Asta Cita Prabowo: Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan


Pasca-Reformasi 1998, Indonesia berhasil membangun kerangka demokrasi politik yang relatif mapan. Pemilihan umum langsung, kebebasan pers, dan partisipasi sipil menjadi indikator penting dari kebangkitan masyarakat demokratis. Namun, seperti yang dikemukakan Fareed Zakaria dalam konsep illiberal democracy, tidak semua demokrasi yang prosedural menjamin kesejahteraan atau perlindungan hak ekonomi rakyat. Demokrasi Indonesia kerap berhenti pada euforia elektoral tanpa menyentuh akar ketimpangan struktural. Dalam konteks ini, gagasan tentang transformasi menuju demokrasi ekonomi menjadi urgensi baru dalam wacana pembangunan nasional.


Secara teoritik, demokrasi ekonomi dapat dipahami sebagai sistem yang menempatkan kendali atas alat-alat produksi di tangan rakyat secara kolektif atau terdesentralisasi. Konsep ini berasal dari pemikiran sosialisme demokratik hingga teori keadilan distributif ala John Rawls. Dalam konteks Indonesia, demokrasi ekonomi telah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Namun dalam praktiknya, selama lebih dari dua dekade reformasi, liberalisasi pasar dan dominasi oligarki ekonomi justru makin menguat, mengakibatkan ketimpangan yang semakin tajam.


Data menunjukkan bahwa hingga 2023, 1% kelompok terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional (Credit Suisse Global Wealth Report 2023). Ketimpangan lahan pun mencolok, di mana menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 57% lahan produktif dikuasai oleh korporasi besar, sementara petani gurem semakin terdesak. Dalam aspek kesejahteraan, rasio gini Indonesia stagnan di angka 0,38, menandakan distribusi pendapatan yang tidak merata. Ini menunjukkan bahwa demokrasi elektoral tidak otomatis menghadirkan pemerataan ekonomi.


Situasi ini diperparah oleh model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata (growth-oriented development), bukan keadilan sosial. Kritik dari Amartya Sen dan Joseph Stiglitz menyoroti bagaimana pertumbuhan tanpa pemerataan akan melanggengkan kemiskinan multidimensi. Di Indonesia, pertumbuhan PDB rata-rata 5% per tahun tidak mampu mengurangi angka pengangguran dan ketimpangan secara signifikan. Hal ini menjadi bukti bahwa demokrasi politik yang bebas dan terbuka tidak cukup untuk mewujudkan kesejahteraan jika tidak dibarengi dengan reformasi ekonomi yang radikal.


Dalam konteks inilah, Asta Cita yang diusung oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto menjadi relevan sebagai narasi tandingan terhadap dominasi oligarki ekonomi. Tiga dari sembilan butir Asta Cita secara eksplisit menyentuh gagasan demokrasi ekonomi: mewujudkan ekonomi kerakyatan, kedaulatan pangan dan energi, serta reforma agraria. Jika dijalankan secara konsisten, Asta Cita dapat menjadi blueprint baru untuk mengubah wajah demokrasi Indonesia dari sekadar prosedural menuju substansial—yang tidak hanya memberi rakyat hak memilih, tetapi juga hak hidup sejahtera.


Namun tantangan besar mengintai: bagaimana memastikan Asta Cita tidak berhenti pada slogan politik? Dalam logika Pierre Bourdieu, kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi kerap membentuk "habitus" yang melanggengkan status quo. Maka, agenda demokrasi ekonomi bukan hanya soal kebijakan teknokratis, tapi juga perjuangan melawan dominasi simbolik dan struktural dari elit. Inilah medan uji sesungguhnya bagi pemerintahan Prabowo: apakah mampu menggeser demokrasi dari ruang bilik suara menuju ruang dapur rakyat?


