*Perjanjian Suatu Bangsa Berlaku Hanya Dua Kali Bagi Tuhan: Indonesia, Orde Baru Dan Reformasi Yang Gagal Di Tebus*

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Aktivis '98)


*Pendahuluan*

*Berlaku Teori Kedaulatan Tuhan Nagi Bangsa Indonesia Dengan Bunyi Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa"


Dalam logika ketuhanan yang dibaca secara historis oleh para nabi dan ahli hikmah, sebuah bangsa hanya diberi dua kali kesempatan menebus janjinya kepada Tuhan: pertama saat ia diselamatkan dari tirani, dan kedua saat ia diberi kekuasaan untuk memperbaiki. Selebihnya, kehancuran akan datang sebagai konsekuensi moral, bukan semata-mata politis. Indonesia telah melewati dua momen itu: Orde Baru dan Reformasi.


Tapi apakah kita belajar dari keduanya?

Kini, bangsa ini hidup dalam sejenis amnesia politik dan spiritual. Perjanjian suci antara bangsa dan Tuhan — berupa keadilan sosial, penghormatan terhadap kemanusiaan, dan perlindungan bagi yang lemah — tercederai oleh praktik kekuasaan yang makin korup, predatoris, dan anti-kritik.

Mari kita bedah ini secara rasional dan historis.


*Teori Kedaulatan Tuhan: Sila Pertama, Dua Kali Perjanjian, dan Tidak Dikenal Yang Ketiga*

Pancasila, dalam sila pertamanya — “Ketuhanan Yang Maha Esa” — bukanlah sekadar kredo simbolik, melainkan sebuah asas ontologis dan etis dalam bangunan negara-bangsa Indonesia. Dalam tradisi teologi politik, terutama dalam perspektif Jean Bodin, Thomas Aquinas hingga Sayyid Qutb, kedaulatan Tuhan adalah sumber hukum tertinggi yang tak boleh dikalahkan oleh kehendak kekuasaan manusia.


Ketika bangsa Indonesia merumuskan Pancasila, terutama sila pertama, sesungguhnya kita sedang mengakui bahwa negara ini dibangun atas perjanjian spiritual: bahwa kekuasaan harus tunduk kepada nilai ilahiah, bukan sekadar kontrak sosial atau hitung-hitungan elektoral.


Dalam banyak kisah kitab suci — dari bani Israil hingga kaum Tsamud — Tuhan memberi sebuah bangsa dua kali kesempatan untuk menepati janjinya: pertama saat ia keluar dari penindasan, dan kedua saat ia diberi amanah kekuasaan. Tetapi bila keduanya disia-siakan, maka kehancuran tidak lagi ditunda. Bukan karena Tuhan kejam, tetapi karena hukum moral semesta memang tidak bisa dikompromikan tanpa akibat.


Sila pertama mestinya membatasi segala tindakan kekuasaan yang bersifat menindas, menipu, atau menyimpang. Tetapi dalam praktik, justru banyak kekuasaan di republik ini yang menggunakan nama Tuhan hanya sebagai ornamen, bukan sebagai pengikat moral.


Orde Baru telah diberi kuasa setelah kekacauan Orde Lama, tetapi menyimpang. Maka ia digantikan oleh Reformasi, yang seharusnya menebus janji bangsa kepada Tuhan: tegaknya keadilan, persamaan hak, dan supremasi moral. Namun ketika reformasi dikapling oleh oligarki dan demokrasi menjadi pasar bebas kepentingan, maka Tuhan — dalam kebijaksanaan-Nya — menutup lembar ketiga: karena tidak ada ruang bagi perjanjian yang diingkari tiga kali.


Jika sila pertama benar-benar kita yakini, maka bangsa ini sedang berada di ujung ujian terakhirnya. Bila gagal lagi, maka kehancuran bukan sekadar kemungkinan — tapi keniscayaan spiritual dan historis.


*Orde Baru: Otoritarianisme dan Perjanjian yang Dikhianati*

Orde Baru datang sebagai respons terhadap kekacauan dan disintegrasi pasca-G30S 1965. Ia menjanjikan stabilitas, pembangunan, dan modernisasi. Tapi stabilitas ditegakkan dengan tangan besi: kebebasan sipil direpresi, partai politik dikooptasi, dan militer dikultuskan sebagai penyelamat bangsa.


