Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Pratiksi Hukum)
Pendahuluan
Di akhir tahun 1990-an, Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi salah satu perguruan tinggi yang mendapatkan alokasi lahan seluas ±10.000 hektare di Tapanuli Selatan sekarang Mandailing Natal (Madina) Sumatera Utara dari Menteri Muslim Nasution Menteri Kehutanan Kabinet B.J. Habibi. Program ini dikenal sebagai “Land Grant University,” sebuah skema pemerintah untuk memperkuat basis Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Harapannya, lahan itu akan menopang kemandirian finansial univesitas (civitas akademika), meningkatkan riset pertanian, dan memberdayakan masyarakat sekitar.
Namun, idealisme itu tak berjalan mulus. Pada 1998, didirikanlah Koperasi Pembangunan (KP) USU di bawah Ketua Prof. dr. Chairuddin P. Lubis yang juga menjabat sebagai Rektor USU saat itu. Alih-alih dikelola langsung sebagai aset universitas, tanah ini dimohonkan atas nama KP USU ke Kanwil BPN Sumut dan dikabulkan melalui penerbitan Hak Guna Usaha (HGU).
Jebakan Kerja Sama Yang Menyesakkan
Kerja sama yang dibangun KP USU dengan PT. Asianagri Lestari pada awalnya diproyeksikan membawa keuntungan besar. Dalam struktur kepemilikan saham, KP USU memegang 15% dan mitra swasta 85%. Sayangnya, laporan hasil usaha tak pernah dilaporkan secara formal ke USU. Bahkan, KP USU kemudian mengklaim diri sebagai entitas terpisah dari universitas, menutup pintu transparansi dan akuntabilitas.
Tak hanya mencederai prinsip tata kelola perguruan tinggi, situasi ini juga menciptakan celah bagi hilangnya kontrol USU atas asetnya sendiri. Di balik angka-angka di atas kertas, tak ada kontribusi signifikan yang mengalir ke kampus.
Kredit Bank: Prinsip Profitabilitas Bisnis antara BNI dan USU
Puncak kontroversi muncul pada 21 Agustus 2021. PT Usaha Sawit Unggul (PT USU), perusahaan swasta yang mengelola lahan eks USU, menggunakan lima sertifikat HGU sebagai agunan fasilitas kredit dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk senilai Rp228,3 miliar. Dari perspektif bank, langkah ini wajar selama agunan sah dan menguntungkan secara bisnis. Namun, apakah agunan itu legal jika asetnya masih berstatus milik negara?
Di sinilah pertanyaan kritis muncul. USU sebagai pemilik sah tanah tak pernah dilibatkan. Prinsip akuntabilitas publik dilanggar, dan aset negara diseret dalam pusaran kredit komersial yang berisiko besar. Ini bukan sekadar soal bisnis, melainkan persoalan moral, hukum, dan tata kelola aset publik.
Laporan Kebun Sawit Tabuyung USU Tidak Beruntung Selama Tahun 2012–2025
Selama 13 tahun terakhir, kebun sawit Tabuyung bisa dikatakan gagal membawa keberuntungan bagi USU. Alih-alih menjadi sumber pendanaan riset atau beasiswa, aset itu justru menguap tanpa laporan jelas. Pengelolaan oleh PT Sumatera Makmur Sejahtera tak menyumbang setoran berarti ke USU, sementara pajak dan kontribusi ke negara pun menjadi tanda tanya besar.
Warga kampus nyaris tak pernah mendengar kabar baik dari kebun itu. Lebih ironis, tanah negara itu kini berisiko hilang, karena digadaikan ke bank tanpa restu pemilik sahnya.
Kebun untuk Siapa Dan Negara Harus Hadir
Pertanyaan publik semakin keras: untuk siapa kebun sawit Tabuyung ini sebenarnya? Haruskah perguruan tinggi negeri, yang seharusnya berorientasi pada ilmu dan pengabdian, tersandera dalam jebakan bisnis penuh intrik?
Dalam diskursus tata kelola perguruan tinggi, kasus USU ini seharusnya menjadi alarm. Ia menunjukkan lemahnya governance, minimnya pengawasan, serta pudarnya visi akademik yang justru tergerus oleh kepentingan pragmatis sebagian elite kampus.