Mimpi Demokrasi yang Belum Tuntas


Demokrasi Indonesia pasca-Reformasi 1998 mengalami pasang surut. Kita telah menyaksikan bagaimana pemilihan langsung, kebebasan pers, dan partisipasi publik tumbuh pesat. Namun, demokrasi politik tidak serta merta menjamin kesejahteraan ekonomi. Sebuah jurang lebar menganga antara suara rakyat dan hak-hak ekonominya. Dalam konteks inilah, visi Asta Cita Prabowo Subianto menawarkan jembatan ideologis dan praktis dari demokrasi politik menuju demokrasi ekonomi.


Asta Cita: Visi Politik Yang Membumi


Asta Cita bukan sekadar sembilan program strategis, tetapi merupakan kerangka kerja pemerintahan yang menyentuh akar ketimpangan struktural. Tiga dari sembilan poin Asta Cita secara eksplisit menyinggung transformasi ekonomi:

1. Mewujudkan ekonomi yang berpihak pada rakyat.

2. Membangun kedaulatan pangan, energi dan air.

3. Meningkatkan kualitas hidup rakyat melalui reformasi agraria dan kesejahteraan petani.


Ini adalah fondasi dari demokrasi ekonomi: distribusi sumber daya secara adil, akses rakyat terhadap aset produksi, dan penguatan ekonomi kerakyatan.


Demokrasi Ekonomi: Gagasan Lama yang Terpinggirkan


Dalam UUD 1945 Pasal 33, demokrasi ekonomi sejatinya telah menjadi amanat konstitusional. Namun, liberalisasi pasar dan kebijakan ekonomi ekstraktif sejak era Orde Baru menggerus semangat itu. Hasilnya?


Ketimpangan ekonomi: Rasio gini masih stagnan di angka 0,38 (BPS 2024).


Penguasaan lahan: 1% elite menguasai lebih dari 59% tanah produktif (KPA, 2023).


Kedaulatan pangan: Indonesia masih impor beras, gula, dan kedelai dalam jumlah besar.


Demokrasi Ekonomi Menurut Bung Hatta


Di tengah pusaran arus liberalisme ekonomi global dan konsentrasi kekayaan nasional pada segelintir elite, nama Mohammad Hatta kembali menggema sebagai suara nurani ekonomi kerakyatan Indonesia. Bukan hanya karena ia proklamator dan wakil presiden pertama, melainkan karena gagasannya tentang demokrasi ekonomi telah menjadi fondasi konstitusional sekaligus kritik abadi terhadap ketimpangan struktural yang masih bercokol hingga kini.


Bung Hatta tidak melihat ekonomi sekadar sebagai mekanisme pasar atau pertumbuhan angka-angka statistik. Baginya, ekonomi adalah soal kemanusiaan, keadilan, dan martabat rakyat kecil. Dalam pemikiran Hatta, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanyalah kemerdekaan semu—ibarat rakyat diberi hak pilih, namun tetap terjajah secara ekonomi oleh segelintir pemilik modal dan kekuasaan. Oleh karena itu, ia menolak kapitalisme liberal yang menindas, dan menolak pula sosialisme otoriter yang mematikan inisiatif pribadi.


“Demokrasi ekonomi,” tulis Hatta, “tidak memberi tempat pada eksploitasi manusia atas manusia, atau penguasaan satu kelompok atas kelompok lain.” Ia mengusulkan sistem yang bertumpu pada koperasi, asas kekeluargaan, dan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting untuk hajat hidup orang banyak. Dalam semangat ini, ekonomi harus menjadi alat pembebasan, bukan perbudakan baru dalam wujud modern.


Kini, di tengah berbagai janji transformasi ekonomi oleh negara, proklamasi tentang “ekonomi untuk rakyat” harus kembali diuji: apakah ia hanya retorika politik atau benar-benar menjelma sebagai kebijakan sistemik yang melawan oligarki, memperkuat koperasi, dan menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan?


