Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
*Pendahuluan*
Dalam Asta Cita—delapan program strategis pemerintahan Prabowo Subianto—terdapat janji menyejahterakan rakyat melalui reforma agraria dan kedaulatan atas sumber daya alam. Namun, janji ini menghadapi ujian nyata ketika tanah-tanah negara eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II di Sumatera Utara justru dialihkan bukan kepada rakyat, melainkan ke korporasi properti.
*Reforma Agraria atau Reformasi Elitis*
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 12,7 juta hektare tanah yang dijanjikan untuk reforma agraria nasional, hanya sekitar 1,2 juta hektare yang benar-benar didistribusikan kepada petani hingga 2023. Di sisi lain, alih fungsi lahan eks-HGU PTPN II di Deli Serdang, Binjai, dan sekitarnya justru memperlihatkan bahwa tanah negara tidak menjadi instrumen keadilan sosial, melainkan ladang kapitalisasi elite properti.
Laporan BPN Sumut menunjukkan bahwa sekitar 5.873 hektare lahan eks HGU PTPN II telah berakhir masa konsesinya. Namun, sebagian besar lahan tersebut tidak kembali ke rakyat melalui skema reforma agraria, melainkan dimanfaatkan oleh pengembang besar seperti Ciputra Group, PT KAI bekerja sama dengan swasta, hingga perusahaan-perusahaan properti lokal yang menjual tanah dengan harga pasar Rp1 juta – Rp5 juta per meter persegi.
*Teori Kekuasaan dan Penguasaan Tanah*
Michel Foucault dalam teorinya tentang kuasa dan ruang menjelaskan bahwa penguasaan atas tanah adalah bentuk nyata dari relasi kekuasaan. Negara mestinya menjadi subjek yang memproteksi rakyat dari akumulasi kekayaan di tangan segelintir elite. Namun, fakta di Sumatera Utara menunjukkan sebaliknya: negara absen dalam melindungi kepentingan rakyat atas tanah.
Antonio Gramsci juga mengingatkan bahwa negara dapat menjadi instrumen hegemoni kelas berkuasa jika tidak dikendalikan oleh kesadaran kolektif rakyat. Ketika pemerintah lebih tunduk pada kepentingan pemodal, maka narasi “Negara Kuat untuk Rakyat” menjadi semu dan kontradiktif.
*Kontradiksi Asta Cita dan Praksis Kekuasaan*
Asta Cita keempat menegaskan tentang “pembangunan dari desa dan pinggiran dengan memperkuat daerah dan reforma agraria.” Namun, saat tanah eks-HGU yang mestinya diberikan pada petani, eks pekerja perkebunan, dan masyarakat adat, justru beralih ke properti mewah dan perumahan elite, maka substansi Asta Cita telah dirusak oleh praktik politik transaksional dan liberalisasi agraria.
Lebih menyakitkan, beberapa komunitas tani di daerah Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa justru mengalami penggusuran demi pembangunan kawasan bisnis terpadu. Laporan Komnas HAM tahun 2022 bahkan mencatat adanya pelanggaran hak ekonomi dan sosial terhadap masyarakat yang tinggal puluhan tahun di atas lahan eks-HGU tersebut.
*Peruntukan Tanah Negara Bebas Harus Pada Rakyat*
Dalam pandangan Alm. Prof. A.P. Parlindungan Lubis, SH—ahli hukum agraria terkemuka asal Sumatera Utara—tanah negara bebas, khususnya yang berasal dari bekas HGU, secara normatif dan moral harus diprioritaskan untuk rakyat, bukan untuk kepentingan komersial segelintir elite. Dalam kuliah-kuliah dan tulisan akademiknya, ia menegaskan bahwa tanah negara bukan barang dagangan, melainkan ruang hidup publik yang wajib ditata demi keadilan sosial sebagaimana amanat UUPA 1960.
Lebih lanjut, Prof. Parlindungan menekankan bahwa fungsi sosial tanah adalah prinsip utama dalam hukum agraria nasional. Oleh karena itu, setiap alih fungsi atau redistribusi tanah negara harus memenuhi prinsip partisipatif, transparan, dan proporsional, dengan mendahulukan mereka yang telah lama menggarap atau tinggal di atasnya, seperti buruh tani, petani gurem, dan masyarakat adat.
Dalam konteks alih fungsi lahan eks-HGU PTPN II di Sumatera Utara, pemikiran beliau menjadi alarm etis dan hukum terhadap kebijakan negara yang cenderung pro-pasar dan abai terhadap hak rakyat atas tanah.
*Solusi: Redistribusi Berbasis Hukum dan Partisipasi*
Pemerintah Prabowo harus menjadikan kasus ini sebagai cermin kritis untuk mengoreksi arah pembangunan agraria. Pertama, tanah eks-HGU yang berstatus tanah negara bebas harus didistribusikan kepada rakyat secara legal dan berkeadilan, dengan transparansi proses oleh BPN. Kedua, hentikan liberalisasi tanah dan moratorium alih fungsi lahan untuk kebutuhan komersial besar. Ketiga, bentuk Komisi Reforma Agraria Independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan petani.
*Penutup*
Jika reforma agraria hanya menjadi jargon, dan negara abai atas dominasi kapital dalam penguasaan tanah, maka Asta Cita akan tinggal sebagai dokumen politis yang kosong makna. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tapi ruang hidup, identitas, dan hak dasar rakyat. Pemerintah Prabowo harus segera memilih: berpihak pada rakyat atau tunduk pada oligarki properti.
Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Pertanian DPW SPI Sumut Dari Tahun 2009 -2014
_______
Daftar Pustaka
1. Komnas HAM RI.
Rekomendasi Penanganan Sengketa Agraria di Sumatera Utara. 2022.
– Menyoroti konflik agraria eks-HGU PTPN II dan mendorong negara mengedepankan prinsip keadilan dan hak atas tanah warga.
2. KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). (2023). Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria di Persimpangan
3. BPN Sumut. (2023). Data Status Lahan Eks HGU PTPN II di Sumut
4. Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings
5. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks
6. Lubis, A.P. Parlindungan. (1998). Tanah dan Keadilan Sosial: Catatan Kritis Hukum Agraria Nasional. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 28, No. 2.
– Dalam jurnal ini, beliau menulis: “Redistribusi tanah adalah jantung dari keadilan sosial. Tanah negara bebas adalah warisan publik, bukan objek jual-beli negara.”
7. Lubis, A.P. Parlindungan.
“Tanah sebagai Hak Sosial: Menolak Komersialisasi Tanah Negara Bebas.”
Jurnal Hukum USU, Vol. 27 No. 1, 2001.
– “Tanah negara bebas bukan barang dagangan, tetapi hak rakyat untuk hidup layak dan berdaulat atas ruang hidupnya.” (kutipan dari abstrak).
8. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA)
Pasal 2 ayat (3): Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
– Pasal 14: Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan redistribusi tanah sebagai amanat keadilan agraria.
Posting Komentar
0Komentar