Selama tiga dekade, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mencapai rata-rata 7% per tahun (World Bank, 1995), tapi itu dibayar dengan ketimpangan ekstrem. Gini ratio sebelum krisis 1997 mencapai 0,39 dan kekuasaan terkonsentrasi di lingkaran sempit keluarga Soeharto dan kroni-kroninya. Krisis ekonomi 1998 menjadi pembuka aib: rezim tidak hanya gagal, tapi memiskinkan rakyat dengan hiperinflasi dan kolapsnya sektor perbankan.


Di sinilah perjanjian pertama itu pecah.


*Reformasi Janji yang Gagal Ditebus:  Bangsa Masih Mengulangi Kegagalan Orde Baru dengan Situasi Hanya Berbeda Tanggal dan Tahun*


Ketika mahasiswa meneriakkan “Reformasi!” pada Mei 1998, gema itu bukan sekadar protes terhadap Soeharto, melainkan penolakan menyeluruh terhadap sistem kekuasaan yang korup, represif, dan oligarkis. Reformasi dijanjikan sebagai era pembaruan, transparansi, supremasi hukum, serta demokrasi partisipatif. Namun dua dekade lebih setelahnya, janji itu tak hanya gagal ditepati — ia berubah menjadi pengulangan naratif kekuasaan dengan wajah yang lebih halus, namun dengan luka yang lebih dalam.


Jika pada masa Orde Baru segala kebijakan dikontrol dari pusat kekuasaan yang sentralistik dan militeristik, hari ini reformasi justru menjelma dalam bentuk demokrasi semu: kekuasaan tetap terkonsentrasi pada segelintir elite partai dan korporasi. Penunjukan pejabat publik melalui mekanisme “bagi-bagi kursi”, intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi, serta pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi bukti bahwa prinsip-prinsip reformasi telah dikhianati dari dalam.


Laporan Transparency International (2023) menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan, bahkan cenderung memburuk dalam sepuluh tahun terakhir. Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia mencatat tingkat kepuasan publik terhadap lembaga penegak hukum menurun drastis sejak 2020. Fenomena seperti “bargaining politik” kasus hukum, praktik politik uang, dan dinasti politik merupakan kemunduran langsung dari semangat 1998. Reformasi hanya berganti kulit, tetapi tubuhnya tetap mewarisi watak Orde Baru.


Secara struktural, Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay menjelaskan bahwa negara gagal bukan karena lemahnya institusi saja, tetapi karena absennya akuntabilitas publik. Indonesia hari ini adalah contoh nyata di mana institusi demokrasi tetap berdiri — DPR, KPU, MK — tetapi dikuasai oleh logika transaksional yang mematikan fungsi etiknya. Demokrasi hanya menjadi upacara lima tahunan, bukan mekanisme koreksi berkelanjutan terhadap kekuasaan.


Lebih ironis lagi, pemerintahan pasca-reformasi justru mereplikasi gaya Orde Baru dalam bentuk baru: kontrol terhadap media, pembungkaman aktivis, kriminalisasi oposisi, dan kooptasi mahasiswa melalui mekanisme insentif. Jika dulu kita menyebutnya dwifungsi ABRI, kini ia bernama “dwifungsi oligarki dan buzzer”. Maka benar jika dikatakan: yang berubah hanya tanggal dan tahun; esensinya masih sama.


Janji Reformasi untuk mewujudkan keadilan sosial dan supremasi hukum kini menjadi mitos yang perlahan ditinggalkan generasi muda. Kepercayaan pada partai politik menurun tajam, indeks demokrasi memburuk, dan intoleransi justru meningkat di tengah masyarakat. Seperti disebut oleh filsuf Jürgen Habermas, ketika ruang publik dibajak oleh kekuatan kapital dan kekuasaan, maka demokrasi kehilangan makna deliberatifnya.


Apabila bangsa ini terus membiarkan Reformasi dikudeta dari dalam, dan membiarkan elite mempermainkan konstitusi tanpa sanksi moral maupun hukum, maka sejarah hanya akan mengulang dirinya — bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai lelucon pahit. Indonesia pasca-Reformasi belum benar-benar berubah; ia hanya mengganti pemeran, bukan naskah.


Perjanjian kedua itu pun mulai retak.