Menghidupkan kembali demokrasi ekonomi ala Bung Hatta bukanlah nostalgia romantik, melainkan panggilan untuk menyusun ulang arah pembangunan, mengoreksi arah ekonomi nasional, dan mengembalikannya ke rel konstitusional: Pasal 33 UUD 1945. Sebab seperti kata Bung Hatta, “...kemerdekaan politik tidak ada artinya jika kemiskinan tetap merajalela.”


Demokrasi Politik Indonesia: Cara Pandang Soekarno, Sutan Sjahrir, Dan Mohammad Natsir


Sejarah demokrasi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual tiga tokoh besar: Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Natsir. Mereka bukan sekadar pemimpin politik, tetapi juga pemikir yang meletakkan dasar ideologis bagi sistem demokrasi yang kita kenal hari ini. Namun, meskipun mereka sama-sama pejuang kemerdekaan, cara pandang mereka terhadap demokrasi memiliki nuansa yang sangat berbeda.


Soekarno, misalnya, memandang demokrasi sebagai alat perjuangan kolektif bangsa untuk membebaskan diri dari imperialisme. Demokrasi ala Soekarno bukan demokrasi liberal-parlementer seperti di Barat, melainkan demokrasi yang bersifat gotong royong dan integralistik. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Soekarno menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus berdasarkan musyawarah, bukan dominasi suara mayoritas. Ia mengkritik keras democracy of numbers yang hanya menguntungkan elite partai dan kaum kapitalis.

> "Demokrasi yang kita perlukan adalah demokrasi dengan pimpinan. Demokrasi terpimpin!" — Soekarno, 1959.


Soekarno kemudian mengusung konsep Demokrasi Terpimpin tahun 1959–1965, yang ia anggap lebih sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun sistem ini kemudian dikritik karena justru mengaburkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dan membuka jalan bagi kekuasaan otoriter. Dalam tinjauan teoritis, Soekarno bergerak dari demokrasi deliberatif ke arah populisme karismatik—sebagaimana dijelaskan oleh ilmuwan politik seperti Benedict Anderson dan Herbert Feith.


Berbeda dengan Soekarno, Sutan Sjahrir memiliki orientasi yang lebih liberal, sosialis demokratik (sosdem) dan parlementer. Sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia, Sjahrir menekankan pentingnya kebebasan individu, pemisahan kekuasaan, dan supremasi hukum. Dalam bukunya Perjuangan Kita, Sjahrir menolak nasionalisme massa yang buta dan menekankan pentingnya rasionalitas serta pendidikan politik rakyat. Baginya, demokrasi adalah alat untuk humanisasi politik, bukan sekadar mobilisasi massa.


> "Kita harus membangun masyarakat yang sadar dan rasional. Nasionalisme harus dibimbing oleh akal sehat." — Sutan Sjahrir, 1945.


Sjahrir mewakili wajah demokrasi Indonesia yang lebih berorientasi pada prinsip-prinsip liberalisme sosial-demokratik, mirip dengan tradisi Eropa Barat pasca Perang Dunia II. Namun idealisme Sjahrir tergerus oleh realitas politik: dukungan rakyat lebih berpihak pada tokoh-tokoh karismatik ketimbang rasionalis progresif.


Sementara itu, Mohammad Natsir, tokoh Masyumi dan cendekiawan Muslim terkemuka, menempatkan demokrasi dalam kerangka nilai-nilai Islam. Demokrasi, menurut Natsir, bukan bertentangan dengan Islam, melainkan sejalan dengan prinsip syura (musyawarah), keadilan, dan amanah. Ia menolak sekularisme total, tapi juga menolak teokrasi. Dalam pidatonya di Konstituante, Natsir menegaskan bahwa negara harus bersifat demokratis, tetapi berpijak pada moralitas agama.


> "Negara tidak boleh memusuhi agama, tapi juga tidak memaksakan agama tertentu. Demokrasi harus hidup dalam bimbingan akhlak." — Moh. Natsir, 1957.


