Hak Berpendapat, Berkumpul, Dan Berserikat Dijamin ICCPR: Kasus Pemecatan dr. Rizky Adriansyah dari RSU Adam Malik*

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


*Pendahuluan*

Kasus pemutusan kontrak kerja dr. Rizky Adriansyah, M.Ked (Ped), Sp.A, SubspKardio(K) oleh RSU Adam Malik bukanlah sekadar persoalan internal sebuah institusi kesehatan. Ia adalah potret buram bagaimana kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat — yang dijamin oleh konstitusi dan hukum internasional — justru rentan diberangus dalam praktik sehari-hari, bahkan di sektor yang seharusnya menjunjung tinggi etika, yaitu kesehatan.


Kontrak dr. Rizky yang diakhiri secara mendadak dengan surat bernomor KP.05.06/D.XXVIII.2.2.1/2321/2025 memunculkan tanda tanya besar. Padahal, ia sudah mengabdi sejak 2012 dan tidak memiliki catatan pelanggaran disiplin. Dugaan kuat bahwa pemecatan ini terkait sikap kritisnya terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan, terutama soal rencana pengambilalihan kolegium profesi, memantik polemik publik.


Pertanyaannya: sejauh mana hak-hak dasar seorang warga negara — termasuk hak menyuarakan pendapat dalam konteks profesional — dilindungi negara? Dan apa implikasinya jika ruang demokrasi ini terus-menerus dikerdilkan?


*Kronologi Singkat: Dari Aktivitas Kritik ke Pemutusan Kontrak*

Pada dasarnya, relasi kerja antara dr. Rizky dan RSU Adam Malik berjalan lancar selama lebih dari satu dekade. Namun, mendadak pihak RS mengeluarkan surat pemutusan kontrak. Dalam wawancara media, dr. Rizky mengungkapkan keterkejutannya karena sehari sebelumnya ia masih berdiskusi baik-baik dengan pimpinan RS.


Yang membuat publik berang adalah dugaan bahwa pemecatan ini bukan soal kinerja, melainkan sikap kritis. Dr. Rizky dikenal aktif menolak rencana pengambilalihan kolegium profesi dokter anak oleh Kemenkes, termasuk mengenakan pita hitam dan baju hitam sebagai simbol protes bersama rekan sejawat.


Sebagai ASN non-Kemenkes di bawah Kementerian Pendidikan, statusnya memang berbeda. Namun, sebagai dokter, ia berhak menggunakan saluran profesi untuk menyuarakan pendapat. Langkah RSU Adam Malik, yang beralasan hanya “evaluasi internal”, justru memunculkan dugaan kuat adanya represi non-formal.


*Dimensi Hukum Nasional: Konstitusi Menjamin Kebebasan"*

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”


Selain itu, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk berpendapat (Pasal 23), berkumpul (Pasal 24), dan berserikat (Pasal 25). Dalam konteks ini, tindakan protes dr. Rizky adalah wujud ekspresi sah sebagai warga negara sekaligus profesional.


Perlu dicatat, status ASN tidak menghapuskan hak asasi dasar. Bahkan UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 pun memberi ruang partisipasi bagi ASN dalam penyampaian pendapat sepanjang tetap memperhatikan etika dan loyalitas pada negara, bukan sekadar kepada instansi.


*Dimensi Hukum Internasional: Jaminan ICCPR*

Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Konvenan ini, terutama Pasal 19 dan Pasal 21, menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat.


Pasal 19 ayat (2) ICCPR:

Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat; hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima, dan menyebarkan informasi serta gagasan.


Pasal 21 ICCPR:

Hak untuk berkumpul secara damai diakui.

Dengan demikian, jika pemutusan kontrak ini terbukti sebagai respons atas ekspresi pendapat, maka bukan hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga kewajiban internasional yang telah diterima Indonesia.


*Teori Kritis: Pembungkaman sebagai Simptom Otoritarianisme*

Dalam kajian teori kritis, seperti yang disampaikan oleh Jürgen Habermas, kebebasan berkomunikasi adalah jantung demokrasi deliberatif. Ketika ruang publik dibungkam, bukan hanya individu yang dirugikan, tetapi seluruh ekosistem demokrasi.


Michel Foucault bahkan menekankan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja melalui represi fisik, tetapi melalui mekanisme kontrol diskursif, termasuk di institusi seperti rumah sakit. Pemecatan dr. Rizky adalah cermin bagaimana kekuasaan bekerja secara halus, mengendalikan wacana, dan mematikan suara-suara kritis.


*Data Lapangan: Tren Pembungkaman di Sektor Profesi*

Lembaga seperti KontraS dan LBH mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, semakin sering terjadi pembungkaman aktivisme di kalangan profesional — mulai dari akademisi, jurnalis, hingga tenaga medis. Fenomena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) atau gugatan hukum untuk membungkam kritik juga makin marak.


Kasus dr. Rizky berpotensi menjadi preseden buruk yang mengancam kebebasan berekspresi di sektor kesehatan, apalagi jika tidak direspons secara serius oleh organisasi profesi dan pemerintah.


*Peran Organisasi Profesi: IDAI dan Solidaritas Profesi*

Dalam situasi seperti ini, organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memegang peran kunci. IDAI bukan hanya wadah administratif, tetapi juga benteng moral untuk melindungi anggotanya dari represi. Solidaritas profesi harus ditegakkan — bukan sekadar demi dr. Rizky, tetapi demi menjaga marwah profesi kedokteran yang independen.


*Implikasi Bagi Negara Hukum*

Negara hukum ditandai oleh perlindungan hak-hak dasar warga negara. Ketika negara atau lembaga publik justru ikut membungkam hak-hak tersebut, maka prinsip negara hukum terancam. Kasus ini harus dipandang sebagai ujian serius: apakah Indonesia mampu konsisten menghormati hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi dalam ICCPR, atau justru terperosok pada praktik-praktik otoritarianisme baru?


*Rekomendasi: Langkah Hukum dan Advokasi Publik*

Langkah hukum: Mengajukan gugatan administratif atau perdata untuk menilai apakah pemutusan kontrak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).


Advokasi publik: Melibatkan media, LSM, dan organisasi profesi untuk menekan pemerintah agar menegakkan prinsip kebebasan berpendapat.


Dialog terbuka: Mendesak RSU Adam Malik dan Kemenkes menjelaskan secara transparan alasan pemutusan kontrak.


*Penutup*

Kasus dr. Rizky bukan sekadar persoalan pribadi; ia adalah ujian bagi demokrasi kita. Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang steril dari kritik, tetapi demokrasi yang justru tumbuh dari keberanian mendengar suara yang berbeda. Seperti kata Nelson Mandela, “Kebebasan bukan hanya membebaskan diri, tetapi juga menciptakan ruang bagi orang lain.”


Demikian.


Penulis Wakil Sekretaris Bid. Hukum Dan HAM Majelis Wilayah KAHMI Sumut, Pengiat Hak Asasi Manusia dan Anggota Perkumpulan KontraS Sumut.

---

Referensi:


Undang-Undang Dasar 1945


UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN


UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR


Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere


Michel Foucault, Discipline and Punish


Laporan Tahunan KontraS, LBH, ICJR

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)