Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak memberi tempat bagi korupsi.”
Kalimat ini tak hanya retorika, tetapi semestinya menjadi sikap politik kenegaraan kita. Di tengah semangat Hari Kebangkitan Nasional, kita perlu menengok kembali fondasi moral dan hukum kita dalam memberantas korupsi—yakni bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga mengamputasi insentif ekonomi mereka: aset hasil kejahatan.
Hingga kini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset (asset forfeiture law) yang efektif. Padahal, perampasan aset adalah instrumen strategis untuk memastikan efek jera bagi koruptor. Tanpa itu, pemberantasan korupsi hanya menyentuh kulit luar. Pelaku boleh saja dipenjara, tapi harta hasil kejahatannya tetap dinikmati oleh keluarganya.
Kelemahan Rezim Hukum Saat Ini
Di Indonesia, mekanisme perampasan aset masih sangat bergantung pada pembuktian pidana. Artinya, jika pelaku lolos dari vonis, maka aset hasil kejahatan sulit disentuh. Ini berbeda dengan pendekatan non-conviction based asset forfeiture (NCB) yang telah diterapkan di banyak negara seperti Inggris, Kanada, hingga Singapura.
Padahal, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam satu dekade terakhir mencapai lebih dari Rp250 triliun (KPK, 2023). Namun, capaian pengembalian aset (asset recovery) jauh dari optimal, yakni hanya sekitar 11% dari nilai kerugian. Ini menegaskan bahwa tanpa penguatan regulasi, negara hanya menjadi penonton dari parade impunitas.
Teori Efek Jera dan Ekonomi Kriminal
Menurut Gary Becker (1968), pelaku kejahatan rasional akan menghitung risiko dan manfaat dari tindakan kriminal. Bila risiko (hukuman) rendah dan manfaat (hasil kejahatan) tinggi, maka kejahatan akan terus dilakukan. Maka, teori ekonomi kriminal menekankan pentingnya pemiskinan pelaku untuk menciptakan efek jera yang riil.
Hal ini diperkuat oleh rational choice theory dalam kriminologi yang menyebut bahwa kejahatan, termasuk korupsi, dapat ditekan bila negara menciptakan disinsentif ekonomi yang tegas—terutama lewat pemiskinan pelaku dan pemutusan mata rantai hasil kejahatan.
Kemandekan Politik dan Resistensi Elite
Sayangnya, hingga Mei 2025, RUU Perampasan Aset masih terkatung di DPR. Walau masuk dalam Prolegnas 2025–2029, RUU ini tidak masuk prioritas tahun 2025. Ketua Baleg DPR bahkan menyebut materi RUU ini masih perlu diperbarui (eMedia DPR, 2025). Padahal draf sudah ada sejak 2008 dan pernah dibahas serius pada 2023.
Mengapa lambat? Karena RUU ini menyentuh urat nadi elite politik dan ekonomi. Dalam banyak kasus, koruptor bukan hanya individu, tetapi bagian dari jaringan kuasa yang melibatkan politisi, pengusaha, hingga penegak hukum. Maka, resistensi muncul dari aktor-aktor yang merasa terancam kepentingannya.
Harapan di Bawah Pemerintahan Baru
Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum untuk menunjukkan komitmen serius terhadap agenda antikorupsi. Asta Cita yang digagas Gerindra menekankan pentingnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan kuat. Tanpa UU Perampasan Aset, Asta Cita hanya akan menjadi slogan kosong.
RUU ini harus dijadikan urgensi nasional, bukan sekadar proyek legislasi. Terlebih, dalam konteks Hari Kebangkitan Nasional, kita dituntut untuk membuktikan bahwa bangsa yang merdeka bukan hanya lepas dari penjajahan fisik, tapi juga bebas dari belenggu korupsi struktural.
Kemandekan Politik dan Resistensi Elite
Sayangnya, hingga Mei 2025, RUU Perampasan Aset masih terkatung di DPR. Walau masuk dalam Prolegnas 2025–2029, RUU ini tidak masuk prioritas tahun 2025. Ketua Baleg DPR bahkan menyebut materi RUU ini masih perlu diperbarui (eMedia DPR, 2025). Padahal draf sudah ada sejak 2008 dan pernah dibahas serius pada 2023.
