"Citraland Vs Reforma Agraria: Siapa Pemilik Sejati Tanah Eks HGU PTPN II Seluas 5.873 Ha Berstatus Tanah Negara Bebas"

Media Barak Time.com
By -
0




Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


Kisruh agraria kembali menjadi cermin retaknya komitmen negara terhadap keadilan sosial. Kali ini, panggungnya adalah lahan eks HGU PTPN II seluas 5.873 hektare yang membentang di Deli Serdang dan sekitarnya. Di satu sisi, ada klaim korporasi besar seperti Ciputra Group lewat proyek Citraland Gama City. Di sisi lain, rakyat menuntut hak atas tanah yang sudah lama digarap dan mereka tempati. Ironisnya, negara — sebagai pemilik formal tanah tersebut — justru absen dalam memainkan peran keadilannya.


Status Tanah Negara Bebas: Hukum Siapa yang Berlaku?


Secara yuridis, lahan eks HGU yang telah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang, menjadi tanah negara bebas. Menurut Prof. Boedi Harsono (2003), tanah negara bebas adalah tanah yang tidak sedang dibebani hak atas tanah manapun dan belum dialokasikan penggunaannya oleh negara. Dalam konteks ini, negara wajib mendistribusikan tanah itu sesuai prinsip reforma agraria sebagaimana diamanatkan dalam UUPA No. 5 Tahun 1960.


Namun realitasnya berkata lain. Alih-alih dijadikan prioritas untuk redistribusi tanah kepada petani tak bertanah atau masyarakat adat, tanah tersebut justru dikapling untuk investasi properti berskala elit. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa negara bekerja?


PTPN II, Mafia Tanah, dan Rente Kuasa


Meskipun masa HGU telah berakhir, PTPN II masih terlibat dalam proses pengalihan hak atau bahkan menggandeng pengembang besar dalam pemanfaatan lahan tersebut. Padahal, secara hukum, tanah tersebut sudah bukan lagi hak PTPN II. Lalu, bagaimana bisa mereka tetap menjadi aktor utama dalam transaksi dan penguasaan lahan?


Sebagaimana di dalam realitasnya banyak eks HGU di Indonesia menjadi ladang subur praktik mafia tanah karena lemahnya pengawasan dan simpul regulasi yang kabur. Modusnya adalah memperpanjang "de facto" mengikuti ormas kepemudaan dengan penguasaan melalui afiliasi, anak perusahaan, atau kerjasama diam-diam dengan pengembang. Negara, dalam banyak kasus, terkesan tutup mata.


Reforma Agraria dan Pengkhianatan Kebijakan Publik


Dalam kerangka kerja pelaksanaan reforma agraria sesuai UUPA No. 5 Tahun 1960, dimana dalam teknisnya di perkuat dalam Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria secara eksplisit menyebut bahwa tanah eks HGU yang tidak diperpanjang adalah sumber utama redistribusi.


Namun apa lacur, hingga 2024, KPA mencatat hanya sekitar 1,2 juta hektare yang benar-benar didistribusikan kepada rakyat dalam bentuk legalisasi aset maupun redistribusi tanah. Di Sumatera Utara sendiri, sebagian besar tanah eks HGU justru berpindah tangan ke pihak swasta, termasuk korporasi properti besar.


Citraland : Simbol Ketimpangan Baru


Kehadiran proyek Citraland Gama City di atas tanah eks HGU PTPN II menyulut konflik sosial baru. Ratusan kepala keluarga yang telah lama bermukim di lahan tersebut mengklaim bahwa mereka seharusnya menjadi penerima manfaat dari program reforma agraria. Sayangnya, tanpa proses partisipatif, tanah yang seharusnya menjadi hak rakyat dialihfungsikan untuk kompleks perumahan mewah, boulevard, dan mall.


Fenomena ini menjadi antitesis nyata dari Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi dan tanah dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.


Konstitusi Dikebiri, Rakyat Didepak


Persoalan tanah di Indonesia sering kali berujung pada ketidakadilan struktural. Lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II seluas 5.873 hektare yang kini berstatus tanah negara bebas menjadi contoh nyata bagaimana negara gagal hadir sebagai pelindung hak rakyat. Alih-alih dijadikan sumber reforma agraria yang adil, tanah ini justru dikuasai oleh korporasi besar seperti Ciputra Group untuk proyek properti elit Citraland Gama City. Ini bukan sekadar persoalan pertanahan, tetapi cerminan kebiri konstitusi dan pengusiran rakyat dari hak mereka sendiri.


Pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie: “Kedaulatan Rakyat Tak Boleh Dijual”

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan ahli hukum tata negara, konstitusi adalah jantung demokrasi dan kedaulatan rakyat. Ketika tanah negara, yang secara konstitusional dikuasai rakyat, justru dialihkan kepada swasta tanpa partisipasi dan keadilan, sama artinya dengan membungkam suara rakyat dan melemahkan prinsip kedaulatan. Negara tidak boleh menjadi alat penindas yang melepas aset strategis ke oligarki atas nama investasi.


Prof. Sadli Isra: “Pengabaian Reforma Agraria adalah Kemunduran Demokrasi Agraria”

Profesor Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas ini menegaskan bahwa reforma agraria adalah mandat konstitusional dan amanat sosial untuk mengatasi ketimpangan. Namun, pengabaian pelaksanaan reforma agraria sejatinya merupakan kemunduran demokrasi agraria yang merugikan masyarakat miskin. "Tanah negara bebas harus dioptimalkan untuk rakyat kecil, bukan dijadikan komoditas pasar," katanya. Fakta penguasaan tanah eks HGU oleh pengembang besar adalah kegagalan sistem pengelolaan agraria nasional.


Prof. Mahfud MD: “Penegakan Hukum Harus Tegas, Jangan Biarkan Mafia Tanah Berkuasa”

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pakar hukum tata negara ini melihat bahwa pelepasan tanah negara yang seharusnya untuk reforma agraria menjadi praktik mafia tanah yang sistemik. Mahfud MD menegaskan bahwa penegakan hukum agraria harus tegas dan independen agar negara benar-benar menjadi pelindung rakyat. "Jika negara membiarkan penguasaan tanah negara bebas oleh korporasi melalui praktik hukum abu-abu, maka legitimasi negara sebagai pelayan publik menjadi pertanyaan besar," ujarnya.


Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH: “Landreform Harus Berdasar Prinsip Keadilan Sosial”

Sebagai ahli hukum agraria yang telah lama meneliti soal reforma agraria di Indonesia, Prof. Parlindungan Lubis menegaskan bahwa landreform bukan sekadar pembagian tanah secara fisik, tetapi penerapan prinsip keadilan sosial dan perlindungan hak rakyat miskin atas tanah. Ia mengkritik tajam penguasaan tanah bekas HGU oleh pengembang properti besar yang mengabaikan hak-hak masyarakat kecil yang sudah lama menggaraph tersebut.


Prof. Boedi Harsono: “Tanah Negara Bebas Harus Dikelola untuk Kepentingan Rakyat”

Boedi Harsono, pakar hukum agraria ternama, secara konsisten menekankan bahwa tanah negara bebas adalah milik rakyat yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan mereka. Ia mengingatkan bahwa jika tanah tersebut dialihkan tanpa prosedur yang adil dan transparan, maka negara sedang melanggar amanat UUPA dan mengabaikan prinsip penguasaan tanah oleh rakyat secara umum.


Menurut Prof. Maria SW Sumardjono, penguasaan tanah oleh negara tidak berarti negara dapat berbuat sewenang-wenang, melainkan harus berdasar pada asas keadilan distributif. Ketika tanah negara yang telah habis HGUnya diserahkan kepada pengembang alih-alih kepada rakyat, maka negara telah gagal menjalankan mandat konstitusi.


Hendrik Saragih, sebagai Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, mengungkapkan bahwa kasus tanah eks HGU PTPN II ini adalah gambaran nyata bagaimana rakyat kecil selalu menjadi korban dalam konflik agraria. "Korporasi dan elite politik mengambil hak kami, sementara negara hanya jadi alat pemulus kepentingan mereka," tegasnya. Menurut Hendrik, tanpa keberpihakan nyata negara pada rakyat, reforma agraria hanya menjadi janji kosong, tegas mantan Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional (La Via Campesina) dinobatkan menjadi salah satu dari 20 orang tokoh yang akan paling mempengaruhi kondisi lingkungan hidup di dunia (Green Giants) pada tahun 2011. 


Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 21/PUU-XII/2014 juga telah menegaskan bahwa negara sebagai pemegang hak atas tanah negara harus menggunakan kewenangan itu untuk memberdayakan, bukan menindas rakyat.


