"Kolam Retensi USU: Proyek Gagal Fungsi Dan Bancakan Antar Institusi"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan 


> “Jika pembangunan tidak menyelesaikan masalah rakyat, maka itu bukan pembangunan, melainkan bancakan untuk merampok uang rakyat dengan antar lembaga.” 


Banjir tetap datang, kolam tetap kering. Inilah ironi dari proyek kolam retensi Universitas Sumatera Utara (USU) yang menghabiskan anggaran publik hingga Rp 20 miliar. Ditujukan sebagai solusi permanen untuk persoalan banjir di Kota Medan, proyek ini justru menambah daftar panjang infrastruktur mahal yang belum berfungsi, namun telah menelan uang rakyat.


Sorotan publik bukan tanpa alasan. Direktur MATA Pelayanan Publik sekaligus mantan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumatera Utara, Abyadi Siregar, mempersoalkan manfaat konkret dari proyek tersebut. Kolam retensi yang dibangun di lingkungan kampus USU terlihat tidak menyimpan air, justru berdampingan dengan pompa besar di tepi Jalan Dr. Mansur. Masyarakat mempertanyakan: Jika kolam dibangun untuk menampung luapan air hujan, mengapa justru mengandalkan pompa tambahan di permukaan?


Lebih jauh, Abyadi menyebut proyek ini sudah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Artinya, bukan hanya bermasalah secara teknis dan fungsional, tetapi juga berpotensi cacat dari aspek tata kelola keuangan negara. Ia meminta agar aparat penegak hukum segera turun tangan, bukan hanya untuk memeriksa laporan administrasi, tetapi menelusuri kemungkinan adanya praktik mark-up, penyimpangan prosedural, atau permainan kontraktor.


Namun Pemerintah Kota Medan tampak memberikan jawaban normatif. Kepala Dinas SDABMBK, Gibson Panjaitan, menyebut bahwa kolam tersebut belum optimal karena saluran pembuangan menuju sungai belum selesai dibangun. Jawaban ini justru mengundang lebih banyak tanya: bagaimana mungkin sebuah proyek infrastruktur sebesar Rp 20 miliar bisa diselesaikan tanpa memastikan kelengkapan fungsi dasarnya?


Logika publik tak bisa ditipu oleh administrasi teknis. Jika sebuah kolam tak mampu menampung air, dan banjir tetap merendam permukiman, maka pembangunan itu telah gagal—baik secara teknis, fungsional, maupun moral. Pembangunan seharusnya menyelesaikan masalah, bukan justru menciptakan simbol-simbol baru dari kemewahan anggaran yang tak berguna.


Sayangnya, proyek kolam retensi ini bukan satu-satunya. Di Medan Selayang, proyek serupa menelan dana Rp 25 miliar dan hingga kini masih dalam tahap pembangunan. Anehnya, pemerintah kembali merencanakan pembangunan kolam ketiga, tanpa menyelesaikan dua proyek sebelumnya. Ini seperti membeli ban serep, sebelum mobilnya selesai dirakit.


Wajah Lama, Pola Lama


Kasus kolam retensi USU membuka tirai kebiasaan buruk yang masih bercokol dalam birokrasi pembangunan di Indonesia: mengutamakan penyerapan anggaran, tapi abai terhadap dampaknya bagi rakyat. Dalam logika seperti ini, keberhasilan proyek diukur dari pagu yang habis, bukan dari masalah yang selesai. Maka tidak mengherankan, meski proyek bernilai Rp 20 miliar sudah berdiri, Medan tetap saja dilanda banjir.


Yang lebih menyedihkan, praktik ini bukanlah pengecualian, tapi bagian dari pola lama yang terus berulang. Kontraktor dibayar lunas, plakat proyek dipasang, dan seremonial pemotongan pita dilakukan dengan bangga. Namun, substansi yang seharusnya menjadi tolok ukur—yakni pengurangan genangan, perlindungan warga dari banjir, dan ketahanan lingkungan kota—tak kunjung hadir. Pembangunan akhirnya menjadi formalitas belaka.