Mengapa lambat? Karena RUU ini menyentuh urat nadi elite politik dan ekonomi. Dalam banyak kasus, koruptor bukan hanya individu, tetapi bagian dari jaringan kuasa yang melibatkan politisi, pengusaha, hingga penegak hukum. Maka, resistensi muncul dari aktor-aktor yang merasa terancam kepentingannya.
Harapan di Bawah Pemerintahan Baru
Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum untuk menunjukkan komitmen serius terhadap agenda antikorupsi. Asta Cita yang digagas Gerindra menekankan pentingnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan kuat. Tanpa UU Perampasan Aset, Asta Cita hanya akan menjadi slogan kosong.
RUU ini harus dijadikan urgensi nasional, bukan sekadar proyek legislasi. Terlebih, dalam konteks Hari Kebangkitan Nasional, kita dituntut untuk membuktikan bahwa bangsa yang merdeka bukan hanya lepas dari penjajahan fisik, tapi juga bebas dari belenggu korupsi struktural.
Pandangan Ahli Hukum Pidana dan Ahli Ekonomi Urgensi UU Perampasan Aset
Para ahli, sepakat bahwa RUU Perampasan Aset adalah kebutuhan mendesak bagi sistem hukum Indonesia untuk menutup celah koruptor menikmati hasil kejahatan. Namun, perancangan RUU harus cermat dengan keseimbangan antara kepentingan pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi
Prof. Herkestuti Harkesnowo
Prof. Herkestuti, seorang pakar hukum pidana di Indonesia, sering menekankan pentingnya penguatan hukum materiil dan prosedural untuk memberantas korupsi secara tuntas. Ia berpendapat bahwa:
Perampasan aset merupakan instrumen kunci dalam pemberantasan korupsi karena menghancurkan dasar ekonomi pelaku korupsi.
Tanpa aturan tegas tentang perampasan aset, hukum pidana hanya menjadi simbolik, karena pelaku masih menikmati hasil kejahatan.
Implementasi asset forfeiture law harus memperhatikan prinsip perlindungan hak asasi, namun tidak boleh memberi ruang bagi koruptor untuk mengamankan asetnya.
Ia juga mendorong model non-conviction based asset forfeiture, sehingga perampasan aset bisa dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
Prof. Barda Nawawi Arief
Prof. Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana Universitas Indonesia dan pakar hukum pidana nasional, memberikan analisis mendalam:
Menurut Prof. Barda, perampasan aset adalah bentuk perwujudan keadilan restitutif (pengembalian kerugian negara) yang harus menjadi bagian dari sistem hukum pidana.
Ia menekankan perlunya integrasi antara peraturan perampasan aset dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan hukum pidana umum agar efektif.
Prof. Barda juga mengingatkan bahwa pelaksanaan perampasan aset harus seimbang dengan perlindungan terhadap hak milik yang sah, menghindari penyalahgunaan kewenangan.
Ia mengusulkan agar UU Perampasan Aset memuat ketentuan yang jelas tentang mekanisme perampasan, pengelolaan aset, dan pemulihan negara.
Salah satu tokoh yang secara konsisten menyuarakan perlawanan terhadap ketimpangan dan korupsi struktural adalah Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia. Dalam berbagai forum akademik dan publikasi, ia menegaskan bahwa korupsi bukan hanya kejahatan hukum, melainkan kejahatan terhadap konstitusi ekonomi.
> “Korupsi adalah bentuk modern dari perampasan hak rakyat atas kesejahteraan. Jika negara gagal merampas kembali aset hasil korupsi, maka negara sedang gagal menegakkan Pasal 33 UUD 1945,” tegas Sri-Edi dalam pidatonya di UI (2022).
