"Kinerja KPU: Lincah Pada Putusan 90, Melempem Pada Putusan 135"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH

(Pemerhati Hukum Tata Negara dan Demokrasi )


Pendahuluan 


“Kekuasaan yang dibatasi oleh hukum tidak boleh diselewengkan oleh lembaga penyelenggara pemilu—apalagi atas nama kecepatan.”


Respons asimetris KPU terhadap dua putusan MK tersebut membuka borok laten dalam tata kelola pemilu kita: ketundukan pada kehendak politik dibanding pada prinsip konstitusi. Pada Putusan 90, KPU seolah berubah menjadi operator kilat yang siap menyambut keinginan elite. Bahkan tanpa memperdebatkan tafsir konstitusional, KPU langsung merevisi aturan teknis untuk mengakomodasi Gibran. Ini bukan sekadar soal teknis administratif, tetapi soal keberpihakan yang terang-benderang.


Sebaliknya, Putusan 135—yang justru menyangkut keselamatan pemilu dan reformasi sistemik—tidak mendapat perhatian berarti dari KPU. Mahkamah secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu lima kotak serentak membahayakan integritas demokrasi dan memerlukan desain ulang. Namun tak ada satu pun langkah konkret dari KPU untuk memulai kajian kebijakan, apalagi dialog publik. Ini bukan hanya kelalaian, tapi bentuk abai institusional yang sistemik.


Ironisnya, kedua putusan ini lahir dari lembaga yang sama, dalam rentang waktu yang relatif berdekatan. Namun yang satu disambut seperti titah kerajaan, dan yang satu lagi diabaikan seperti angin lalu. KPU tampak lebih cepat merespons kepentingan individu yang terafiliasi kekuasaan, dibanding menjalankan mandat konstitusional untuk memperbaiki demokrasi. Padahal dalam demokrasi yang sehat, kesetiaan penyelenggara pemilu seharusnya kepada prinsip, bukan penguasa.


Teori-teori hukum tata negara klasik, seperti yang dirumuskan oleh A.V. Dicey dan diperbarui oleh Bruce Ackerman, menekankan pentingnya konsistensi perilaku institusi negara terhadap norma dasar konstitusi. KPU, sebagai lembaga mandiri, wajib menunjukkan sikap konstitusionalisme substantif: bekerja berdasarkan hukum, bukan berdasarkan angin politik. Ketika perilaku institusi lebih ditentukan oleh siapa yang diuntungkan, maka independensinya patut dipertanyakan.


Inilah saat yang tepat untuk mengevaluasi ulang struktur dan etos kerja KPU. Reformasi kelembagaan tidak bisa lagi ditunda hingga menjelang pemilu berikutnya. Kita tidak butuh KPU yang sigap untuk melayani penguasa, tapi lembaga yang kokoh menjaga proses demokrasi. Demokrasi yang sehat lahir dari pemilu yang adil, dan pemilu yang adil hanya mungkin jika penyelenggaranya tegak lurus pada hukum—bukan tunduk pada pesanan.


---


Putusan 90: Respons Sekilat, Legalitas Dipersoalkan


Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 memang menggemparkan bukan karena substansinya semata, melainkan karena efek politiknya yang instan. Mahkamah menambahkan frasa “berpengalaman sebagai kepala daerah” ke dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu, membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka—anak Presiden Jokowi—untuk maju dalam kontestasi nasional. Banyak ahli hukum menyebutnya sebagai bentuk legislasi yudisial yang melabrak batas kewenangan konstitusional MK, bahkan melampaui fungsi pembentuk undang-undang.


Namun yang lebih mencengangkan adalah respons ultra-cepat dari KPU RI. Tak sampai seminggu setelah putusan, KPU menerbitkan PKPU Nomor 23 Tahun 2023 dan langsung menetapkan Gibran sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Publik tak diberi kesempatan mencerna, apalagi mengkritisi. Tak ada uji publik, tak ada rapat dengar pendapat dengan para ahli. Demokrasi prosedural dibajak oleh kecepatan yang tak sehat.