Ini bukan sekadar kesalahan teknis atau keterlambatan koordinasi antar-dinas. Ini adalah kegagalan tata kelola publik yang sistemik. Ketika proyek besar dibangun tanpa perencanaan matang dan tanpa pengawasan berlapis, maka negara sedang mempermainkan amanah rakyat. Dan ketika tidak ada mekanisme evaluasi yang ketat, maka kegagalan itu akan terus diwariskan oleh wajah-wajah birokrat yang berganti, tapi pola kerjanya tetap sama.


Di sinilah letak pelanggaran paling mendasar: rakyat tidak hanya dirugikan secara materiil, tetapi juga secara moral. Hak atas pelayanan publik yang bermutu dilanggar secara terbuka, sementara pejabat publik berlindung di balik alasan-alasan administratif yang basi. Jika proyek infrastruktur tak mengurangi derita rakyat, maka itu bukan pembangunan—melainkan penyalahgunaan kepercayaan.


Perlu keberanian politik dan moral untuk memutus mata rantai pola lama ini. Pembangunan tidak boleh lagi menjadi ajang proyek asal jadi. Sudah saatnya evaluasi menyeluruh dilakukan, tidak hanya terhadap proyek kolam retensi, tapi terhadap seluruh model pembangunan yang memprioritaskan tampilan daripada manfaat. Jika tidak, maka kita hanya akan mengganti wajah, tapi mempertahankan pola yang rusak.


Saatnya Audit Menyeluruh


Sudah terlalu sering proyek publik diselimuti dalih “belum selesai” sebagai alasan untuk menutupi ketidakefisienan, kesalahan perencanaan, atau bahkan potensi penyimpangan. Dalam kasus kolam retensi USU, frasa tersebut bukan lagi pembelaan, melainkan pengakuan tak langsung bahwa sesuatu telah gagal sejak awal. Rakyat tidak menuntut percepatan seremonial, mereka menuntut kepastian bahwa setiap rupiah uang negara memberi manfaat nyata bagi kehidupan sehari-hari—bukan hanya memperkaya kontraktor atau memperindah laporan keuangan daerah.


Pemerintah Kota Medan dan seluruh instansi teknis terkait tak bisa terus bermain di balik dinding birokrasi. Rasa curiga publik hanya bisa dijawab dengan keterbukaan total. Dokumen-dokumen proyek—dari kajian kebutuhan, desain teknis, perincian anggaran, mekanisme tender, nama kontraktor, hingga laporan pengawasan—harus dibuka untuk umum. Jika memang semua berjalan sesuai aturan, mengapa takut untuk ditelusuri? Di era keterbukaan informasi, menutup-nutupi adalah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap prinsip transparansi.


Lebih dari sekadar audit administratif, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus segera ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian harus bergerak cepat—bukan menunggu laporan rampung, tetapi memverifikasi lebih lanjut kemungkinan terjadinya penyimpangan. Kita tidak sedang bicara soal kesalahan teknis, melainkan potensi kejahatan dalam pengelolaan dana publik.


Lebih jauh, sebagaimana diuraikan oleh Moenaf H. Regar dalam bukunya Peran Akuntansi Dalam Korupsi (USU Press), praktik akuntansi yang seharusnya menjadi pilar kontrol keuangan justru sering menjadi selimut legalitas bagi penyelewengan. Regar menyebut, penyimpangan bukan terjadi karena lemahnya sistem, tapi karena adanya kompromi antara aktor pemberi proyek, pengelola dan pengawas proyek. Inilah yang bisa menjelaskan bagaimana proyek semahal ini tetap bisa lolos dari logika publik dan akal sehat—karena sistemnya memang dikooptasi oleh niat buruk yang terselubung rapih.


Proyek kolam retensi di USU bukan sekadar soal infrastruktur mangkrak. Ia menjadi simbol betapa lemahnya integritas dalam proses pembangunan. Maka, saatnya dilakukan audit menyeluruh—bukan hanya terhadap fisik kolam yang kering, tetapi juga terhadap mentalitas birokrasi yang membiarkan uang rakyat dikubur hidup-hidup dalam proyek tanpa hasil. Hanya dengan penegakan hukum yang tegas dan transparansi tanpa kompromi, kepercayaan publik bisa diselamatkan dari tenggelam.


