"Akte Konsesi Pra-Kemerdekaan dan Urgensi Penguasaan Negara Aktif atas Lahan Eks PTPN di Sumatera Utara"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


> “Tanah untuk rakyat” bukan sekadar slogan, tetapi panggilan konstitusional yang tertunda.


Hingga hari ini, ribuan hektare lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara) di Sumatera Utara menyimpan ironi: dikuasai swasta, dijadikan alat spekulasi, bahkan menjadi sumber konflik agraria berkepanjangan. Padahal, secara yuridis-historis, tanah-tanah tersebut bersumber dari akte konsesi pra-kemerdekaan, warisan kolonial Hindia Belanda yang sudah seharusnya gugur secara hukum dan konstitusi.


Warisan Kolonial di Atas Tanah Merdeka


Akte konsesi yang diberikan Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 umumnya mengizinkan penguasaan lahan untuk kepentingan perusahaan asing seperti Deli Maatschappij, Senembah Maatschappij, dan lainnya. Akta-akta ini bahkan diterbitkan sebelum Indonesia merdeka, tanpa pertimbangan terhadap hak-hak adat atau struktur agraria lokal.


Namun, setelah kemerdekaan, penguasaan lahan tersebut dilanjutkan oleh negara melalui nasionalisasi (UU No. 86 Tahun 1958), lalu diserahkan ke PTPN. Ironisnya, alih-alih dikembalikan kepada negara dan rakyat setelah HGUnya habis, sebagian besar lahan ini tetap dikuasai atau dipindahtangankan ke pihak ketiga melalui mekanisme yang sering kali tidak transparan.


Fakta Lapangan: HGU Habis, Konflik Meningkat


Menurut data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), dari 2,7 juta hektare konflik agraria nasional pada 2024, sebagian besar terjadi di Sumatera Utara, dan mayoritas menyangkut lahan eks HGU PTPN. Di Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, hingga Labuhanbatu, ratusan kelompok tani dan masyarakat adat berjuang mendapatkan kembali tanah-tanah yang secara de jure sudah tidak memiliki status hukum HGU.


Bahkan Ombudsman RI mencatat bahwa banyak HGU yang telah habis masa berlakunya sejak 2015, namun belum juga dikembalikan ke negara untuk diredistribusi. Sebagian justru dikuasai oleh korporasi besar melalui kemitraan gelap dan praktik mafia tanah.


Konstitusi dan Urgensi Tindakan Negara


Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Prinsip ini ditegaskan dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan negara adalah regulator dan pengatur bukan pemilik absolut.


Dalam konteks tanah eks PTPN, maka negara memiliki kewajiban konstitusional untuk mengambilalih secara aktif lahan-lahan bekas konsesi tersebut, melakukan audit legalitas, dan melakukan redistribusi kepada masyarakat, terutama petani dan komunitas adat yang telah lama termarginalisasi.


Perspektif Teoritis: Teori Penguasaan Negara


Mengacu pada teori 'Social Function of Property' dari Leon Duguit ahli hukum publik asal Francis, memperjelas tanah bukan sekadar objek ekonomi, tetapi sarana keadilan sosial. Negara, dalam hal ini, bukan hanya penguasaan atas tanah, tetapi pengatur distribusi dan akses secara adil. Sementara dalam pendekatan Right-Based Development, akses atas tanah adalah hak dasar manusia untuk hidup layak, bukan sekadar komoditas investasi.


Selanjutnya, Duguit menegaskan hak-hak kepemilikan atas tanah, modal, atau properti apa pun hanya sah secara hukum jika digunakan untuk memenuhi kepentingan sosial dan kesejahteraan umum. Jika tidak, negara berhak mengambil alih atau membatasi hak milik dan hak-hak lainnya atas tanah tersebut demi kepentingan kolektif.


Penguasaan Negara Aktif terhadap Tanah Eks PTPN di Sumatera Utara


Masifnya konflik agraria di Sumatera Utara dalam beberapa dekade terakhir bukan hanya soal perebutan ruang hidup antara rakyat dan korporasi, melainkan cermin dari absennya negara dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai pengelola utama sumber daya agraria. Tanah-tanah eks PTPN, yang semestinya kembali kepada negara setelah masa Hak Guna Usaha (HGU) berakhir, justru menjadi ladang spekulasi dan perebutan kepentingan. Ketiadaan tindakan tegas dari negara menjadi celah bagi kekuatan ekonomi besar untuk terus menguasai lahan secara ilegal maupun semi-legal.