Natsir mewakili demokrasi substantif berbasis etika Islam, dengan titik tekan pada keadilan sosial dan tanggung jawab moral. Ia menolak kekuasaan absolut, baik dari negara maupun dari kelompok mayoritas. Dalam studi keislaman kontemporer, pemikiran Natsir dekat dengan gagasan Islamic democracy seperti yang dikembangkan oleh Abdolkarim Soroush dan Khaled Abou El Fadl.


Tiga pandangan ini—Soekarno yang populis-nasionalis, Sjahrir yang liberal-sosdem-intelektual, danNatsir yang religius-agamis- moralistik—membentuk spektrum demokrasi Indonesia yang dinamis. Namun, dalam praktik politik pasca-Reformasi, demokrasi sering kali direduksi menjadi prosedur elektoral dan komoditas suara. Warisan pemikiran ketiga tokoh ini menawarkan koreksi moral dan intelektual atas demokrasi yang kian pragmatis dan elitis.


Dari Politik Elektoral ke Ekonomi Struktural


Prabowo sebagai presiden terpilih 2024 diharapkan tidak hanya melanjutkan proyek infrastruktur, tetapi juga mewujudkan redistribusi kekuasaan ekonomi kepada rakyat:


Reforma agraria Sejati sesuai UUPa No. 5 Tahun 1960 harus disegerakan, bukan hanya sertifikasi tanah, tapi redistribusi nyata.

1. BUMDes dan koperasi harus diperkuat sebagai soko guru ekonomi desa.

2. Pertanian Berbasis Keluarga Tani dan Berkelanjutan

3. Negara harus menjadi pelindung pasar rakyat dari dominasi korporasi global.


Militerisme vs Kerakyatan


Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan kembali Asta Cita sebagai kompas pembangunan nasional. Delapan cita-cita itu, dari mewujudkan pemerintahan bersih hingga memperkuat ekonomi berdikari, adalah janji politik yang menuntut realisasi konkret. Namun, dalam praktik awal pemerintahan, publik mulai mempertanyakan: akan dibawa ke mana Asta Cita ini—ke arah pendekatan militeristik yang sentralistik atau ke jalan kerakyatan yang partisipatif?


Kekhawatiran bukan tanpa alasan. Latar belakang Presiden sebagai tokoh militer senior menimbulkan persepsi akan pendekatan koersif, top-down, dan efisiensi yang mengabaikan aspirasi warga. Penunjukan figur-figur berlatar militer dalam sejumlah pos strategis kian mempertegas spekulasi tersebut.


Padahal, substansi Asta Cita sendiri bersifat kerakyatan. Ia menyebut keadilan sosial, penguatan desa, reformasi agraria, perlindungan buruh, hingga penguatan sistem hukum yang bebas korupsi. Semua itu adalah agenda rakyat, bukan agenda elite. Ia membutuhkan pendekatan yang partisipatoris, kolaboratif, dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat di lapisan bawah.


Kita memahami bahwa negara butuh stabilitas dan kepastian hukum. Namun, stabilitas tidak bisa ditegakkan dengan semata kekuatan komando. Kepercayaan publik tidak lahir dari ketegasan belaka, tetapi dari keterbukaan, akuntabilitas, dan keberpihakan yang nyata terhadap rakyat kecil.


Maka, jika Asta Cita hendak dimaknai sebagai kontrak moral kepada rakyat, maka cara menjalankannya pun harus mencerminkan nilai-nilai kerakyatan. Bukan melalui pendekatan militeristik yang membungkam kritik, melainkan melalui ruang partisipasi publik yang luas dan kebijakan yang berakar pada kebutuhan nyata masyarakat.


Kita tidak bisa membiarkan Asta Cita menjadi slogan yang kehilangan ruh. Ia harus dijaga agar tidak dibajak oleh kekuasaan yang hanya mengejar legitimasi politik jangka pendek. Rakyat Indonesia menanti, bukan hanya kepastian pembangunan, tetapi juga jaminan bahwa suara mereka didengar dan dihargai.