Dalam kerangka hukum agraria, aset negara tak boleh dipindahtangankan sembarangan, apalagi tanpa persetujuan pemilik sah. Penggunaan HGU untuk kredit tanpa izin adalah pelanggaran serius yang harus diusut tuntas. Negara tidak boleh abai. Kementerian ATR/BPN, Kementerian Keuangan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan.
Lebih jauh, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga perlu mengambil peran. Universitas adalah institusi pendidikan, bukan perusahaan bisnis. Tata kelola aset publik di lingkungan akademik harus tunduk pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
Menata Ulang Tata Kelola Aset Perguruan Tinggi
Kasus USU adalah potret buruk yang mungkin terjadi pula di kampus lain. Maka, sudah waktunya negara menyusun ulang aturan main tata kelola aset perguruan tinggi. Setiap aset harus masuk dalam neraca kekayaan negara, dikelola secara profesional, dan diaudit secara periodik. Universitas wajib menyampaikan laporan terbuka kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan hukum.
Menjaga Marwah Akademik Dan Membangun Jalan Terang
Di tengah tantangan era otonomi kampus, marwah akademik harus tetap dijaga. Jangan sampai universitas tergelincir menjadi aktor bisnis yang mengabaikan nilai-nilai keilmuan, keadilan sosial, dan pengabdian masyarakat. Kebun sawit Tabuyung seharusnya menjadi laboratorium riset, bukan ladang konflik kepentingan.
Kini, publik menunggu keberanian pimpinan USU untuk membuka tabir gelap ini. Audit forensik harus dilakukan, aliran dana diperiksa, dan pihak-pihak yang lalai atau menyalahgunakan wewenang dimintai pertanggungjawaban. Di atas semua itu, kebun sawit Tabuyung harus dikembalikan ke pangkuan USU, bukan hanya sebagai aset, tapi sebagai simbol integritas perguruan tinggi.
Penutup
Kasus kebun sawit USU di Tabuyung, Mandailing Natal, adalah potret buram dari gagalnya tata kelola aset pendidikan tinggi di Indonesia. Berawal dari cita-cita luhur mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi, tanah seluas ±10.000 hektare itu justru terperangkap dalam pusaran kepentingan, kerjasama yang tidak transparan, dan absennya pertanggungjawaban.
Selama lebih dari dua dekade, laporan keuangan kebun sawit tak pernah benar-benar menyentuh meja pimpinan USU. Lebih ironis lagi, aset yang sejatinya milik negara itu kini berubah fungsi menjadi jaminan kredit komersial bernilai ratusan miliar rupiah, tanpa jejak yang jelas tentang legalitas pengalihan haknya.
Di tengah tantangan globalisasi pendidikan, perguruan tinggi dituntut menjadi pusat keunggulan akademik sekaligus teladan dalam tata kelola aset. USU, sebagai universitas negeri ternama, tidak boleh membiarkan persoalan ini berlalu begitu saja. Tidak cukup sekadar klarifikasi, sudah saatnya dilakukan audit forensik, pengembalian aset, dan pembenahan menyeluruh.
Negara, melalui kementerian terkait, tak boleh berdiri di pinggir arena. Publik menanti hadirnya pemerintah untuk memastikan tidak ada pihak yang menari di atas kegelapan. Sudah waktunya lorong gelap pengelolaan kebun sawit USU diterangi cahaya hukum, transparansi, dan keadilan. Agar kampus tak hanya menjadi tempat menanam ilmu, tetapi juga menumbuhkan integritas.
Demikian.
Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' '92.
___________
Refrensi
1. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara. (1998). Dokumen Hak Guna Usaha Kebun Tabuyung USU. Kanwil BPN Sumut.
2. Universitas Sumatera Utara (USU). (1998). Keputusan Rektor tentang Pembentukan KP USU. Arsip Rektorat USU.
3. Universitas Sumatera Utara (USU). (2000–2024). Laporan Tahunan dan Arsip Perkebunan USU Tabuyung. Rektorat USU (tidak dipublikasikan).
4. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (2021). Dokumen Fasilitas Kredit PT Usaha Sawit Unggul (PT USU).
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Kajian Tata Kelola Aset Negara dan Pencegahan Korupsi di Sektor Pertanahan. Jakarta: KPK RI.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Atas Tanah.
9. Media Kompas. (2021–2025). Laporan Investigasi dan Artikel Opini terkait Konflik Agraria dan Tata Kelola Aset Negara. www.kompas.id.
Posting Komentar
0Komentar