Pemecatan dr. Rizky Ardiansyah Sp.A(K): Ujian Demokrasi, Keadilan, dan Hak Asasi di Sektor Kesehatan

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Kontrak kerja antara dr. Rizky Ardiansyah, Sp.A(K) dengan RSUP Haji Adam Malik Medan resmi diakhiri oleh pihak rumah sakit melalui surat pemberitahuan bernomor KP.05.06/D.XXVIII.2.2.1/2321/2025. Dokter subspesialis anak yang telah mengabdi sejak 2012 ini mengaku terkejut dan keberatan atas keputusan tersebut. Dalam wawancara dengan Tribun Medan pada Selasa (6/5/2025), dr. Rizky menyatakan, “Hubungan saya dengan RS Adam Malik baik-baik saja. Rabu sebelumnya masih diskusi lancar dengan direktur.”


Pihak RSUP Adam Malik menegaskan pemutusan kontrak ini dilakukan berdasarkan evaluasi internal. Namun, dugaan publik tidak sederhana. Dr. Rizky menduga, pemecatan ini berkaitan dengan sikap kritisnya terkait rencana Kementerian Kesehatan mengambil alih kolegium dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). “Persoalan saya diberhentikan sebenarnya akibat saya bersuara. Pembungkaman seperti ini sudah tidak zamannya. Kita dilarang mengenakan pita hitam di rumah sakit, kita kenakan baju hitam,” tegasnya.


Ia juga membantah isu pelanggaran disiplin yang beredar di media. “Selama bertugas, tidak pernah ada tindakan disiplin yang saya terima.” Statusnya sebagai ASN non-Kemenkes dari Kementerian Pendidikan turut memengaruhi hubungan kerjanya yang bersifat kontrak kemitraan dengan RS Adam Malik. Saat ini, ia berencana memperjuangkan kasusnya melalui organisasi profesi.


Bukan Sekedar Masalah Administratif

Pemutusan kontrak dr. Rizky Ardiansyah, Sp.A(K), tidak bisa direduksi semata sebagai “masalah administratif” belaka. Ketika seorang dokter senior yang selama 13 tahun mengabdi dipecat secara tiba-tiba tanpa kejelasan, publik berhak mencium ada sesuatu yang lebih dalam — soal etik, kebebasan bersuara, dan bahkan keberanian melawan intervensi kuasa.


Administrasi sering dijadikan tameng untuk menutupi persoalan substansial. Evaluasi internal, kontrak kerja, atau klausul manajemen hanyalah instrumen teknis yang semestinya tunduk pada nilai-nilai yang lebih besar: keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap martabat profesional. Jika administrasi dijadikan alat pembungkam kritik, maka rumah sakit tidak lagi menjadi lembaga kesehatan, tetapi berubah menjadi mesin birokrasi yang anti-manusia.


Teori Michel Foucault tentang relasi kuasa relevan di sini: institusi kesehatan bukan sekadar tempat pelayanan, tapi juga ruang disiplin yang membentuk dan mengendalikan tubuh-tubuh profesional di dalamnya. Ketika seorang dokter berbicara soal kolegium atau keberatan terhadap rencana kementerian, yang terjadi bukan hanya benturan pendapat, tapi benturan kuasa — di mana suara minor dipaksa tunduk pada otoritas mayor.


Penting bagi publik untuk menyadari bahwa yang dipertaruhkan di sini bukan sekadar nasib satu individu, melainkan integritas tata kelola kesehatan kita. Jika kritik dibungkam dengan alasan administratif, jika profesional yang kritis dipinggirkan, maka perlahan kita sedang menggali kuburan bagi akuntabilitas sektor ini. Dan pada akhirnya, pasienlah yang akan menanggung akibat dari sistem yang anti-kritik ini.


Demokrasi Tumpul di Sektor Kesehatan

Kasus pemutusan kontrak dr. Rizky Ardiansyah adalah cermin buram tumpulnya demokrasi di sektor kesehatan kita. Ketika ruang-ruang demokrasi seharusnya tumbuh di semua lini, termasuk di rumah sakit sebagai institusi publik, yang justru terjadi adalah pelumpuhan suara kritis dan perlawanan terhadap keberanian berbicara.


Sektor kesehatan mestinya tidak hanya menjadi arena pelayanan medis, tetapi juga ruang hidup bagi praktik demokrasi: kebebasan berpendapat, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan penghormatan terhadap suara minoritas di dalam institusi. Namun faktanya, kritik sering dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai bahan introspeksi. Alih-alih membangun budaya dialog, rumah sakit dan birokrasi kesehatan sering mempraktikkan otoritarianisme halus — menyingkirkan mereka yang bersuara nyaring dengan dalih “evaluasi internal” tanpa akuntabilitas.


