Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
Konflik tanah di kawasan Helvetia–Sampali bukan sekadar peristiwa lokal, melainkan gejala dari dosa agraria struktural yang telah lama mengakar dalam tubuh negara Indonesia. Tanah yang seharusnya menjadi ruang hidup rakyat berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan, direbut, dan dilegalkan untuk kepentingan segelintir elite. Dalam teori structural violence (Galtung, 1969), kekerasan tidak selalu hadir dalam bentuk fisik; ia bisa membunuh pelan-pelan melalui sistem hukum yang timpang dan penguasaan sumber daya yang tidak adil.
Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia adalah warisan kolonial yang diwarisi tanpa reformasi berarti oleh rezim-rezim pasca-kemerdekaan. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 hadir sebagai koreksi terhadap warisan hukum kolonial yang menempatkan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Namun ironisnya, enam dekade kemudian, semangat UUPA seolah tenggelam dalam praktik neoliberalisme tanah: di mana legalitas lebih penting dari legitimasi, dan rakyat yang bertani selama puluhan tahun bisa disebut “penggarap ilegal” hanya karena tak memiliki sertifikat.
Kasus Helvetia–Sampali menjadi cermin keretakan antara janji konstitusi dan praktik pemerintahan. Di sinilah Asta Cita Prabowo Subianto diuji: apakah delapan program prioritas itu akan menjelma menjadi agenda kerakyatan yang sejati, atau hanya menjadi jargon kampanye yang menguap saat berhadapan dengan kepentingan oligarki tanah.
Sengkarut Agraria di Jantung Sumatera Utara
Kasus sengketa tanah di wilayah Helvetia–Sampali, Deli Serdang dan Medan, merupakan cerminan laten dari problem klasik agraria yang belum selesai sejak Indonesia merdeka. Tanah yang menjadi ruang hidup, ladang produksi, dan simbol eksistensi rakyat, justru kerap menjadi medan konflik kepentingan antara negara, korporasi, dan warga. Skema penguasaan tanah eks-HGU (Hak Guna Usaha) PTPN II di kawasan ini menjadi bukti bahwa reforma agraria bukan hanya soal redistribusi, tetapi soal keadilan struktural dan keberpihakan pada rakyat.
Asta Cita dan Janji Prabowo
Presiden Prabowo Subianto, melalui Asta Cita—delapan program prioritas nasional—menempatkan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai agenda utama. Pada poin keempat, yakni “Membangun ekonomi kerakyatan yang berpihak kepada petani, buruh, nelayan, dan pelaku UMKM,” termuat tekad politik untuk membalik relasi kuasa atas tanah agar tidak hanya dimonopoli korporasi atau elite pemodal.
Namun, kasus Helvetia–Sampali justru memperlihatkan jarak antara retorika dan realita. Ribuan warga yang menempati lahan eks-HGU sejak puluhan tahun silam, kini menghadapi penggusuran oleh pihak swasta yang mengklaim legalitas formal melalui sertifikat dari BPN—yang patut dipertanyakan keabsahannya karena terbit di atas tanah yang berstatus sengketa dan belum ada proses redistribusi yang tuntas secara hukum agraria.
UUPA No. 5 Tahun 1960 dan Watak Hukum Agraria Nasional
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 adalah produk hukum progresif yang berpijak pada pasal 33 UUD 1945, menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 2 ayat (1), negara berwenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan pemilikan tanah. Namun wewenang ini bukan tanpa batas; negara adalah regulator, bukan pemilik mutlak.
Pasal 7 UUPA menegaskan larangan penguasaan tanah secara berlebihan oleh perseorangan atau badan hukum. Maka, ketika eks-HGU ratusan hektare justru jatuh ke tangan swasta atau mafia tanah melalui proses “sertifikasi kilat,” negara tampak absen sebagai pelindung hak rakyat. Padahal, dalam perspektif UUPA, tanah yang telah habis masa HGU-nya harus dikembalikan kepada negara dan diprioritaskan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk diperjualbelikan di pasar properti.
Pemikiran Prof. A.P. Parlindungan Lubis, SH: Tanah sebagai Hak Hidup
Almarhum Prof. A.P. Parlindungan Lubis, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Sumatera Utara, pernah menegaskan dalam berbagai forum bahwa “tanah bukan semata benda ekonomi, tetapi hak hidup manusia.” Dalam pandangan beliau, legalitas agraria tidak boleh tercerabut dari legitimasi sosial. Ia juga sangat kritis terhadap praktik-praktik kapitalisasi tanah oleh korporasi atau aparat yang menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam pidato akademiknya tahun 1997 di USU, Parlindungan Lubis menyatakan:
> “Jika negara hanya menjadi notaris bagi para pemodal, dan mengabaikan hak hidup rakyat atas tanah yang mereka kelola sejak lama, maka negara sedang menggali kuburnya sendiri.”