*Elite Bangsa: Pola Perilaku Bohong Dibeli dengan Tipu dan Tipu Dijual dengan Dusta pada Rakyat*

Di balik setiap krisis bangsa, sering kali kita temukan bukan kekurangan sumber daya atau kemiskinan ide, melainkan kelicikan elite yang mengaburkan kebenaran. Dalam lanskap politik Indonesia pasca-Reformasi, elite bangsa tidak lagi memimpin dengan kejujuran dan visi kebangsaan, melainkan dengan praktik tipu-menipu yang dilembagakan. Bohong dibeli dengan tipu, tipu dijual dengan dusta, dan semua itu disajikan kepada rakyat dalam bungkus populisme murahan yang merendahkan akal sehat.


Rakyat diberi janji akan perbaikan ekonomi, tapi yang terjadi justru penguatan oligarki ekonomi yang menyedot sumber daya dari bawah ke atas. Di setiap masa kampanye, elite menyuarakan kesetiaan kepada konstitusi, namun begitu berkuasa, mereka pertama-tama menyerang lembaga-lembaga penjaga konstitusi itu sendiri. Kasus Mahkamah Konstitusi dalam Pilpres 2024 adalah cerminan paling terang bagaimana kebohongan dilegalkan melalui rekayasa hukum yang terang-terangan, tanpa malu.


Sosiolog Amerika Charles Wright Mills dalam bukunya The Power Elite (1956) menyatakan bahwa kekuasaan dalam masyarakat modern dikendalikan oleh segelintir elite yang mengontrol politik, ekonomi, dan militer, bukan melalui keterbukaan publik, melainkan manipulasi informasi dan simbol. Dalam konteks Indonesia, kita menyaksikan hal itu secara telanjang: elite merancang wacana, menguasai media, memproduksi buzzer, lalu menjual kebohongan sebagai “keniscayaan politik”. Yang ditipu bukan hanya rakyat, tetapi juga akal sehat itu sendiri.


Dalam laporan Edelman Trust Barometer 2024, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap elite politik hanya 28%, dan terus menurun sejak 2019. Ini bukan karena rakyat makin sinis, tetapi karena pengalaman empirik membuktikan bahwa elite politik justru menjadi pelaku utama pembohongan publik. UU Cipta Kerja yang disahkan diam-diam, revisi KUHP yang membungkam kebebasan sipil, hingga politik dinasti yang dilegalkan, adalah wujud dari pola tipu-menipu yang sistemik.


Ironisnya, elite sering kali membungkus kebohongan dengan retorika nasionalisme dan agama. Mereka berbicara tentang “kesejahteraan rakyat” sambil menandatangani kontrak bisnis tambang yang mencemari lingkungan. Mereka menyerukan “moralitas bangsa” sambil melindungi kolega partainya dari jeratan hukum. Inilah pola baru kekuasaan: dusta dijadikan norma, tipu daya dijadikan strategi.


Filsuf Prancis Michel Foucault menyebut hal ini sebagai “kekuasaan melalui diskursus”: kebenaran tidak lagi dicari, tetapi dikonstruksi oleh yang berkuasa. Elite Indonesia hari ini tidak berbohong karena terpaksa, melainkan karena sistem mendorong dan memberi insentif untuk itu. Bohong bukan lagi cacat moral, tetapi cara bertahan di puncak kekuasaan.


Selama rakyat hanya menjadi objek dari kebohongan elite, maka demokrasi kita akan terus berjalan di atas pasir hisap. Rakyat butuh lebih dari sekadar janji; mereka butuh keberanian elite untuk bicara jujur, berani gagal, dan mau dikritik. Jika tidak, maka sejarah bangsa ini hanya akan menjadi catatan tentang elite yang memperdagangkan dusta demi mempertahankan tahta.


*Antara Keburukan dan Kehancuran: Diaspora sebagai Alarm Bangsa*

Ironisnya, banyak anak bangsa justru menyelamatkan diri dari sistem ini dengan cara meninggalkan tanah air. Per tahun 2023, ada lebih dari 9 juta diaspora Indonesia yang tersebar di luar negeri (BNP2TKI, IOM). Di antara mereka adalah ilmuwan, profesional, dan teknokrat yang jenuh dengan birokrasi bobrok, diskriminasi politik, dan kriminalisasi oposisi.