Dalam perspektif teoritik, demokrasi bukan hanya soal pemilu dan hak pilih, tetapi juga praktik deliberasi (deliberative democracy) di semua lapisan kehidupan sosial, termasuk di institusi kesehatan. Ketika dokter yang vokal dipaksa diam, ketika kebebasan berekspresi dikekang, maka sektor kesehatan justru melahirkan “ruang steril” yang hanya ramah bagi kepatuhan, bukan perubahan.


Lebih berbahaya lagi, demokrasi yang tumpul di rumah sakit akan berdampak langsung pada pasien. Ketika tenaga medis takut berbicara, siapa yang akan mengadvokasi kepentingan pasien? Siapa yang berani melaporkan ketidakberesan pelayanan atau kebijakan yang merugikan publik? Maka, membiarkan demokrasi mati di sektor kesehatan bukan hanya persoalan internal rumah sakit, tetapi pengkhianatan terhadap hak publik atas pelayanan yang adil, transparan, dan bermartabat.


Perlindungan Whistleblower Bagi Tenaga Kesehatan

Kasus dr. Rizky Ardiansyah membuka luka lama yang selama ini jarang disentuh: lemahnya perlindungan bagi tenaga kesehatan yang berperan sebagai whistleblower. Di banyak negara, pelapor penyimpangan atau ketidakberesan dalam institusi dipandang sebagai pahlawan moral yang berkontribusi memperbaiki sistem. Namun di Indonesia, justru tidak jarang mereka dianggap pembangkang yang harus “dilenyapkan” secara halus melalui pemecatan atau pembungkaman.


Padahal, whistleblower memiliki peran strategis dalam menjaga akuntabilitas layanan kesehatan. Mereka adalah mata dan telinga publik di balik tembok birokrasi rumah sakit. Tanpa keberanian mereka, praktik malpraktik manajerial, korupsi pengadaan, hingga pelanggaran etik profesi akan terus tersembunyi, menciptakan lingkaran setan ketidakadilan yang merugikan pasien.


Menurut teori good governance, salah satu pilar utama tata kelola yang baik adalah accountability — yang hanya bisa hidup jika ada mekanisme perlindungan bagi pelapor pelanggaran. Sayangnya, hingga kini perlindungan hukum bagi whistleblower di Indonesia masih lemah, termasuk bagi tenaga kesehatan. UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU No. 31/2014 tentang Perlindungan Saksi baru menyentuh permukaan masalah, tetapi belum spesifik melindungi tenaga medis di ranah birokrasi kesehatan.


Kasus ini harus menjadi momentum bagi negara untuk menetapkan protokol khusus whistleblower di sektor kesehatan, melibatkan organisasi profesi, rumah sakit, hingga Kementerian Kesehatan. Tanpa perlindungan yang memadai, kita hanya akan mendorong lahirnya budaya takut dan tunduk, bukan budaya kritik dan perbaikan. Akibatnya, bukan hanya tenaga medis yang terancam, tetapi jutaan pasien yang bergantung pada keberanian mereka untuk bicara.


Momen Perbaikan Tata Kelola Kesehatan Berbasis HAM

Kasus pemutusan kontrak dr. Rizky Ardiansyah adalah alarm keras bagi tata kelola kesehatan di Indonesia. Ini bukan sekadar masalah relasi kerja, tetapi refleksi dari rapuhnya penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di sektor vital ini. Sektor kesehatan semestinya menjadi wajah paling humanis dari negara — tempat hak untuk hidup, hak atas kesehatan yang layak, dan hak atas kebebasan berpendapat dilindungi tanpa kompromi.


Namun realitas berkata lain. Ketika dokter bersuara kritis demi memperjuangkan independensi profesi, yang datang justru surat pemecatan. Ketika hak untuk berekspresi dipraktikkan, yang hadir adalah pembungkaman. Ini adalah potret kegagalan institusional yang mengkhianati prinsip-prinsip HAM, sebagaimana ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Rights dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.


Momentum ini seharusnya menjadi titik balik bagi rumah sakit, Kementerian Kesehatan, dan pemangku kebijakan untuk mereformasi tata kelola kesehatan. Reformasi yang tidak hanya berfokus pada sarana-prasarana dan teknologi, tetapi juga pada pembangunan sistem yang menjamin partisipasi kritis, transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan bagi whistleblower. Tanpa itu semua, sektor kesehatan hanya akan jadi mesin birokrasi tanpa nurani, yang mengabaikan hak-hak mereka yang mestinya menjadi ujung tombak pelayanan publik.