Di titik inilah, pemihakan pada pendekatan kerakyatan menjadi kunci. Ia bukan sekadar metode, tetapi prinsip etik dalam bernegara. Presiden Prabowo dihadapkan pada pilihan fundamental: menjalankan amanat Asta Cita sebagai alat pembebasan rakyat, atau menjadikannya sekadar dokumen politik yang indah di atas kertas, tetapi kaku dalam implementasi.


Sebagian kalangan skeptis bahwa latar belakang militer Prabowo identik dengan otoritarianisme. Namun Asta Cita menunjukkan pendekatan populis yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama pembangunan. Ini bukan sekadar retorika, tetapi uji konsistensi politik: apakah kekuasaan digunakan untuk menegakkan keadilan ekonomi atau hanya memperluas kekuasaan elit.


Ujian Sejati Demokrasi


Di tengah euforia demokrasi elektoral, ujian sejati demokrasi justru kerap terselubung dalam praktik sehari-hari kekuasaan. Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilu lima tahunan, melainkan kemampuan negara untuk menjamin keadilan sosial, supremasi hukum, dan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks Indonesia pascareformasi, meskipun pemilu berlangsung secara reguler dan relatif bebas, namun kualitas demokrasi substantif masih dipertanyakan. Laporan The Economist Intelligence Unit (2024) menempatkan Indonesia sebagai "flawed democracy" dengan skor 6,71, menandakan bahwa demokrasi masih rentan oleh praktik korupsi, dominasi oligarki, dan lemahnya institusi hukum.


Robert A. Dahl, dalam teori polyarchy-nya, menekankan pentingnya kompetisi politik yang adil dan akses rakyat terhadap informasi sebagai pilar demokrasi. Namun dalam praktiknya, demokrasi di Indonesia justru kerap mengalami “defisit deliberatif.” Diskursus kebijakan publik lebih didominasi elite politik, sementara rakyat hanya menjadi penonton dalam panggung retorika populis. Pemilu menjadi ajang transaksi politik, bukan adu gagasan. Ini selaras dengan temuan Burhanuddin Muhtadi (2023) bahwa politik uang masih menjadi instrumen utama dalam kontestasi politik lokal maupun nasional.


Ujian sejati demokrasi juga terletak pada perlindungan hak-hak sipil dan kebebasan berekspresi. Dalam beberapa tahun terakhir, Freedom House (2024) menurunkan skor kebebasan sipil Indonesia dari 61 menjadi 58 (dalam skala 100), antara lain karena meningkatnya pembungkaman kritik melalui UU ITE dan represi terhadap aktivisme sipil. Ini menunjukkan bahwa demokrasi yang sehat tidak cukup hanya dengan prosedur elektoral, tapi juga perlindungan ruang sipil yang bebas. Demokrasi tanpa kebebasan berbicara ibarat kendaraan tanpa kemudi.


Secara ekonomi, demokrasi diuji melalui kemampuannya menanggulangi ketimpangan. Muhammad Hatta menekankan bahwa demokrasi politik harus berjalan beriringan dengan demokrasi ekonomi agar tidak melahirkan feodalisme baru. Data BPS menunjukkan indeks gini Indonesia stagnan di angka 0,384 pada 2024, menandakan ketimpangan distribusi kekayaan masih tinggi. Oligarki ekonomi-politik yang disebut oleh Jeffrey Winters dalam Oligarchy (2011) telah menciptakan kelas penguasa yang tak terjamah hukum dan kebijakan.


Dengan demikian, ujian sejati demokrasi Indonesia tidak hanya terjadi di bilik suara, tetapi juga dalam praktik keseharian: dalam keadilan hukum, distribusi ekonomi, hingga kebebasan berpikir. Demokrasi harus menjadi alat untuk membebaskan, bukan membungkam. Sebab pada akhirnya, demokrasi sejati bukan yang dirayakan saat pemilu, tapi yang dirasakan setiap hari oleh rakyat dalam bentuk keadilan, partisipasi, dan kesejahteraan.


