"Ironis Keadilan Agraria: Petinggi USU Terlibat Dalam Mengolah Lahan Konflik Eks HGU PTPN Di Hamparan Perak Deli Serdang"

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan 


Hamparan Perak bukan hanya bentang lahan luas di Deli Serdang, melainkan juga arena tarik-menarik antara kepentingan rakyat dan elit. Ironi keadilan agraria tampak mencolok ketika petinggi Universitas Sumatera Utara (USU), institusi akademik negeri ternama, diduga ikut terlibat dalam pengelolaan lahan yang berstatus konflik: eks HGU PTPN II yang telah berubah menjadi tanah negara bebas.


Lahan Negara Bebas: Antara Janji Reforma dan Kapitalisasi Elit


Sejak HGU PTPN II tidak diperpanjang, lebih dari 5.800 hektare lahan di kawasan Deli Serdang berubah status menjadi tanah negara bebas. Secara hukum, lahan ini seharusnya menjadi prioritas bagi reforma agraria untuk kepentingan masyarakat yang telah lama menggarapnya—para pensiunan karyawan PTPN, petani lokal, dan komunitas adat setempat.


Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Laporan-laporan dari  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkap adanya upaya sistematis dari oknum-oknum elit—termasuk akademisi dan birokrat—untuk “menguasai secara halus” lahan-lahan ini dengan dalih pembangunan institusi pendidikan.


Alih-alih menjadi pelopor keadilan sosial, sebagian elit kampus justru terjerembab dalam skema yang mendekati praktik land grabbing terselubung.


Tanah Eks HGU PTPN: Tanah Negara Bebas Untuk Rakyat


Ketika Hak Guna Usaha (HGU) berakhir, tanah tersebut bukan lagi milik korporasi negara atau swasta, melainkan kembali menjadi tanah negara bebas. Begitu tegas penjelasan Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH, pakar hukum agraria terkemuka dari Universitas Sumatera Utara. Ia menyatakan bahwa status tanah eks HGU yang tidak diperpanjang, secara yuridis, terbuka untuk didistribusikan melalui skema reforma agraria kepada rakyat, bukan kepada elite birokrat atau institusi tertentu yang menggunakan kedok pembangunan untuk menguasai lahan.


Pandangan ini senada dengan pemikiran Prof. Dr. Budi Harsono, dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, yang menyatakan bahwa tanah negara bebas adalah “modal sosial” yang harus diprioritaskan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan tanah untuk kelangsungan hidup, bukan untuk kepentingan spekulasi atau ekspansi kekuasaan. Logika dasarnya: negara hadir untuk memperbaiki ketimpangan struktur penguasaan tanah, bukan memperparahnya dengan memberikan lahan kepada pihak yang telah mapan secara ekonomi dan institusional.


Konsep ini diperkuat oleh Gunawan Wiradi, tokoh agraria dan mantan peneliti di IPB, yang mengemukakan bahwa keadilan agraria sejati menuntut pembalikan logika penguasaan. Ia menyebut bahwa tanah eks HGU yang diserobot oleh elite adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, terutama Pasal 7 yang menyebutkan pembatasan penguasaan tanah oleh perseorangan atau badan hukum demi keadilan sosial.


Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbicara lain. Lahan eks HGU PTPN II di Hamparan Perak, Deli Serdang, justru menjadi ajang rebutan antara mafia tanah, pejabat daerah, dan bahkan akademisi dari institusi negeri. Mereka berlindung di balik narasi pembangunan kampus, padahal substansinya adalah penguasaan fisik atas tanah negara. Kondisi ini mencerminkan erosi moral hukum agraria, di mana hak rakyat kecil sebagai penggarap tradisional disingkirkan secara sistematis oleh kekuasaan yang dibungkus legitimasi hukum formal.


Oleh karena itu, prinsip tanah negara untuk rakyat harus dikawal sebagai mandat konstitusional, bukan sekadar slogan politis. Pemerintah, khususnya ATR/BPN, mesti berpihak pada keadilan substantif dengan memprioritaskan redistribusi lahan kepada rakyat kecil. Jika tidak, maka yang terjadi bukan reforma agraria, melainkan reforma elite, di mana tanah kembali dikuasai segelintir orang dengan wajah baru: para pemilik jabatan, gelar, dan koneksi politik. Dan itu adalah tragedi agraria yang lahir dari pembiaran hukum oleh negara itu sendiri.


USU, Kampus Berlimpah Lahan: Mengapa Harus Hamparan Perak?


Data internal menunjukkan bahwa USU masih memiliki cadangan lahan lebih dari 300 hektare yang belum termanfaatkan optimal di kawasan Medan Tuntungan dan Kwala Bekala. Maka muncul pertanyaan mendasar: mengapa institusi sebesar USU harus ikut mengelola lahan eks HGU di Hamparan Perak, yang status hukumnya masih menjadi sengketa?