Kecepatan ini bahkan menyaingi legenda Nabi Sulaiman dalam kisah pemindahan istana Ratu Balqis—begitu cepat dan tanpa hambatan. Dalam konteks ini, KPU dan DPR RI Komisi II, yang dipimpin Ahmad Doli Kurnia Tandjung, seperti telah menyatu dalam satu orkestrasi kekuasaan. Bukan hanya bertindak cepat, tapi berpikir seragam dan bergerak serentak, seolah memiliki agenda bersama di luar nalar institusional yang independen. Prosedur hukum ditarik ke dalam logika loyalitas politik.


Prof. Zainal Arifin Mochtar menilai sikap KPU sebagai bentuk ketidaknetralan institusional yang serius. Dalam banyak forum, ia menekankan bahwa KPU bukanlah tukang ketik regulasi elite politik, melainkan penjaga integritas demokrasi. Namun dalam kasus ini, KPU dan DPR terlihat seperti menjalankan pesanan kekuasaan, bukan menjalankan amanat konstitusi. Legitimasi pemilu pun dipertaruhkan sejak hari pendaftaran calon.


Respons secepat kilat bak  'Nabi Sulaiman yang memindahkan istana Ratu Balqis', ini kontras dengan kelambanan KPU merespons isu-isu strategis lainnya, seperti reformasi sistem pemilu pasca Putusan MK 135. Ketika menyangkut kepentingan kekuasaan, KPU bisa berubah menjadi institusi super efisien. Tapi ketika menyangkut kepentingan rakyat dan keadilan pemilu, KPU menjadi lamban dan ambigu. Inilah potret institusi yang kehilangan arah moral dan kompas etik dalam demokrasi konstitusional.


Putusan 135: Lempem dan Lamban


Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 semestinya menjadi tonggak korektif atas praktik pemilu serentak lima kotak yang terbukti membebani sistem, melelahkan penyelenggara, dan menciptakan kekacauan teknis. Dalam amar putusan yang jelas, Mahkamah menyatakan bahwa pemilu dengan model seperti itu inkonstitusional bersyarat, dan memerintahkan redesain sistem pemilu sebelum Pemilu 2029. Namun yang terjadi justru sebaliknya: KPU diam. Tidak ada pernyataan resmi, tidak ada kajian terbuka, tidak ada roadmap kebijakan. Hening.


Padahal, putusan ini lahir dari evaluasi tragedi demokrasi lima tahun lalu: 894 petugas KPPS wafat karena kelelahan, ribuan lainnya jatuh sakit (Data Kemenkes RI, 2020). Namun KPU seperti mengubur pelajaran itu bersama korban-korbannya. Kekosongan respons ini tidak hanya mencerminkan ketidakpekaan kelembagaan, tetapi juga mengindikasikan pembangkangan pasif terhadap mandat konstitusional. Tidak ada tekanan elite? Maka KPU pun menunggu dan menunda.


Bandingkan dengan sikap mereka terhadap Putusan MK 90. Dalam hitungan hari, regulasi diubah, tafsir diakomodasi, dan calon diresmikan. Sementara terhadap Putusan 135—yang menyangkut keselamatan dan efektivitas pemilu ke depan—tak ada urgensi, bahkan kesan cuek. Ini menegaskan bahwa KPU bekerja bukan berdasarkan prinsip, melainkan dorongan politik eksternal. Sebuah gejala institusi yang kehilangan moral independensinya.


Prof. Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya menegaskan, demokrasi tidak boleh dipaksa tunduk pada efisiensi teknokratis semata. Demokrasi adalah soal keadilan prosedural dan perlindungan konstitusional, bukan sekadar tentang logistik cepat dan murah. Ketika penyelenggara pemilu justru abai terhadap peringatan Mahkamah, maka yang terancam bukan hanya pemilu, melainkan masa depan kepercayaan publik terhadap seluruh sistem demokrasi elektoral.


Ketidakseriusan KPU merespons Putusan 135 menunjukkan wajah institusi yang hanya reaktif ketika kekuasaan menoleh ke arahnya. Mereka cepat ketika dibutuhkan elite, tapi lesu saat diperintah konstitusi. Pemilu bukan sekadar rutinitas lima tahunan, tetapi instrumen demokrasi yang membutuhkan desain adil, aman, dan etis. Ketika KPU memilih lempem dan lamban atas perintah Mahkamah, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap reformasi dengan agenda pemilu yang demokratis yang diperjuangkan sejak era transisi 1998.


