Status Bencana Nasional Sumatera”: Nasionalisme Dinegasikan Humanisme.

Media Barak Time.com
By -
0

 



Penetapan status bencana nasional bukan sekadar prosedur administratif, melainkan pernyataan politik tentang bagaimana negara memaknai warganya. Di titik krisis, negara diuji bukan oleh kelengkapan regulasi, tetapi oleh keberanian moral untuk mengakui penderitaan sebagai urusan bersama. Ketika tragedi kemanusiaan di Sumatera—dengan korban jiwa yang terus bertambah, pengungsian massal, dan runtuhnya ruang hidup—tak kunjung ditetapkan sebagai bencana nasional, nasionalisme kehilangan makna etiknya dan berubah menjadi jargon kosong.

Dalam tradisi pemikiran politik modern, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi—salus populi suprema lex esto. Prinsip ini bukan hiasan pidato, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan. Negara hadir untuk melindungi, bukan menimbang-nimbang duka dengan kalkulator fiskal. Menunda status nasional berarti menunda pengakuan atas derita kolektif, dan pada saat yang sama, menunda tanggung jawab penuh negara.

Data berbicara lebih jujur daripada retorika. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyampaikan bahwa per 20 Desember 2025, jumlah korban meninggal dunia bertambah 19 jiwa—dari 1.071 menjadi 1.090 orang. Angka ini bukan statistik dingin; ia adalah nama, keluarga, dan masa depan yang terputus. Ketika negara ragu menyematkan status nasional, ia seolah merelatifkan nilai nyawa warganya.

Nasionalisme sejati tidak diukur dari seberapa lantang semboyan persatuan diulang, melainkan dari kapasitas negara hadir secara setara di hadapan krisis. Dalam perspektif politik kewargaan, warga di pusat dan pinggiran memiliki hak perlindungan yang sama. Penyangkalan status nasional menandakan relasi kuasa yang timpang: pusat memonopoli definisi darurat, sementara penderitaan di daerah dipersempit menjadi laporan berkala.

Di sinilah humanisme dinegasikan—bukan karena ketiadaan empati personal, melainkan karena logika kebijakan yang menormalisasi ketidakadilan sebagai harga stabilitas. Ketika status nasional ditahan, akses sumber daya, koordinasi lintas kementerian, dan mobilisasi solidaritas nasional ikut tersendat. Kebijakan yang tampak teknokratis sesungguhnya sarat nilai: siapa yang dianggap layak mendapat prioritas.

Pemikiran Hannah Arendt mengingatkan bahwa politik kehilangan martabatnya ketika berhenti merawat dunia bersama (common world). Bencana, sebagai peristiwa yang meruntuhkan dunia bersama itu, menuntut tindakan kolektif yang melampaui batas administratif. Negara yang menunda pengakuan justru mempercepat erosi kepercayaan publik—modal sosial yang paling mahal dalam demokrasi.

Michel Foucault mengajarkan bahwa kuasa bekerja melalui definisi dan klasifikasi. Menetapkan atau menolak status bencana nasional adalah praktik kuasa yang menentukan siapa yang terlihat dan siapa yang disenyapkan. Ketika definisi darurat dimonopoli, penderitaan diubah menjadi objek manajemen, bukan panggilan etis untuk bertindak.

Lebih jauh, keputusan ini mengirim pesan berbahaya: bahwa nyawa warga dapat ditawar oleh kalkulasi politik. Nasionalisme yang meminggirkan humanisme berubah menjadi simbol kosong, kehilangan legitimasi moralnya. Ia mungkin efisien di atas kertas, tetapi rapuh di hadapan nurani publik.

Dalam kerangka kontrak sosial, warga menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara dengan satu prasyarat utama: perlindungan. Ketika perlindungan itu bersyarat dan selektif, kontrak sosial retak. Rakyat tidak hanya menuntut bantuan, tetapi pengakuan—bahwa duka mereka adalah duka bangsa.

Menetapkan status bencana nasional bukan pemborosan, melainkan investasi etis. Ia membuka pintu solidaritas lintas daerah, mempercepat koordinasi, dan menegaskan bahwa negara tidak bersembunyi di balik prosedur. Keputusan ini juga memulihkan rasa keadilan: bahwa setiap nyawa memiliki bobot yang sama di mata kebijakan.

Negara yang besar bukanlah yang menunda pengakuan atas duka kolektif, melainkan yang berani mengafirmasi kemanusiaan sebagai fondasi kebijakan. Keberanian ini menuntut kepemimpinan yang memandang fiskal sebagai alat, bukan tujuan; citra sebagai konsekuensi, bukan orientasi.

Jika nasionalisme hendak diselamatkan dari kehampaan, ia harus berakar pada humanisme yang operasional—terukur dalam keputusan, bukan sekadar kata. Menetapkan status bencana nasional bagi Sumatera adalah ujian itu. Di hadapan 1.090 nyawa yang hilang, negara ditantang untuk memilih: menjadi pelindung yang hadir, atau penyangkal yang berjarak.


Demikian 


Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH. Praktisi Hukum

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)