Mengurai Krisis: Negara Harus Kembali pada Amanat Konstitusi


Kenyataan bahwa tanah eks HGU PTPN II menjadi objek perebutan antara pengembang besar dan rakyat miskin bukan sekadar soal aset, tetapi soal siapa yang berkuasa atas tanah dan keadilan sosial. Negara seharusnya menjadi fasilitator pelaksanaan reforma agraria sebagai bentuk keadilan sosial yang diwajibkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Namun, negara justru dikebiri oleh kepentingan ekonomi politik, rakyat didepak dari tanahnya sendiri.


Negara harus segera mengambil sikap tegas: membatalkan semua perjanjian yang melanggar prinsip keadilan dan mengembalikan tanah kepada rakyat melalui redistribusi yang transparan dan demokratis. Hanya dengan demikian, cita-cita reforma agraria sebagai solusi mengakhiri kemiskinan dan konflik agraria dapat terwujud.


Penutup 


Pertanyaannya kini bukan sekadar siapa yang punya uang, tetapi siapa yang punya hak dan legitimasi. Tanah eks HGU PTPN II seluas 5.873 hektare adalah tanah negara bebas — artinya tanah itu milik rakyat secara konstitusional. Negara harus hadir sebagai pengatur yang adil, bukan makelar yang memfasilitasi penguasaan oleh konglomerat.


Reforma agraria tidak boleh menjadi slogan politik belaka. Ia harus menjadi aksi nyata dalam meruntuhkan oligarki agraria dan mengembalikan tanah kepada tuan sejatinya: rakyat Indonesia.


Demikian.


Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Petani DPW SPI Sumut Dari Tahun 2009-2014, dan Tenaga Ahli Komisi 2 DPR RI dari anggota DPR Fraksi P. Gerindra  Dari 2014-2019

__________


1.Dasar Konstitusional & Hukum Agraria


Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3):

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”


Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA):

Merupakan landasan utama reforma agraria. Lihat khususnya Pasal 7, 8, 10, dan 14 tentang larangan penguasaan tanah berlebihan dan keharusan redistribusi tanah.


Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria:

Menyebutkan bahwa tanah eks HGU termasuk objek reforma agraria yang dapat didistribusikan kepada rakyat.


2.Pandangan Ahli Hukum Agraria dan Hukum Tata Negara 


Prof. Jimly Asshiddiqie (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Menekankan pentingnya supremasi konstitusi dan pelaksanaan hak-hak ekonomi rakyat.


Prof. Mahfud MD (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Menyoroti hubungan antara hukum agraria dan perlindungan terhadap rakyat kecil.


Prof. Boedi Harsono (2005). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.

Referensi klasik soal interpretasi dan tujuan sosial UUPA 1960.



Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH (2009). Hukum Agraria: Teori dan Implementasi Reforma Agraria di Indonesia. Medan: USU Press.

Khusus membahas redistribusi tanah eks HGU di Sumatera Utara.


Sumardjono, Maria S.W. (2001). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dalam buku ini, Prof. Maria menegaskan bahwa hak atas tanah harus dipandang sebagai hak ekonomi, sosial, dan budaya yang fundamental bagi warga negara, dan bukan semata komoditas ekonomi. Tanah eks-HGU yang berstatus tanah negara bebas wajib diprioritaskan untuk rakyat melalui program reforma agraria.


Prof. Sadli Isra (2022). “Politik Agraria dalam Ketimpangan Sosial.” Jurnal Hukum Agraria, Universitas Andalas.


Hendrik Saragih (SPI). Laporan Tahunan Konflik Agraria, Serikat Petani Indonesia, 2022-2024.

Serikat Petani Indonesia - SPI

https://spi.or.id


3.Data dan Fakta Pendukung


KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). Catatan Akhir Tahun 2023.


Menyebut bahwa konflik agraria di Sumatera Utara termasuk yang tertinggi, dengan PTPN II sebagai aktor dominan.


Laporan Ombudsman RI (2022):

Menemukan maladministrasi dalam pengalihan tanah eks HGU PTPN II di Deli Serdang kepada pihak swasta tanpa pemenuhan prosedur reforma agraria.


Putusan Mahkamah Agung No. 99 PK/Pdt/2016:

Menyebutkan bahwa tanah eks HGU setelah berakhirnya haknya harus dikembalikan ke negara dan menjadi objek landreform.


Liputan Kompas, Tempo, Mongabay, dan Tirto (2021–2024):

Investigasi terkait penguasaan tanah eks  HGU PTPN II oleh pengembang properti seperti Ciputra Group (Citraland), tanpa transparansi dan keterlibatan warga.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)