"Keterbukaan Informasi Publik dan Akuntabilitas USU: Mengapa Klarifikasi Itu Kewajiban, Bukan Pilihan"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH ((Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan 


Universitas Sumatera Utara (USU) kembali menjadi sorotan, bukan karena prestasi akademik, melainkan akibat sikap defensif atas permintaan klarifikasi publik terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Ketika media melayangkan surat resmi menanyakan sembilan poin penting terkait penggunaan dana titipan, kelebihan bayar, pemecahan paket proyek, dan pengembalian dana hibah, pihak USU justru menolak memberikan klarifikasi dengan dalih media penanya belum UKW dan belum terverifikasi Dewan Pers.


Alasan ini tidak hanya menyesatkan secara hukum, tetapi juga bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), khususnya prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Sebagai entitas pengguna anggaran negara, USU terikat secara normatif untuk membuka informasi hasil audit publik. Menolak klarifikasi bukan hanya bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab moral sebagai lembaga akademik, tapi juga mengaburkan fungsi lembaga negara dalam mendidik publik tentang integritas.


LHP BPK Adalah Dokumen Publik


Tindakan USU menolak klarifikasi dengan membentengi diri lewat dalih administratif seperti UKW adalah bentuk evasion of accountability. Padahal secara hukum, posisi LHP BPK sangat jelas. Pasal 19 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

> "Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD merupakan dokumen yang terbuka untuk umum."


Konfirmasi itu diperkuat kembali dalam Pasal 7 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menyebut:

> “Hasil pemeriksaan BPK yang telah diserahkan kepada lembaga perwakilan adalah informasi yang terbuka untuk umum.”


Dua ketentuan hukum ini menunjukkan bahwa setelah LHP diserahkan kepada lembaga legislatif, maka publik—baik individu, LSM, hingga media mana pun—berhak mengakses, mengkritik, dan meminta penjelasan atas temuan tersebut. Menarik batas “kompetensi jurnalistik” sebagai syarat memperoleh klarifikasi, hanya menunjukkan ketakutan institusional untuk berhadapan dengan kebenaran.


Klarifikasi: Hak Publik, Bukan Hadiah Birokrasi


Sikap USU seolah hendak mengunci ruang publik dalam sistem tertutup, yang hanya membuka diri kepada kelompok media tertentu, padahal hak untuk memperoleh informasi adalah hak konstitusional sebagaimana tercantum dalam Pasal 28F UUD 1945, yang menyebutkan:

> "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya..."


Lebih lanjut, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mewajibkan badan publik, termasuk perguruan tinggi negeri, untuk menyediakan informasi secara proaktif dan menjawab permintaan informasi secara responsif. Tak ada satupun pasal dalam UU KIP yang mensyaratkan pemohon informasi harus jurnalis terverifikasi. Hak atas informasi adalah milik semua warga negara.


Sembilan Poin yang Menuntut Transparansi


Permintaan klarifikasi yang dilayangkan media bukan basa-basi. Sembilan poin itu menyentuh langsung jantung pengelolaan keuangan negara:


1. Penggunaan dana titipan Rp7,1 miliar yang diduga disalahgunakan.

2. Dana tidak jelas asal-usul dan belum digunakan selama dua tahun (Rp292 juta).

3. Dana titipan disalahgunakan Rp353 juta.

4. Penerima manfaat belum menerima haknya.

5. Pengembalian dana hibah proyek Embung II sebesar Rp8,5 miliar.

6. Pemecahan paket proyek untuk menghindari tender senilai lebih dari Rp3,5 miliar.

7. Pembayaran remunerasi Rp36,5 miliar yang tak proporsional dengan kinerja pegawai.

8. Kekurangan volume pekerjaan Rp214 juta.

9. Kelebihan pembayaran pekerjaan Rp380 juta.


Temuan ini bukan hanya angka, melainkan indikasi penyimpangan struktural. Jika tak diklarifikasi secara terbuka, maka patut diduga terjadi maladministrasi atau bahkan pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara.


Akademisi dan Moral Publik


USU bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan pilar moral masyarakat Sumatera Utara. Dalam kerangka itu, setiap langkah USU mencerminkan etika publik, bukan semata protokol birokrasi. Jürgen Habermas pernah mengingatkan dalam konsepnya tentang ruang publik (public sphere), bahwa lembaga-lembaga akademik wajib membuka diri pada kritik dan diskursus publik agar demokrasi tetap sehat.


Penolakan klarifikasi justru menyalahi nilai-nilai ilmiah yang menjadi dasar keberadaan perguruan tinggi. Jika ilmu dijalankan dalam ruang tertutup dan penuh kecurigaan, maka peradaban akan mati dalam sunyi birokrasi.


Penutup: Saatnya Buka Diri, Bukan Tutup Mulut


Keterbukaan adalah syarat dasar dari akuntabilitas. USU seharusnya memanfaatkan momen klarifikasi ini untuk membersihkan nama baik, mengedukasi publik, serta menguatkan kepercayaan masyarakat. Menghindar hanya akan memperkuat asumsi bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.


Dan dalam demokrasi, asumsi publik yang tidak dijawab akan tumbuh menjadi ketidakpercayaan. Maka, sekali lagi: klarifikasi bukan pilihan, tapi kewajiban.


Demikian 


Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

---


Daftar Pustaka:


1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.


2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.


3. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


4. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28F.


5. Habermas, Jürgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press.


6. Mulgan, Richard. (2000). Accountability: An Ever-Expanding Concept?. Public Administration, 78(3), 555–573.


7. Wahyudi, Ridwan. (2019). Good Governance dan Keterbukaan Informasi Publik. Yogyakarta: Genta Press.


8. USU dan 10 Tahun Korupsi 'Dimaafkan': Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar.

https://www.porosjakarta.com/kanal-editorial/066024274/usu-dan-10-tahun-korupsi-dimaafkan-laporan-bpk-ungkap-penyimpangan-rp28-miliar?page=4#sidr

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)