Secara teoritis, menurut state ownership theory, tanah-tanah strategis semacam ini merupakan bagian dari ranah publik (res publica) yang pengelolaannya tidak bisa diserahkan semata-mata kepada mekanisme pasar. Teori ini juga diperkuat oleh prinsip public trust doctrine, di mana negara memegang amanah untuk mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat. Ketika tanah-tanah eks HGU yang telah habis masa pakainya tidak dikembalikan ke negara atau rakyat, negara gagal menjalankan prinsip fiduciary tersebut.


Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sekitar 62% konflik agraria nasional pada 2024 terjadi di lahan-lahan eks PTPN, terutama di Sumatera Utara. Konflik ini bukan hanya soal hukum agraria, tetapi juga menyangkut hak sosial-ekonomi rakyat atas tanah. Di tengah absennya akses tanah bagi petani kecil dan masyarakat urban miskin, negara justru membiarkan tanah-tanah tidur tersebut tetap dikuasai oleh elit tertentu. Fenomena ini memperkuat gagasan agrarian oligarchy seperti yang dikemukakan oleh akademisi seperti Jeffrey Winters.


Dalam perspektif hukum, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa hak atas tanah tidak bersifat absolut dan harus mengandung fungsi sosial. Ketika masa HGU berakhir dan tanah tersebut tidak digunakan sesuai peruntukan, maka negara wajib menarik kembali hak tersebut dan mengalihkannya untuk kepentingan rakyat. Penundaan pengambilalihan hanya memperpanjang ketimpangan agraria dan memperkuat status quo kolonial dalam wajah baru.


Penguasaan negara secara aktif atas tanah eks PTPN di Sumatera Utara bukan sekadar kebijakan, melainkan mandat konstitusional. Ia harus dimulai dari audit legal menyeluruh, penghentian praktik perpanjangan HGU secara serampangan, serta penerapan prinsip keadilan agraria yang progresif. Negara tidak boleh lagi menjadi penonton dalam konflik agraria; sudah saatnya menjadi aktor utama dalam menata ulang struktur penguasaan tanah secara adil dan berkeadilan sosial.


Begitupun salah satu aspek fundamental yang sering dilupakan dalam wacana penguasaan tanah eks PTPN adalah keberadaan akte-akte konsesi perkebunan yang diterbitkan sebelum Indonesia merdeka. Menurut Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH, pakar hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara, seluruh akte konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada perusahaan-perusahaan perkebunan pada masa pra-kemerdekaan secara otomatis kehilangan legitimasi hukum publiknya setelah Indonesia merdeka. Hal ini sejalan dengan asas nemo dat quod non habet—bahwa kekuasaan kolonial tidak dapat memberi hak yang mengikat pasca-merdeka kepada entitas mana pun di luar kerangka konstitusi negara Indonesia.


Parlindungan Lubis menekankan bahwa akte-akte konsesi tersebut tidak dapat diakui sebagai dasar hukum kepemilikan tanah di era kemerdekaan, karena tidak melewati proses legalisasi ulang dalam sistem hukum agraria nasional yang berlandaskan UUPA 1960. Oleh karena itu, penguasaan tanah oleh perusahaan negara seperti PTPN yang masih merujuk pada akta kolonial tanpa penyesuaian terhadap hukum nasional merupakan bentuk kekosongan hukum yang harus segera diselesaikan oleh negara melalui pengambilalihan aktif. Dalam perspektif beliau, membiarkan akte kolonial menjadi dasar penguasaan tanah adalah bentuk subordinasi hukum nasional terhadap warisan kolonial, dan ini merupakan ancaman langsung terhadap kedaulatan negara atas tanah.


Lebih jauh, Prof. Parlindungan menyatakan bahwa penguasaan negara atas tanah-tanah eks konsesi kolonial bukan hanya persoalan hukum administrasi agraria, tetapi menyangkut martabat dan kedaulatan nasional. Ia menyarankan agar negara melalui Kementerian ATR/BPN dan Kementerian BUMN segera melakukan verifikasi dan pencabutan hak-hak penguasaan tanah yang masih bersumber pada dasar hukum kolonial yang tidak sah pasca-merdeka.

