"Asta Cita Prabowo: Kejaksaan Agung Ujung Tombak Pemberantasan Korupsi di Indonesia"

Media Barak Time.com
By -
0


Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menjadi isu strategis dan moralitas publik yang menentukan masa depan demokrasi dan keadilan sosial. Di tengah upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045, reformasi penegakan hukum menjadi ujung tombak dari perubahan struktural yang dijanjikan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Salah satu pilar utama dari Asta Cita, yakni memperkuat reformasi hukum dan pemberantasan korupsi, tidak hanya menjadi komitmen politis, tetapi menjadi kebutuhan mendesak mengingat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34 pada tahun 2024, dan peringkatnya turun dari 100 ke 115 menurut Transparency International Indonesia. Fakta ini memperlihatkan kegagalan kolektif dalam membangun sistem integritas yang menyeluruh di birokrasi maupun lembaga hukum.


Dalam konteks inilah, Kejaksaan Agung memainkan peran sentral sebagai institusi negara yang tidak hanya menindak tetapi juga mencegah korupsi melalui pendekatan hukum progresif dan berbasis akuntabilitas publik. Di bawah kepemimpinan ST Burhanuddin, Kejaksaan menunjukkan keseriusan dalam menangani mega skandal seperti ASABRI dan JIWASRAYA, serta korupsi pada sektor strategis seperti CPO dan impor pangan. Ini mencerminkan upaya sistematis untuk tidak sekadar menghukum individu, tetapi juga memulihkan kerugian negara. Namun, pemberantasan korupsi tidak bisa bersandar pada pendekatan represif semata; perlu transformasi kultural dan reformasi kelembagaan yang berpihak pada kepastian hukum dan keadilan substantif.


Teori hukum pidana modern sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Barda Nawawi Arief menekankan pentingnya aspek preventif dan edukatif dalam kebijakan penal. Ini selaras dengan pendekatan restorative justice yang dikembangkan oleh Kejaksaan Agung dalam beberapa kasus tindak pidana umum, yang secara konseptual dapat diadopsi untuk mendorong penguatan nilai integritas dalam birokrasi. Prof. Harkristuti Harkrisnowo pun menyoroti bahwa reformasi hukum tidak akan bermakna tanpa independensi dan integritas aparat penegak hukum, serta adanya evaluasi terhadap ketimpangan struktural dalam sistem peradilan pidana.


Dengan demikian, menjadikan Kejaksaan Agung sebagai ujung tombak dalam pemberantasan korupsi memerlukan dukungan penuh dari eleman tokoh masyarakat ,seluruh elemen pemerintahan, termasuk komitmen kepala daerah yang sering menjadi simpul awal terjadinya korupsi anggaran. Visi Asta Cita bukan hanya slogan kampanye, tetapi harus dimaknai sebagai peta jalan perubahan. Tanpa penataan ulang struktur kekuasaan yang berpihak pada transparansi dan akuntabilitas, maka visi Indonesia tanpa korupsi akan tetap menjadi utopia belaka.


Korupsi: Musuh Pembangunan


Sejak reformasi, korupsi tidak hanya menjadi musuh hukum, tetapi juga musuh pembangunan. Data Transparency International (2024) menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34, dengan posisi turun dari peringkat 100 ke 115 dari 180 negara. Presiden sendiri mengakui adanya kebocoran anggaran hingga 30%, terutama di sektor belanja negara dan penerimaan pajak.


Kondisi ini menunjukkan bahwa penindakan represif semata tidak cukup. Diperlukan pendekatan hukum yang komprehensif—pencegahan, penindakan, serta pemulihan aset. Dalam konteks ini, Asta Cita sebagai visi pemerintahan Prabowo-Gibran memberikan kerangka arah: memperkuat reformasi hukum dan pemberantasan korupsi.


Peran Kejaksaan dalam Kerangka Asta Cita


Asta Cita ke-4, yaitu "Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi yang bebas korupsi dan bermartabat," memberi ruang luas bagi institusi kejaksaan. Kejaksaan Agung, dengan mandat penegakan hukum yang independen, memiliki dua kekuatan utama:

1. Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai ujung tombak dalam proses pidana.

2. Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang berperan dalam pendampingan dan pemulihan kerugian negara.


Dalam Rakornas 2024, ST Burhanuddin menyebut komitmen Kejaksaan untuk menangani kasus besar seperti korupsi CPO, impor garam dan gula, serta mega skandal ASABRI dan JIWASRAYA. Di sisi lain, pendekatan baru berbasis asset recovery kini menjadi prioritas. Hal ini menunjukkan arah baru Kejaksaan sebagai bukan hanya "penjerat pelaku", tapi juga "penyembuh luka fiskal negara".


Tinjauan Kritis dan Pandangan Ahli


Dalam penanganan pemberantasan korupsi di Indonesia perlu kira pandang kritis dari para ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana. Adapun pandangan para ahli hukum adalah sebagai berikut :

Prof. Barda Nawawi Arief, guru besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, menekankan bahwa “pemberantasan korupsi harus ditempatkan dalam kerangka integrasi antara penal policy dan non-penal policy. Tidak bisa bertumpu hanya pada pidana penjara, tetapi pada upaya sistemik membangun etika publik.”


Prof. Muladi (alm.), mantan Menteri Kehakiman, juga menegaskan perlunya restorative justice dalam penanganan kejahatan negara: “Bukan sekadar menghukum, tapi juga memulihkan.” Dalam konteks ini, perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture) menjadi solusi progresif.


Sementara itu, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana dan HAM, mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi tanpa due process of law hanya akan melahirkan ketakutan, bukan keadilan. Kejaksaan sebagai alat negara harus menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi.


Problem Struktural: Tantangan Kejaksaan


Namun, tantangan kejaksaan tidak sedikit. Beberapa masalah krusial masih membayangi:

1. Intervensi politik: Kejaksaan masih kerap dihadapkan pada tekanan kekuasaan.

2. Ketimpangan penanganan: Kasus besar ditindak, namun banyak kasus korupsi di daerah tak tersentuh.

3. Kapasitas dan integritas SDM: Belum merata, terutama di tingkat Kejati dan Kejari.


Tanpa pembenahan institusional, peran Kejaksaan dalam Asta Cita hanya akan menjadi slogan tanpa substansi.


Penutup 


Arah Indonesia Emas 2045 tidak akan pernah terwujud jika korupsi terus membajak institusi negara. Dalam kerangka Asta Cita, Kejaksaan Agung adalah garda depan sekaligus benteng terakhir hukum. Tapi untuk menjadi benar-benar efektif, Kejaksaan perlu menjauh dari bayang-bayang kekuasaan, dan mendekat pada amanat rakyat dan konstitusi.


Sinergi antara etika publik, supremasi hukum, dan keberanian moral harus menjadi nyawa Kejaksaan. Tanpa itu, kita hanya membangun istana hukum di atas pasir kepalsuan.


Demikian


Penulis Ketua Forum Penyelamat USU, Asisten Sekjend Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI)  Periode 1995-1998 dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

---


Daftar Pustaka:


1. Transparency International Indonesia. (2024). Laporan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.


2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.


3. Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran, 2024–2029.


4. Barda Nawawi Arief. (2007). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana.


5. Harkristuti Harkrisnowo. (2016). HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia.


6. Muladi. (2002). Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)