Dua Wajah KPU: Netralitas atau Kepentingan?


Pertanyaan yang tak bisa dihindari publik hari ini: mengapa KPU begitu cepat dalam merespons Putusan MK 90 yang menguntungkan kekuasaan, namun begitu lamban terhadap Putusan MK 135 yang menyangkut kepentingan rakyat luas? Dualisme sikap ini menelanjangi problem mendasar dalam tubuh KPU: netralitas yang dipertanyakan dan kepekaan konstitusional yang menumpul. Lembaga yang seharusnya menjadi wasit justru terkesan bermain dalam pertandingan.


KPU bukanlah sekadar operator logistik pemilu. Ia adalah penjaga pilar demokrasi elektoral. Ketika lembaga ini bersikap selektif dalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi—sigap untuk putusan politis, diam untuk putusan reformis—maka yang terguncang bukan hanya integritas prosedur, tetapi legitimasi demokrasi secara keseluruhan. Ketimpangan sikap itu menjadikan KPU tampak bukan sebagai institusi independen, melainkan bagian dari jejaring kekuasaan.


Dalam kerangka Rule of Law menurut A.V. Dicey, lembaga negara wajib tunduk pada hukum, bukan pada kepentingan. Netralitas bukan sekadar soal tidak memihak kandidat, tetapi juga tentang bersikap adil terhadap setiap perintah hukum. Dalam konteks ini, kegagalan KPU untuk merespons Putusan 135 secara serius adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip supremasi hukum. KPU tak lagi menjadi pelaksana hukum, tetapi penafsir oportunistik terhadapnya.


Sementara itu, Lon L. Fuller mengingatkan bahwa hukum harus ditegakkan dengan moralitas internal: konsistensi, keterbukaan, dan keadilan prosedural. Dua wajah KPU hari ini mencerminkan kegagalan dalam prinsip itu. Pada Putusan 90, mereka bergerak bahkan sebelum publik bertanya. Pada Putusan 135, mereka diam bahkan setelah Mahkamah memerintah. Ketika respons hukum bergantung pada siapa yang diuntungkan, maka runtuhlah kepercayaan rakyat terhadap netralitas sistem.


Demokrasi tak hanya dibangun lewat pemilu, tapi melalui keyakinan bahwa prosesnya adil dan dapat dipercaya. Jika KPU terus memelihara wajah ganda—satu untuk elite, satu lagi untuk rakyat—maka kita sedang menuju krisis kepercayaan elektoral. Reformasi bukan lagi pilihan, tetapi keniscayaan. Dan reformasi itu harus dimulai dari dalam: dari integritas, keberanian, dan konsistensi penyelenggara pemilu itu sendiri.


Reformasi KPU: Bukan Sekadar Ganti Komisioner


Reformasi KPU pasca Pemilu 2024 bukan lagi sekadar kebutuhan, tetapi desakan sejarah. Terlalu banyak luka yang ditinggalkan: dari sikap ambigu terhadap putusan konstitusional hingga persoalan etik ketua KPU yang mencoreng kredibilitas lembaga. Maka, mengganti komisioner semata tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah perombakan menyeluruh—dari mekanisme rekrutmen, sistem akuntabilitas, hingga budaya etik di internal kelembagaan.


Publik kini menyaksikan institusi yang seharusnya menjaga netralitas, justru terseret dalam pusaran kepentingan politik dan praktik transaksional. Tidak sedikit sengketa pemilu dan pilkada yang sampai ke Mahkamah Konstitusi karena dugaan penyimpangan dan ketidakprofesionalan penyelenggara. KPU menjadi tergugat, bukan lagi penjaga. Ini adalah anomali demokrasi yang tak bisa dibiarkan terus berlangsung.


Inspirasi dari negara demokrasi lain menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan harus bersifat sistemik. Wacana pembentukan Electoral Reform Council, seperti di India atau Afrika Selatan, patut dikedepankan. Badan independen ini tak hanya mengawasi pelaksanaan pemilu, tapi juga mengawal proses reformasi dan memastikan KPU bekerja dalam kerangka konstitusi, bukan tunduk pada tekanan elite politik. Kita butuh wasit yang tak mudah disuap, tak mudah diarahkan.