RUU Perampasan Aset, menurutnya, adalah perintah ideologis. Negara wajib menciptakan mekanisme hukum yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga mengembalikan kekayaan publik yang telah dijarah. Bagi Sri-Edi, perampasan aset merupakan bagian dari proses rekonstruksi ekonomi kerakyatan dan instrumen konkret dalam mewujudkan keadilan sosial. Ini bukan sekadar wacana teknokratik, melainkan misi kebangsaan.
Lebih dari itu, Sri-Edi mengkritik keras tertundanya pengesahan RUU ini selama bertahun-tahun, menyebutnya sebagai bentuk kompromi sistemik terhadap kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Ia melihat kekuatan oligarki dan elite predator terlalu kuat menekan proses legislasi, padahal rakyat sudah terlalu lama menanggung derita akibat kekayaan nasional yang bocor ke tangan pribadi.
“Jangan biarkan korupsi menjadi alat kolonialisme gaya baru,” serunya—menggarisbawahi bahwa korupsi dan penguasaan aset secara ilegal sesungguhnya telah menciptakan relasi kekuasaan yang menindas, layaknya masa penjajahan.
RUU Perampasan Aset bukan hanya soal hukum. Ia adalah jalan menuju pembebasan struktural. Melalui UU ini, negara bisa membalik arus: dari negara yang dikuasai elite menjadi negara yang melindungi kepentingan rakyat. Dari sistem hukum simbolik menjadi hukum yang substantif.
Kini, saatnya DPR dan Presiden menjemput amanat itu. Bukan untuk pencitraan, tapi sebagai bentuk nyata dari kebangkitan bangsa—bangkit dari ketakutan menghadapi koruptor, bangkit dari ketundukan pada oligarki.
Penutup
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, kita tidak bisa lagi menoleransi kebocoran kekayaan negara yang jatuh ke tangan koruptor tanpa ada mekanisme hukum yang kuat untuk merebutnya kembali. RUU Perampasan Aset adalah jembatan antara supremasi hukum dan keadilan sosial, antara cita-cita kemerdekaan dan realitas ekonomi bangsa. Ketika hukum tidak mampu menjangkau harta hasil kejahatan, maka hukum kehilangan makna keadilannya.
Kini saatnya pemerintah dan DPR tidak lagi bermain-main dengan amanat publik. Menunda RUU ini berarti menunda keadilan, menunda kesejahteraan rakyat, dan membiarkan korupsi terus menggerogoti fondasi bangsa. Dalam semangat Hari Kebangkitan Nasional, kita perlu menegaskan bahwa kebangkitan sejati hanya mungkin terjadi ketika negara berani menindak tegas para perampok kekayaan negara, bukan hanya dengan penjara, tetapi dengan merampas kembali apa yang telah mereka jarah dari rakyat.
Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya peringatan historis, tapi panggilan untuk bertindak. Dalam menghadapi korupsi yang sistemik, separuh kemenangan ditentukan dari keseriusan negara memiskinkan para pencuri uang rakyat. UU Perampasan Aset adalah jawaban konstitusional yang telah lama ditunda.
Demikian
Penulis Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
___________
Daftar Pustaka
Becker, G. S. (1968). Crime and Punishment: An Economic Approach. Journal of Political Economy.
Harkesnowo, H. (2018). Penguatan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 48, No. 2.
Arief, B.N. (2016). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT RajaGrafindo Persada.
Swasono, Sri-Edi. (2014). Ekonomi Konstitusi. LP3ES.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan Tahunan KPK 2023. Jakarta.
Swasono, Sri-Edi. (2022).Seminar Nasional UI, “Ekonomi Kerakyatan dan Antikorupsi”, Universitas Indonesia, 2022.
eMedia DPR RI. (2025). Materi RUU Perampasan Aset Masih Perlu Diperbarui.
Hukumonline. (2023). Sepenting Apa RUU Perampasan Aset?
Tempo.co. (2023). Sampai di Mana RUU Perampasan Aset?
Kompas.com. (2025). RUU Perampasan Aset Baru Akan Dibahas Tahun Depan.
UNODC (2021). Manual on Non-Conviction Based Forfeiture.
Posting Komentar
0Komentar