Mereka bukan sekadar korban, tapi juga saksi diam tentang bagaimana bangsa ini terus gagal menepati janjinya kepada rakyat dan kepada Tuhan.


*Bangsa Menuju Kehancuran Karena Tuhan Tidak Mengenal Perjanjian Ketiga*

Dalam sejarah spiritual umat manusia, Tuhan dikenal Maha Pengasih dan Maha Pemaaf, tetapi juga Mahategas terhadap pengingkaran yang berulang. Dalam narasi teologis kitab-kitab samawi, Tuhan memberi peringatan dan ujian kepada suatu bangsa hanya dua kali sebagai bentuk kasih sayang dan keadilan. Selebihnya, kehancuran adalah bentuk konsekuensi atas pengkhianatan terhadap janji moral dan keadilan yang telah disepakati. Konsep ini bukan sekadar mitos agama, melainkan bagian dari teori-teori klasik tentang legitimasi kekuasaan berbasis etika ilahiah yang pernah dikemukakan oleh Thomas Aquinas, Al-Mawardi, hingga modernis seperti Reinhold Niebuhr.


Indonesia, sebagai bangsa yang secara konstitusional menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, sesungguhnya telah terikat pada perjanjian spiritual dan historis dengan Tuhan. Namun, perjalanan kebangsaan ini memperlihatkan pola pengingkaran yang konsisten terhadap nilai-nilai ilahiah tersebut. Kekuasaan demi kekuasaan, sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi, tidak menjadikan keadilan sosial sebagai orientasi, melainkan menjadikan kekuasaan sebagai alat akumulasi kekayaan dan kekebalan dari hukum.


Dalam konteks ini, kita patut mengingat bagaimana Tuhan memperlakukan kaum 'Ad, Tsamud, Bani Israil, atau bahkan umat Nabi Nuh. Dalam semua kisah tersebut, selalu ada dua momen penting: momen pembebasan dari kezaliman, dan momen diberinya kekuasaan untuk menegakkan keadilan. Tetapi ketika kekuasaan justru dipakai untuk menindas dan menyimpang dari janji moral awal, maka tidak ada perjanjian ketiga. Ini bukan sekadar metafora keagamaan, tapi realitas sosiologis dan historis yang terus berulang.


Data empiris memperkuat kegagalan kita sebagai bangsa dalam menepati perjanjian tersebut. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di angka 34 dari 100 (Transparency International, 2023), memperlihatkan lemahnya integritas institusi. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2023 justru menurun ke 6,53 (kategori "cacat demokrasi", The Economist Intelligence Unit), dan ketimpangan ekonomi memburuk dengan Gini ratio yang kembali meningkat ke angka 0,395 (BPS, 2024). Semua ini adalah gejala dari satu penyakit: kekuasaan tidak lagi menjawab kebutuhan rakyat, tetapi hanya memperpanjang umur rezim yang sedang berkuasa.


Secara teoritik, kondisi ini telah dijelaskan oleh Ibn Khaldun dalam teori siklus dinasti: ketika suatu bangsa berada dalam tahap kemakmuran tetapi elitenya tidak lagi memiliki rasa takut kepada Tuhan, maka kehancuran akan dimulai dari dalam. Elite yang hedonistik, lembaga yang korup, serta rakyat yang sinis adalah tanda-tanda zaman kejatuhan. Bangsa yang sudah dua kali mengkhianati amanah kekuasaan tak akan diberi waktu lama untuk memperbaiki. Tuhan tidak tertipu untuk ketiga kalinya.


Hari ini kita melihat gejala-gejala itu semakin telanjang. Pemilu dimanipulasi oleh kekuasaan dinasti, hukum disandera oleh elite politik, dan media dibungkam oleh pengiklan besar yang terafiliasi kekuasaan. Kita hidup dalam demokrasi prosedural tanpa makna substantif. Reformasi telah menjadi kata basi. Dan yang lebih mengerikan, generasi muda mulai menganggap semua ini normal. Inilah titik di mana kehancuran bukan lagi takdir, tapi hasil dari kelumpuhan moral kolektif.