Penutup


Demokrasi politik tanpa transformasi ekonomi hanya akan menjadi etalase kosong. Asta Cita memberi harapan, tetapi juga tantangan: mewujudkan kedaulatan rakyat bukan hanya di bilik suara, tapi juga di sawah, pasar, dan rumah tangga rakyat kecil. Inilah saatnya demokrasi Indonesia naik kelas — dari prosedural menjadi substansial, dari simbolik menjadi struktural.


Demikian


Penulis Pendiri Partai Gerindra Sumut 

________

Refrensi 


1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1)–(4) tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.


2. Zakaria, F. (2003). The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad. W. W. Norton & Company.

– Konsep demokrasi prosedural yang tidak selalu liberal dalam praktik sosial-ekonomi.


3. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.

– Teori keadilan distributif sebagai basis konseptual demokrasi ekonomi.


4. Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.

– Gagasan tentang habitus, dominasi simbolik, dan struktur kekuasaan sosial.


5. Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.

– Pembangunan berbasis kebebasan substantif, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi.


6. Stiglitz, J. (2012). The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future. W. W. Norton & Company.

– Kritik terhadap ketimpangan akibat kapitalisme pasar bebas.


7. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2023). Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria dan Konflik Agraria.

– Data penguasaan lahan oleh korporasi dan konflik agraria.


8. Credit Suisse. (2023). Global Wealth Report 2023.

– Data distribusi kekayaan di Indonesia dan dunia.


9. Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita. Jakarta: Tintamas, 1960.


10. Hatta, Mohammad. Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosialis. Jakarta: LP3ES, 1980.


11. Hatta, Mohammad. Membangun Koperasi dan Ekonomi Rakyat. Jakarta: Penerbit UI Press, 1995.


12. Hatta, Mohammad. Memoir. Jakarta: LP3ES


13. Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.


14. Deliar Noer. Mohammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, 1990.


15. Soetrisno, Loekman. "Demokrasi Ekonomi Menurut Bung Hatta." Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Vol. 12, No. 2 (2004): 45–58.


16. Anwar, Rosihan. Mohammad Hatta: Biografi Lengkap. Jakarta: Kompas, 2002.


17. Yunus, M. Yakub. "Demokrasi Ekonomi dan Keadilan Sosial: Telaah Kritis atas Gagasan Hatta." Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,


18. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit DBR, 1964.


19. Soekarno. Pidato 1 Juni 1945 (Lahirnya Pancasila). BPUPKI Archives.


20. Herbert Feith. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1962.


21. Benedict Anderson. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press, 1990.


22. Sutan Sjahrir. Perjuangan Kita. Jakarta: Pustaka Rakyat, 1945.


23.Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. Cornell Southeast Asia Program, 1994.


24. Mohammad Natsir. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1954.


25. Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional (1945–1965). Jakarta: Grafiti Pers, 1987.


26. Azyumardi Azra. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000.


27. Fachry Ali & Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam. Jakarta: Mizan, 1986


28. Robert A. Dahl. On Democracy. Yale University Press, 1998.


29. Samuel Huntington. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. University of Oklahoma Press, 1991.


30. Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011.


31. Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.


32. Muhtadi, B. (2019). Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery. Springer.


33. Hadiz, V. R. (2017). Oligarki dan Populisme di Indonesia: Politik dalam Transisi. Yogyakarta: INSIST Press.


34.  Program Asta Cita Prabowo–Gibran (2023). Visi, Misi, dan Program Kerja 2024–2029.


35. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Indeks Rasio Gini Indonesia 2014–2023.

– Data resmi ketimpangan pendapatan Indonesia.


36. SPI, Reforma Agraria Sejati Sesuai UUPA No. 5 Tahun 1960, Serikat Petani Indonesia - SPI

https://spi.or.id


37. Kompas. (2024). Prabowo Siapkan Kabinet Berbasis Efisiensi dan Stabilitas. kompas.id

> Laporan mengenai kecenderungan penunjukan pejabat berlatar militer dalam kabinet.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)