Senada dengan Prof A.P. Parlindungan, dimana Prof. Boedi Harsono pakar hukum agraria juga menegaskan bahwa semua hak atas tanah yang bersumber dari hukum kolonial, termasuk hak erfpacht dan konsesi sebelum kemerdekaan, tidak lagi berlaku secara otomatis setelah berlakunya UUPA 1960, kecuali telah disesuaikan melalui proses konversi.

Dengan kata lain, pandangan ini menguatkan argumen bahwa penguasaan negara secara aktif terhadap tanah eks PTPN di Sumatera Utara adalah bukan sekadar kebijakan, melainkan kewajiban konstitusional dan simbol kedaulatan. Negara tidak bisa netral atau pasif dalam situasi ini. Ketiadaan tindakan justru dapat dibaca sebagai kelalaian dalam menunaikan amanah kemerdekaan dan keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian Prof. Budi menekankan bahwa negara berdaulat untuk mengambil kembali penguasaan atas tanah konsesi pra-kemerdekaan demi keadilan sosial dan reforma agraria, terutama terhadap tanah yang telantar atau dikuasai tanpa dasar hukum yang sah pasca-UUPA.


Solusi: Konsolidasi Agraria dan Legislasi Berani


Pemerintah pusat, melalui Kementerian ATR/BPN, sudah seharusnya memulai langkah inventarisasi nasional terhadap lahan eks PTPN. Perlu diterbitkan Perpres atau Instruksi Presiden yang mengikat lembaga negara untuk mengembalikan tanah-tanah kosong, tidur, dan yang habis masa HGU-nya kepada negara untuk kemudian didistribusikan dalam skema Reforma Agraria.


Selain itu, DPR RI wajib merevisi UU Perkebunan dan UU Pertanahan yang bertentangan dengan UUPA No.5 Tahun 1960 agar memberikan ruang lebih besar bagi keberpihakan terhadap petani, bukan memperpanjang napas oligarki tanah.


Penutup: Saatnya Negara Hadir


Lahan eks PTPN bukan sekadar tanah kosong. Ia adalah sejarah panjang penjajahan, perlawanan, dan harapan. Jika negara terus abai, maka kita sedang mengukuhkan satu hal: bahwa merdeka secara politik belum tentu merdeka secara agraria.


Sudah saatnya negara tidak hanya hadir secara administratif, tetapi hadir secara substantif: mengembalikan tanah kepada rakyat yang memang berhak atasnya. Karena dalam setiap jengkal tanah itu, ada hak hidup, ada keadilan, dan ada masa depan bangsa.


Demikian


Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Petani DPW SPI Sumut Dari Tahun 2009 - 2014

_________

Refrensi


1. Asshiddiqie, Jimly. (2006). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

(Menjelaskan pengaruh teori Léon Duguit dalam pembangunan konstitusi Indonesia, khususnya hak atas tanah.)


2. Lubis, A.P. Parlindungan. (1994). Hukum Agraria Nasional: Kajian Kritis terhadap UUPA 1960 dan Implementasinya. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(Menjelaskan status hukum akte konsesi pra-kemerdekaan dan pentingnya supremasi hukum nasional atas warisan kolonial.)


3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

(Merupakan dasar konstitusional bagi penguasaan negara atas tanah dan prinsip fungsi sosial tanah.)


4. Winters, Jeffrey A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

(Menjelaskan struktur kekuasaan ekonomi dalam penguasaan sumber daya, termasuk tanah, oleh elit.)


5. Sajogyo, Pudjiwati. (1980). Struktur Agraria dan Kemiskinan Pedesaan. Jakarta: LP3ES.

(Menjelaskan pentingnya redistribusi tanah sebagai upaya keadilan sosial.)


6. Gautama, Sudargo. (1992). Hukum Agraria Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

(Ulasan yuridis tentang hak-hak atas tanah, termasuk warisan hukum kolonial yang sudah tidak berlaku.)


7.  Harsono, Boedi. (2008). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.


8. Departemen Agraria/ATR-BPN. (2023). Peta dan Status Lahan Eks HGU di Sumatera Utara.

(Sumber data legal status tanah-tanah bekas PTPN dan peta penguasaan lahan terkini.)


9. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2024). Catatan Akhir Tahun: Konflik Agraria Struktural dan Oligarki Tanah.

(Menyajikan data konflik agraria di Sumatera Utara, khususnya yang terkait dengan tanah eks HGU/eks PTPN.)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)