Jika pemerintah sungguh ingin mewujudkan pelayanan kesehatan berbasis HAM, inilah saatnya menata ulang kontrak moral antara negara, rumah sakit, dan tenaga medis — membangun ekosistem yang memuliakan hak, bukan mematikan suara.


Keadilan yang Terancam

Pemutusan kontrak kerja dr. Rizky Ardiansyah tidak hanya soal hubungan kerja semata, tetapi menyingkap wajah buram keadilan dalam sistem kesehatan kita. Tanpa penjelasan transparan dan alasan yang memadai, pemecatan ini menjadi preseden buruk yang mengancam hak-hak dasar tenaga medis: hak untuk bersuara, hak untuk diperlakukan adil, dan hak atas perlindungan dari represi institusi.


Dalam kerangka teori keadilan John Rawls, fairness atau keadilan sebagai keberimbangan adalah prinsip fundamental. Ketika seorang profesional dipecat karena diduga “terlalu vokal”, tanpa proses yang jelas, maka prinsip fairness itu runtuh. Lebih dari sekadar pelanggaran administrasi, ini adalah bentuk peminggiran suara kritis dalam ruang publik kesehatan.


Celakanya, keberanian bersuara di sektor kesehatan justru sering dibayar mahal dengan risiko karier, isolasi sosial, bahkan stigmatisasi. Di tengah krisis moral dan tata kelola rumah sakit, kasus dr. Rizky seharusnya membuka mata publik bahwa keadilan di sektor kesehatan bukan hanya soal gaji dan kontrak, tetapi soal siapa yang berani bicara demi perbaikan sistem — dan apakah suara itu akan dilindungi, atau malah dibungkam.


Tanpa mekanisme perlindungan yang kuat, pemecatan seperti ini dapat menciptakan efek domino: membungkam tenaga medis lain yang ingin mengungkapkan penyimpangan atau ketidakadilan di ruang-ruang pelayanan. Jika dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan dokter yang kompeten, tapi juga kehilangan nurani kolektif yang semestinya menjaga martabat layanan kesehatan kita.


Penutup

Kasus pemutusan kontrak dr. Rizky Ardiansyah bukan sekadar persoalan hubungan kerja, tetapi pertanda bahwa tata kelola sektor kesehatan kita sedang mengalami erosi nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Ketika rumah sakit, sebagai institusi publik, gagal membuka ruang dialog bagi suara kritis, maka yang lahir adalah otoritarianisme birokrasi yang membungkam — persis seperti yang dikritik Jurgen Habermas dalam teori public sphere, di mana ruang publik yang seharusnya menjadi tempat dialektika digantikan oleh dominasi kekuasaan teknokratis.


Di sisi lain, ketidakberanian negara memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan yang berperan sebagai whistleblower adalah bentuk kegagalan menerapkan prinsip good governance, terutama transparency dan accountability. Padahal, teori governance modern menekankan bahwa sistem yang baik lahir bukan dari ketaatan tanpa suara, melainkan dari partisipasi aktif semua aktor, termasuk mereka yang berani mengoreksi dari dalam. Tanpa perlindungan bagi mereka, yang tersisa hanyalah kultur ketakutan yang merusak martabat profesi medis.


Momentum ini seharusnya dibaca oleh pemerintah, Kementerian Kesehatan, dan organisasi profesi sebagai panggilan untuk melakukan reformasi menyeluruh: memperkuat hak-hak tenaga medis untuk bersuara, menetapkan mekanisme perlindungan whistleblower, dan menumbuhkan budaya demokratis di institusi kesehatan. Jika tidak, rumah sakit hanya akan menjadi “mesin pelayanan” yang kehilangan nurani — dan rakyatlah yang akhirnya menjadi korban dari matinya demokrasi di ruang-ruang penyembuhan.


Demikian


Penulis Penggiat Hak Asasi Manusia, Tercatat Sebagai Anggota Perkumpulan KontraS Sumut, dan Wakil Sekretaris Bid. Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

______

Referensi:


UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


UUD 1945 Pasal 28E ayat (3)


Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan Korupsi Sektor Publik, 2023


John Rawls, A Theory of Justice


Human Rights Watch, World Report 2024


World Health Organization, Health Workforce Governance, 2023


Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), 1948


Surat RSUP H. Adam Malik Nomor KP.05.06/D.XXVIII.2.2.1/2321/2025


Tribun Medan, wawancara 6 Mei 2025

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)