Maka, jika bangsa ini berharap pada perjanjian ketiga, ia sedang bermain-main dengan prinsip moral Tuhan. Karena Tuhan, dalam semua sejarah dan wahyu-Nya, tidak pernah memberi kesempatan ketiga bagi bangsa yang terus mengingkari nilai-nilai keadilan. Kita berada di ujung sejarah kita sendiri — dan hanya dua pilihan yang tersisa: bertobat secara struktural atau hancur sebagai peringatan bagi umat-umat setelah kita.


*Penutup*

Kita mungkin bisa menipu sesama, bahkan sejarah. Tapi Tuhan? Tidak. Dalam Al-Qur'an, kaum Tsamud, 'Ad, dan Bani Israil diberi dua kali kesempatan untuk memperbaiki diri — dan mereka gagal. Yang datang kemudian adalah kehancuran struktural dan moral. Jika Indonesia tidak belajar dari sejarahnya sendiri, maka bangsa ini tidak akan sekadar gagal, tapi layak dilupakan dalam peradaban.


Karena Tuhan hanya mengenal  dua kali Perjanjian Suatu Bangsa.


Demikian 


Penulis Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999.

________

Refrensi 


1. Kitab Suci dan Tafsir Teologis

Al-Qur'an: Surah Al-A’raf [7]: 137–138 dan Al-Baqarah [2]: 246–247 – sebagai landasan argumen bahwa Tuhan memberikan “kesempatan sejarah” kepada suatu umat hanya terbatas, dan menggantikannya bila mereka berkhianat terhadap misi kebenaran.


Alkitab Perjanjian Lama: Kitab Ulangan 30:19–20 – konsep pilihan moral bangsa di hadapan Tuhan.


Buya Hamka. (1982). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas – pembacaan tafsir sosial-politik terhadap sejarah bangsa dalam kacamata spiritual.


2. Teori Politik dan Kekuasaan

Montesquieu. (1748). The Spirit of Laws – mengenai siklus kekuasaan dan batas moral dari penyalahgunaan kekuasaan.


Charles Wright Mills. (1956). The Power Elite. New York: Oxford University Press – tentang konsentrasi kekuasaan dan oligarki modern.


Michel Foucault. (1980). Power/Knowledge. New York: Pantheon Books – relasi kuasa dan wacana yang membentuk kebenaran dalam sistem politik.


3. Literatur Sejarah Politik Indonesia

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta – tinjauan sejarah dari masa kolonial hingga pasca-Orde Baru.


Liddle, R. William. (1996). The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation. Journal of Asian Studies – perubahan politik Islam pasca-Orde Baru.


Hadiz, Vedi R. (2005). Indonesian Politics in the Wake of Suharto: Globalisation, Capitalism and Democracy. Routledge – tentang demokrasi liberal pasca-1998 yang justru memperkuat oligarki.


4. Data dan Indeks Pendukung

Transparency International (2023). Corruption Perceptions Index.


Freedom House (2024). Freedom in the World Report: Indonesia.


The Economist Intelligence Unit (2023). Democracy Index – posisi Indonesia sebagai "flawed democracy".


Laporan BPK dan ICW (2022–2023) – dugaan korupsi sistemik dalam proyek-proyek nasional dan pelemahan KPK.


5. Literatur Reformasi dan Orde Baru

Aspinall, Edward. (2010). The Irony of Success: Indonesian Democracy After Reformasi. Journal of Democracy.


Krishna Sen & David T. Hill. (2000). Media, Culture and Politics in Indonesia. Oxford University Press – tentang kontrol media dari Orde Baru hingga era Reformasi.


Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). (1999). Laporan Kerusuhan Mei – akumulasi dosa negara sebelum dan saat transisi reformasi.


6. Wawancara dan Opini Tokoh Nasional

Amien Rais, “Reformasi Dikhianati oleh Partai” (Kompas, 2015)


Rocky Gerung, “Negara Telah Menjadi Pasar Kekuasaan” (Narasi, 2022)


Haedar Nashir, “Bangsa Tanpa Etika Kebenaran Akan Menabrak Tembok Sejarah” (Media Indonesia, 2023)


7. Literatur Tambahan Kontekstual

Zygmunt Bauman. (2007). Liquid Times: Living in an Age of Uncertainty – tentang masyarakat yang kehilangan arah etika akibat relativisme kebenaran.


Jürgen Habermas. (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere – demokrasi yang dirusak oleh kooptasi diskursus publik oleh elite.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)