Sumatera Menjerit: Ekosida Sistematis yang Menuntut Pengadilan Internasional.

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh : ADV. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH 


Banjir bandang, longsor, dan gelombang lumpur yang meluluhlantakkan Sumatera—dari Sumatera Barat, Sumatera Utara hingga Aceh—bukanlah “bencana alam” dalam pengertian klasik. Ia adalah kejahatan ekologis yang dapat dihitung jejak sebab-akibatnya. Menurut data BNPB per 7 Desember 2025, 916 jiwa meninggal, 274 hilang, dan 4.200 luka-luka. Ini bukan korban dari murka alam, tetapi korban dari keputusan politik dan ekonomi yang mengabaikan ekologi. WALHI mencatat 10,5 juta hektar hutan Indonesia telah rusak, sebuah angka yang mengkonfirmasi bahwa tragedi Sumatera adalah hasil dari ekosida sistematis. Namun pertanyaannya: ketika negara dan korporasi gagal bertanggung jawab, ke mana rakyat harus mencari keadilan? Di sinilah hukum pidana internasional mulai dipertimbangkan sebagai alat baru—mungkin satu-satunya—untuk menjerat para pelaku kejahatan ekologis berskala masif.


Dalam arsitektur hukum global, ekosida belum diakui sebagai kejahatan internasional setara genosida atau kejahatan perang. Statuta Roma —dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC)—tidak menyebutnya. Namun ruang-ruang kecil telah dibuka.


Pada 2016, Jaksa ICC menegaskan akan memprioritaskan kasus-kasus kerusakan lingkungan apabila terkait dengan kejahatan yang telah diatur, seperti perampasan tanah, pengusiran paksa, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Artinya, deforestasi masif yang menyebabkan banjir bandang dapat diteropong melalui “pintu belakang” hukum internasional, jika terdapat bukti bahwa keputusan korporasi atau pejabat negara dilakukan secara semena-mena dan dengan pengetahuan akan risiko besar terhadap kehidupan warga. Namun ini tetap jalan sempit: ICC hanya mengadili individu, bukan korporasi, dan bergantung pada kemauan politik negara untuk menyerahkan tersangka. Di negara yang elite politiknya terlibat dalam patronase ekonomi sumber daya alam, mekanisme ini hampir selalu tersendat.


Kegentingan ekologis dunia telah melahirkan dorongan untuk menambahkan ekosida sebagai kejahatan internasional kelima di bawah Statuta Roma—setara genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi.


Panel ahli internasional telah merumuskan definisi yang kini menjadi rujukan global: tindakan melanggar hukum atau semena-mena dengan pengetahuan bahwa terdapat kemungkinan besar terjadinya kerusakan lingkungan yang parah, meluas, atau jangka panjang.


Negara-negara kepulauan Pasifik seperti Vanuatu, Maladewa, Fiji, dan Samoa sudah mengajukan amandemen resmi ke ICC. Negara-negara ini memahami ancaman ekologis sebagai ancaman eksistensial: hilangnya hutan, naiknya permukaan laut, dan matinya ekosistem bukan sekadar kerugian ekonomi, tetapi persoalan kelangsungan hidup.


Jika amandemen ini disahkan, elit politik dan pemilik korporasi dapat diadili di Den Haag bila terbukti secara sadar membiarkan kehancuran ekologis yang mengancam keselamatan manusia.


Hukum lingkungan internasional saat ini menghadapi paradoks besar. Di satu sisi, jumlah regulasi meningkat sejak 1972; di sisi lain, penegakannya justru lemah. Negara sering bersembunyi di balik dalih kedaulatan untuk menghindari akuntabilitas. ICC tidak memiliki polisi internasional; lembaga ini hidup atau mati oleh kemauan negara.


Kasus-kasus seperti Costa Rica vs. Nikaragua di ICJ menunjukkan bahwa negara bisa dimintai kompensasi atas hilangnya “jasa ekologi”. Namun ICJ hanya menyelesaikan sengketa antarnegara—bukan menjerat pejabat atau pemilik modal yang membuat keputusan merusak lingkungan. Sementara itu, gugatan nasional—seperti kemenangan terhadap Royal Dutch Shell di Belanda—memperlihatkan bahwa pengadilan domestik dapat menjadi arena efektif. Tetapi ketika institusi nasional terkooptasi kepentingan ekonomi, rakyat membutuhkan jalur internasional yang lebih tegas dan mengikat.


Tragedi Sumatera memperlihatkan bahwa ekosida bukan konsep abstrak, tetapi realitas berdarah yang merenggut ribuan nyawa. Kerusakan 10,5 juta hektar hutan bukan sekadar statistik, tetapi akar dari bencana yang memaksa rakyat mengubur keluarga mereka, kehilangan rumah, dan hidup dalam trauma panjang.


Akhirnya, Jika hukum internasional gagal merespons kejahatan sebesar ini, maka keberadaan ICC dan sistem hukum global patut dipertanyakan ulang. Dunia membutuhkan pengadilan internasional yang mampu mengadili mereka yang memutuskan bahwa hutan dengan layas secara ugal-ugalan, hulu sungai boleh digunduli, bahwa izin tambang dapat diterbitkan tanpa AMDAL, bahwa keselamatan rakyat bisa dinegosiasikan demi keserahkan finansial.


Ekosida harus menjadi kejahatan internasional—dan Sumatera adalah bukti tragis mengapa dunia tidak boleh menunda lagi.


Demikian 


Penulis Adalah Praktisi Hukum, Pengiat Lingkungan Hidup dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)