Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum).
Pendahuluan
Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir berdiri di mimbar parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) dan membacakan sebuah mosi yang kelak dikenang sebagai titik balik sejarah bangsa: Mosi Integral. Tidak hanya berdampak politis karena mengantarkan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan, mosi tersebut juga merupakan landasan filosofis penting dalam merumuskan relasi antara Islam, negara, dan Pancasila. Di tengah riuh wacana tentang sekularisme dan Islam politik, Mosi Integral menjadi bukti bahwa integrasi Islam dalam sistem ketatanegaraan tidak hanya mungkin, tetapi konstitusional, demokratis, dan berbasis etika kebangsaan.
Islam, Negara, dan Prinsip-Prinsip Modern
Mohammad Natsir—seorang cendekiawan Islam, pemimpin Masyumi, dan mantan Perdana Menteri—memiliki pandangan bahwa Islam bukan sekadar agama dalam ruang privat, tetapi sumber nilai yang membentuk etika publik. Dalam teori politik Islam klasik, sebagaimana dirumuskan oleh Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, negara adalah sarana untuk menegakkan keadilan dan maslahat umat. Natsir menafsirkan prinsip ini dalam konteks Indonesia yang plural: Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusionalisme modern.
Dalam Mosi Integral-nya, Natsir tidak menuntut negara Islam, tetapi negara yang menjamin umat Islam dapat hidup sesuai keyakinannya. “Kami tidak akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam formal, tetapi sebagai negeri yang dipimpin oleh nilai-nilai keadilan,” demikian spirit yang menyertai argumentasi beliau. Hal ini konsisten dengan pandangan para pemikir politik modern seperti John Rawls yang menekankan pentingnya public reason dalam negara demokrasi. Dalam konteks Indonesia, nilai Islam menjadi bagian dari public morality yang diperjuangkan melalui cara konstitusional.
Pancasila dan Islam: Bukan Dua Kutub yang Bertentangan
Salah satu tudingan yang kerap diarahkan kepada tokoh Islam adalah ketidakcocokan antara Islam dan Pancasila. Natsir menolak dikotomi ini. Bagi Natsir, Pancasila adalah dasar yang memungkinkan nilai-nilai Islam tumbuh dalam ruang publik tanpa dominasi ataupun eksklusi. Dalam tafsir Natsir, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak bisa dilepaskan dari landasan tauhid, yang menjadi fondasi moral umat Islam, sekaligus membuka ruang bagi agama lain menjalankan keyakinannya.
Pandangan ini senada dengan pendapat Harun Nasution, yang menyebut Pancasila sebagai "akomodasi nilai-nilai religius dan kemanusiaan" (Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985). Dalam kerangka itu, Mosi Integral bukan sekadar gerakan politik, tetapi dokumen yang menjembatani Islam dan Pancasila sebagai dua fondasi moral bangsa.
Kembali ke NKRI: Strategi Melawan Warisan Kolonial
Secara politik, Mosi Integral merupakan respons terhadap bentuk federal RIS yang dipaksakan oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Bentuk federal ini dipandang sebagai strategi pecah-belah (divide et impera) yang melemahkan kedaulatan Indonesia. Dengan mendukung Mosi Natsir, mayoritas anggota parlemen RIS menyepakati pembubaran negara bagian dan kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keputusan ini bukan hanya taktis, tetapi juga simbolik: Islam politik mendukung persatuan nasional. Mosi ini menjadi bukti bahwa umat Islam tidak menentang NKRI, melainkan justru menjadi pelopor utama dalam penyatuannya. Data sejarah menunjukkan bahwa dukungan terbesar bagi mosi ini datang dari fraksi Islam dan nasionalis, dengan mayoritas mutlak di parlemen (lihat Risalah Sidang Konstituante, 1950).
Pengaruh dan Relevansi Kekinian
Mosi Integral tidak berhenti sebagai catatan sejarah. Ia menjadi referensi intelektual bagi banyak perdebatan kontemporer mengenai peran Islam dalam demokrasi Indonesia. Saat ini, ketika kembali mengemuka isu seputar khilafah, sekularisme, dan intoleransi, Mosi Integral memberi pelajaran berharga: bahwa jalan Islam dalam politik Indonesia adalah jalan konstitusional, demokratis, dan inklusif.
Secara teoretis, ini senada dengan teori demokrasi deliberatif Jurgen Habermas yang menekankan pentingnya dialog dan konsensus dalam ruang publik yang plural. Natsir sudah menjalankan prinsip ini jauh sebelum teori-teori tersebut populer di dunia akademik. Mosi Integral adalah prototipe demokrasi Islam Indonesia: tidak memaksakan, tetapi menginspirasi.
Penutup
Sejarah mencatat Mosi Integral sebagai langkah strategis yang menjadikan Islam bukan sebagai oposisi negara, tetapi mitra dalam membangun Indonesia. Lebih dari sekadar mosi parlemen, ia adalah pernyataan politik Islam yang dewasa: nasionalis, konstitusional, dan menjunjung tinggi keadilan. Di tengah tantangan kebangsaan hari ini—polarisasi identitas, disinformasi politik, dan krisis moral publik—semangat Mosi Integral harus kembali digaungkan sebagai paradigma ketatanegaraan yang menjunjung integritas, keadilan, dan persatuan dalam bingkai NKRI.
Demikian
_______
Penulis Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999, Medan 30 April 2025
________
Referensi:
1. Natsir, Mohammad. Risalah Mosi Integral dan Pidato-Pidato Politik, 1950.
2. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press, 1985.
3. Boland, B.J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia, 1982.
4. Sidik, Ma’mun. Mohammad Natsir: Pemikiran dan Perjuangannya, Republika, 2008.
5. Habermas, Jurgen. Between Facts and Norms, MIT Press, 1996.
6. Risalah Sidang Konstituante Republik Indonesia, 1950.
Posting Komentar
0Komentar