Salah satu argumen dari para pengelola kampus adalah kebutuhan ekspansi akademik dan pembangunan sentra riset. Namun alasan ini tampak timpang bila dibandingkan dengan banyaknya lahan potensial yang sudah dimiliki tetapi tidak dimanfaatkan secara produktif.


Moral Akademik dan Etika Agraria


Keterlibatan akademisi dalam sengketa lahan ini mengundang refleksi mendalam tentang etika kepemimpinan kampus. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan sejatinya harus berpihak kepada mereka yang tertindas, bukan justru menjadi alat justifikasi atas dominasi struktural.


Dalam konteks agraria Indonesia, teoretikus seperti van Vollenhoven dan Boaventura de Sousa Santos telah mengingatkan bahwa konflik agraria bukan hanya tentang tanah, tapi tentang keadilan sosial, keberlanjutan hidup, dan pengakuan terhadap hak rakyat atas ruang hidupnya.



Negara dan Mafia Tanah: Siapa Diuntungkan?


Sejumlah investigasi media lokal menyebut bahwa mafia tanah kerap memanfaatkan “institusi resmi” untuk memuluskan penguasaan atas tanah negara. Dengan menjadikan lembaga pendidikan atau proyek sosial sebagai dalih, proses legalisasi penguasaan lahan berjalan lebih mudah, bahkan nyaris tanpa perlawanan.


Sayangnya, negara kerap abai. Pemerintah daerah dan pusat terlalu lambat menyusun tata kelola distribusi eks HGU secara partisipatif dan transparan. Alih-alih berpihak pada rakyat, regulasi justru membuka celah bagi elite untuk berebut lahan melalui jalur “hukum formal.”


Solusi: Audit, Transparansi, dan Reforma Agraria Substantif


Pemerintah melalui ATR/BPN dan KPK perlu segera melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan lahan eks HGU, termasuk di Hamparan Perak. Petinggi lembaga pendidikan yang terbukti ikut bermain dalam konflik lahan harus dikenakan sanksi moral dan hukum.


Di sisi lain, publik dan gerakan masyarakat sipil mesti mengawal proses redistribusi tanah agar tidak direbut oleh elite. Reforma agraria sejati hanya mungkin terjadi jika ruang partisipasi rakyat dibuka luas, dan hukum tidak menjadi alat kekuasaan semata.


Penutup


USU seharusnya menjadi benteng moral bagi rakyat, bukan menjadi bagian dari struktur yang melanggengkan ketimpangan agraria. Pembangunan kampus di atas tanah sengketa bukan hanya cacat etik, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pendidikan yang membebaskan.


Demikian.


Penulis Advokat dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 


---


Daftar Pustaka


1. Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum, 1970.


2. van Vollenhoven. Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië, 1918.


3. Parlindungan Lubis, A.P.

Hukum Agraria Indonesia: Suatu Kajian Teoritis dan Praktis. Medan: USU Press, 2007.

> Dalam buku ini, Prof. Parlindungan menegaskan bahwa tanah eks HGU yang tidak diperpanjang menjadi tanah negara bebas dan penggunaannya harus didasarkan pada asas keadilan sosial.


4.. Harsono, Boedi

Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2005.

> Prof. Harsono menekankan bahwa tanah negara merupakan alat pemerataan ekonomi yang wajib dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bukan elite institusional.


5. Gunawan Wiradi

Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: KPA & INSIST Press, 2009.

> Wiradi menyebut pentingnya keberpihakan negara dalam mendistribusikan tanah eks HGU kepada petani dan rakyat kecil sebagai perwujudan dari amanat UUPA 1960.


6. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960

> Terutama Pasal 7: “Untuk tidak membiarkan adanya pemilikan dan penguasaan tanah yang bersifat monopoli yang merugikan kepentingan umum.”


7. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Tanah Terlantar

> Menjelaskan bahwa tanah HGU yang tidak diperpanjang atau tidak dimanfaatkan sesuai izin akan kembali menjadi tanah negara yang dapat didistribusikan.


8. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) – Laporan Konflik Agraria Sumatera Utara 2023–2024.

> Memberikan data tentang konflik agraria di Sumut termasuk lahan eks HGU PTPN II yang menjadi sumber ketegangan antara rakyat dan elite.


9. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – Catatan Akhir Tahun 2024: Reforma Agraria dalam Bayang-bayang Oligarki Tanah.

> Menganalisis bagaimana tanah negara banyak dikuasai kembali oleh elite melalui mekanisme formal yang legalistik namun tidak adil secara substantif.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)