Pandangan ini relevan dalam konteks Helvetia–Sampali: ketika warga yang telah menduduki lahan selama 20–30 tahun dianggap sebagai “penghuni ilegal,” padahal sejarah tanah itu menunjukkan pemanfaatan oleh rakyat jauh sebelum masuk dalam skema HGU PTPN II. Seharusnya, rakyat mendapat prioritas dalam proses redistribusi tanah tersebut sesuai dengan semangat land reform yang diperjuangkan UUPA.
Data dan Fakta: Tanah Rakyat vs Oligarki Agraria
Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari sekitar 4,8 juta hektare tanah yang direncanakan untuk reforma agraria, baru sekitar 1,2 juta hektare yang berhasil didistribusikan kepada rakyat hingga 2024. Di Sumatera Utara sendiri, konflik agraria terus meningkat, terutama di bekas areal HGU milik PTPN II yang kini menjadi target spekulasi properti. Kasus Helvetia–Sampali menjadi epicentrum dari pola yang lebih luas: pengusiran rakyat oleh kekuatan modal dengan restu negara.
Ironisnya, dalam beberapa laporan investigasi, ditemukan bahwa oknum aparat dan institusi negara kerap terlibat sebagai fasilitator konflik, bukan sebagai penengah atau pelindung rakyat.
Jalan Pulang ke Asta Cita
Jika Presiden Prabowo ingin menjadikan Asta Cita sebagai pijakan etis dan politik pemerintahannya, maka kasus seperti Helvetia–Sampali harus menjadi test case keberpihakan. Reforma agraria bukan hanya slogan kampanye, melainkan keberanian negara untuk berdiri di barisan rakyat.
Sebagaimana ditegaskan Prof. A.P. Parlindungan Lubis, tanah adalah martabat bangsa. Ketika tanah rakyat diambil paksa oleh kekuatan modal, maka negara telah kehilangan ruh keadilannya. Inilah saatnya Asta Cita diuji dalam realitas, bukan sekadar di baca dalam brosur kampanye.
Penutup
Dalam pandangan filsuf politik John Rawls, keadilan sosial hanya mungkin terwujud jika struktur dasar masyarakat dirancang untuk memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi kelompok yang paling rentan. Dalam konteks Indonesia, rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya pada sebidang tanah semestinya menjadi prioritas dalam setiap kebijakan agraria. Namun yang terjadi justru sebaliknya: rakyat digusur, tanah dikapling, dan negara hadir sebagai notaris kepentingan modal, bukan pelindung keadilan sosial.
Kasus tanah Helvetia–Sampali bukan sekadar soal sengketa, tapi tentang arah moral kekuasaan. Apakah negara akan tunduk pada hukum keadilan sosial seperti diamanatkan UUPA 1960 dan semangat Pasal 33 UUD 1945, atau tetap menjadi instrumen bagi akumulasi kapital dan privatisasi ruang hidup?
Prof. A.P. Parlindungan Lubis mengajarkan bahwa tanah adalah hak hidup rakyat, bukan sekadar aset ekonomi. Gagasan ini sejalan dengan Asta Cita Prabowo, tetapi implementasinya akan menentukan: apakah pemerintah benar-benar menjalankan mandat reformasi agraria, atau justru terjebak dalam siklus impunitas agraria yang terus-menerus melukai rakyat.
Sejarah kelak akan mencatat: apakah Helvetia–Sampali menjadi titik balik keadilan agraria, atau justru menjadi batu nisan bagi cita-cita keadilan tanah air.
Demikian
Penulis Pendiri Partai Gerindra Sumut
---
Daftar Pustaka:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3):
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
3. Prabowo Subianto, Asta Cita: Delapan Program Prioritas, DPP Partai Gerindra, 2023.
4. Parlindungan Lubis, A.P. (1997). Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Agraria, Fakultas Hukum USU.
5, Rachman, Noer Fauzi. (2011). Redistribusi Tanah dan Reforma Agraria: Konsep dan Implementasi. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Panduan konseptual dan advokasi pelaksanaan reforma agraria sejati.
6. Rawls, John. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press.
Menjadi rujukan untuk konsep justice as fairness, yaitu keberpihakan terhadap kelompok yang paling lemah dalam masyarakat.
7. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2023). Catatan Akhir Tahun: Potret Ketimpangan dan Konflik Agraria Nasional.
Sumber data terkini terkait konflik agraria di Indonesia, termasuk Sumatera Utara.
8. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Catatan Akhir Tahun Reforma Agraria, 2024.
9. Komnas HAM, Laporan Tematik Konflik Agraria di Sumatera Utara, 2023.
10. Harsono, Boedi (2005). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Posting Komentar
0Komentar