Infrastruktur Tanpa Hasil, Ibarat Sumur Tanpa Air


Kolam retensi seharusnya menjadi solusi teknis yang sederhana namun strategis untuk mengatasi banjir. Tetapi ketika air tak pernah tertampung, dan limpahan hujan tetap merendam jalan-jalan serta rumah warga, publik berhak bertanya: untuk siapa proyek ini dibangun? Jika jawabannya tak pernah sampai ke rakyat, maka kolam itu tak lebih dari simbol mahal atas kegagalan tata kelola.


Masalahnya bukan hanya soal air yang tak tertampung, tetapi soal bagaimana sistem pemerintahan membiarkan proyek bernilai miliaran rupiah berjalan tanpa arah dan fungsi yang jelas. Ini bukan soal drainase yang belum selesai, melainkan soal niat dan integritas. Karena dalam pembangunan publik, kekeliruan yang dibiarkan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat.


Jika pola semacam ini terus dibiarkan tanpa koreksi, kita akan terbiasa menyaksikan infrastruktur dibangun tanpa hasil, serapan anggaran yang tinggi tapi output nihil, dan laporan-laporan sukses yang hanya hidup di atas kertas. Ini bukan hanya pemborosan, tetapi pelembagaan pembodohan birokratis yang justru merusak kepercayaan publik terhadap negara.


Rakyat tidak menuntut proyek mewah dengan nama-nama besar dan seremoni pemotongan pita. Yang dibutuhkan hanya satu: air tidak menggenang di rumah mereka. Jika Rp 20 miliar tak bisa menyelesaikan satu masalah yang telah menahun, maka kita sedang menghadapi bukan sekadar kegagalan teknis—tapi kemandulan etika dalam penyelenggaraan negara.


Pada akhirnya, pertanyaan terbesar bukan lagi tentang volume kolam atau diameter pipa yang belum selesai. Pertanyaannya adalah: apakah kita masih memiliki hati nurani untuk mengakui bahwa pembangunan yang gagal itu nyata? Jika jawabannya tidak, maka rakyat hanya akan menjadi saksi dari uang mereka yang dibakar dalam proyek-proyek sunyi, yang tak pernah menyentuh tanah tempat mereka berpijak.


Penutup


Kasus kolam retensi USU adalah cermin buram tata kelola anggaran publik yang cacat sejak perencanaan. Proyek kurang lebih senilai Rp 45 miliar ini bukan hanya gagal memenuhi fungsinya, tapi juga menunjukkan pola pikir birokrasi yang masih memuja fisik, bukan fungsi. Rakyat tak butuh tugu kemegahan pembangunan—mereka butuh solusi nyata atas banjir yang terus datang tanpa undangan.


Sudah terlalu lama masyarakat dijejali retorika pembangunan, sementara hasilnya tak pernah menyentuh realitas. Oleh karena itu, kolam retensi ini harus menjadi momentum koreksi. Bukan hanya audit administratif, tapi juga pemeriksaan hukum yang tegas dan menyeluruh. Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib turun tangan untuk menelusuri potensi pelanggaran hukum: mulai dari indikasi mark-up, pengadaan yang janggal, hingga pengawasan proyek yang patut dipertanyakan.


Jika lembaga penegak hukum tetap diam, maka pesan yang diterima publik jelas: pemborosan uang negara bisa dimaafkan selama dikemas dalam bingkai proyek pembangunan. Padahal, setiap rupiah dari uang rakyat adalah amanah, bukan alat untuk bancakan berjamaah. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi publik, membiarkan proyek gagal tanpa akuntabilitas adalah bentuk pengkhianatan terang-terangan terhadap rakyat.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

____________

Referensi


1. Medanposonline.com. (10 September 2024). Mantan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumut Pertanyakan Proyek Kolam Retensi USU. https://medanposonline.com


2. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023–2024). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pengelolaan Dana Infrastruktur di Pemerintah Daerah Sumatera Utara. www.bpk.go.id


3. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


4. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2023). Panduan Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Infrastruktur. www.kpk.go.id


5. World Bank. (2021). Improving the Quality of Public Spending in Indonesia. Washington, D.C.: World Bank Publications.


6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.


7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


8. Moenaf H. Regar. (2022). Peran Akuntansi dalam Korupsi. Medan: USU Press.

ISBN: 978-623-1234-XX-X


9. Ombudsman Republik Indonesia. (2022). Laporan Tahunan Ombudsman RI: Pelayanan Publik dan Maladministrasi di Sektor Infrastruktur.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)