Masalah etik Ketua KPU RI saat ini menjadi simbol krisis moral di level pimpinan. Bagaimana mungkin integritas pemilu ditegakkan jika pemimpinnya sendiri menghadapi persoalan etik serius?, 'bukankah ikan busuk dari dari kepalanya'. KPU tak hanya mengalami krisis legitimasi eksternal, tapi juga degradasi moral internal. Saat lembaga pemilu kehilangan kredibilitas moral, maka setiap hasil pemilu akan selalu diselimuti keraguan.


Jika pembenahan tidak dilakukan segera dan menyeluruh, maka Pemilu 2029 hanya akan menjadi pengulangan dari kegagalan sistemik yang sama—penuh gugatan, rendah kepercayaan, dan menyisakan trauma politik. Reformasi KPU adalah reformasi demokrasi itu sendiri. Tanpa lembaga pemilu yang bersih, adil, dan tepercaya, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung formalitas, bukan wadah kedaulatan rakyat.


Penutup


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 dan 135 menjadi semacam cermin retak yang memantulkan wajah asli demokrasi elektoral kita hari ini: timpang, elitis, dan kehilangan ruh konstitusional. Di satu sisi, hukum bisa ditafsirkan lentur demi kepentingan satu nama. Di sisi lain, ketika menyangkut keselamatan pemilu dan nasib rakyat banyak, hukum dibiarkan menguap tanpa arah. Dalam situasi ini, KPU sebagai penyelenggara pemilu justru tampil bukan sebagai penjaga marwah demokrasi, melainkan seperti subkontraktor kekuasaan.


Demokrasi yang sehat menuntut penyelenggara yang berani menolak tekanan politik, bukan lembaga yang hanya gesit ketika perintah datang dari atas. Ketika KPU bersikap selektif dalam menegakkan hukum—sigap untuk elite, lamban untuk rakyat—maka yang dilanggar bukan hanya etika kelembagaan, tapi kontrak sosial dengan konstitusi. Pemilu bukan sekadar peristiwa teknis, tetapi perwujudan kedaulatan rakyat. Bila prosesnya disusupi kepentingan, maka hasilnya akan cacat sejak dalam kandungan.


Demokrasi tak boleh direduksi menjadi komoditas elite. KPU tidak dilahirkan untuk melayani siapa yang berkuasa, melainkan untuk menjamin siapa pun bisa berkuasa secara adil. Jika lembaga ini terus gagal menjaga jarak dari kepentingan politik dan terus abai terhadap suara publik dan putusan konstitusi, maka Indonesia sedang mempertaruhkan masa depannya—bukan hanya sebagai negara demokrasi, tapi sebagai negara hukum.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Komisioner KPU Kota Medan Periode 2003-2098

______________


Daftar Pustaka


1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Uji Materiil Batas Usia Capres-Cawapres. Jakarta: MKRI, 2023.

https://mkri.id


2. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Uji Materiil Desain Pemilu Serentak. Jakarta: MKRI, 2024.


3. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Evaluasi Dampak Kesehatan Pemilu 2019: Korban Jiwa KPPS dan Petugas Pemilu. Jakarta: Kemenkes, 2020.


4. Mochtar, Zainal Arifin. "Netralitas Penyelenggara Pemilu Pasca Putusan MK: Antara Etika Konstitusi dan Realitas Politik." Diskusi Publik KontraS dan Pusako FH UGM, Oktober 2023.


5. Isra, Saldi. Dissenting Opinion dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2024.


6. Dicey, A. V. Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London: Macmillan, 1885.


7. Fuller, Lon L. The Morality of Law. Yale University Press, 1964.


8. Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.


9. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Jakarta: KPU RI, 2023.

https://kpu.go.id


10. " DPR RI Komisi II dan Sinkronisasi Aturan Pascaputusan MK 90." Rapat di hari libur, https://www.tempo.co/politik/alasan-dpr-gelar-rapat-bahas-pkpu-pilkada-di-hari-libur-15975

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)