jika itu menyangkut orang terdekatnya.


Sumatera Utara sudah terlalu lama hidup dalam zaman kegelapan birokrasi kompleks yang korup. Jangan biarkan generasi berikutnya mewarisi lumpur yang sama. Dan jangan biarkan kesayangan elite menjadi kebal hukum. Sebab di republik ini, tidak ada kasih sayang yang lebih tinggi dari kasih sayang kepada kebenaran dan keadilan.


Demikian

___________


Daftar Pustaka 


Harun, Refly. 2023. “OTT Anak Buah dan Tanggung Jawab Moral Kepala Daerah.” Harian Rakyat Merdeka, 29 Desember.


Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. “Korupsi sebagai Kejahatan Terorganisasi.” Jurnal Hukum & Pembangunan 33(3): 250–265.


Komisi Pemberantasan Korupsi. 2025. “Rilis OTT Sumatera Utara.” Diakses 27 Juni 2025. https://www.kpk.go.id


Pojok Satu. 2025. “OTT di Madina, Kadis PUPR Sumut Anak Buah Bobby Nasution Disebut Ikut Dibawa KPK ke Jakarta.” Diakses 27 Juni 2025. https://www.pojoksatu.id/nasional/1086198461


JPNN. 2025. “Topan Ginting Orang Bawaan Bobby Nasution dari Pemkot Medan, Baru Dilantik Seminggu Di-OTT KPK.” Diakses 27 Juni 2025. https://www.jpnn.com/news/topan-ginting-orang-bawaan-bobby


Nusantara Terkini. 2025. “Fakta Baru OTT KPK yang Menjerat Kadis PUPR, Gubernur Bobby Nasution Juga Ikut Tinjau Kondisi Jalan.” Diakses 27 Juni 2025. https://nusantaraterkini.co


Tempo. 2015. “Gatot Pujo dan Korupsi Sistemik di Sumut.” Majalah Tempo, Edisi Khusus Desember.


Waspada. 2025. “KPK OTT Topan Ginting, Kadis ‘Kesayangan’ Bobby Nasution.” Diakses 27 Juni 2025. https://www.waspada.id/headlines


ICW (Indonesia Corruption Watch). 2024. Tren Korupsi Daerah: Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: ICW.


Kompas. 2023. “Ketika Kekuasaan Tak Lagi Mengenal Batas.” Harian Kompas, 18 Oktober.


Setiawan, Bivitri Susanti. 2018. “Kekuasaan Tanpa Akuntabilitas: Dinasti Politik dan Dekadensi Institusi.” Jurnal Konstitusi 15(1): 67–89.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)