Banjir bandang dan longsor yang menerjang Sumatera Utara pada akhir November 2025, sebagaimana ditegaskan Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut, bukanlah musibah alam yang jatuh dari langit, melainkan akumulasi kejahatan ekologi yang dibiarkan tumbuh sistematis di hulu—ketika hutan dikorbankan, tata ruang di langgar, dan daya dukung lingkungan di peras atas nama pembangunan; hujan hanya menjadi pemicu, sementara sebab sejatinya adalah kebijakan ekstraktif yang menutup mata pada risiko, hingga akhirnya yang runtuh bukan sekadar lereng bukit, tetapi ilusi bahwa eksploitasi bisa berjalan tanpa korban: Data PNPB hingga Rabu (10/12/2025) pukul 15.00 WIB mencatat 340 warga meninggal dunia, 128 orang hilang, 651 luka-luka, sekitar 11.200 rumah rusak di 18 wilayah, dan lebih dari 38 ribu orang mengungsi, dengan korban jiwa tertinggi di Tapanuli Tengah (110 orang), disusul Tapanuli Selatan (85), Kota Sibolga (53), Tapanuli Utara (36), dan Humbang Hasundutan (9); tragedi ini menegaskan satu kenyataan pahit: rakyat di hilir terus membayar harga paling mahal—kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan nyawa—atas keputusan ekonomi di hulu yang diambil tanpa tanggung jawab ekologis dan tanpa rasa keadilan sosial.
Menunjuk pada data WALHI Sumatera Utara mencatat sedikitnya delapan kabupaten/kota terdampak, dengan Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sebagai episentrum bencana. Sebanyak 51 Desa di 42 Kecamatan terendam, infrastruktur publik rusak, rumah ibadah dan sekolah lumpuh, serta aktivitas ekonomi rakyat terhenti. Skala kerusakan ini menegaskan bahwa bencana tersebut bukan insidental, melainkan bersifat struktural—hasil dari tata kelola sumber daya alam yang abai terhadap daya dukung lingkungan dan keselamatan manusia, pungkas Taufik.
Wilayah terdampak terparah berada di Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru, salah satu bentang hutan tropis terakhir yang tersisa di Sumatera Utara. Ekosistem ini berfungsi sebagai penyangga hidrologis utama Bukit Barisan, pengendali banjir, penahan erosi, sekaligus sumber air bagi wilayah hilir. WALHI Sumut mengidentifikasi alih fungsi hutan seluas 10.795,31 hektare yang dikaitkan dengan aktivitas tujuh perusahaan. Dengan asumsi kerja 500 pohon per hektare, luasan tersebut diperkirakan setara ±5,4 juta pohon yang hilang/tertebang akibat alih fungsi (10.795,31 ha × 500 = 5.397.655 pohon). Ketika kawasan ini dirusak, maka banjir dan longsor bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan, terang Taufik.
Secara administratif, Batang Toru terbentang di Tapanuli Utara (66,7 persen), Tapanuli Selatan (22,6 persen), dan Tapanuli Tengah (10,7 persen). Di kawasan inilah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) penting berada. Namun ironisnya, wilayah strategis ini justru dipenuhi izin tambang, energi, kehutanan, dan perkebunan skala besar yang secara kumulatif menggerus tutupan hutan dan mengganggu keseimbangan ekologis.
Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut menunjuk pada data WALHI Sumatera Utara mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pihak yang berkontribusi signifikan terhadap kerusakan ekosistem Batang Toru: PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy, PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari Tbk, PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate.
Selanjutnya hasil rekap WALHI Sumut, terkait alih fungsi tersebut mencakup PT Agincourt Resources 646,08 ha; PT NSHE ±330 ha; PT Sago ±300 ha; PT SOL ±125,23 ha; PT TPL (PKR) ±5.000 ha; PTPN III 4.372,02 ha; dan PLTMH Pahae Julu ±22,8 ha.Totalnya mencapai 10.795,31 ha dan mencerminkan akumulasi pembukaan/alih fungsi yang signifikan di lanskap Batang Toru.
Aktivitas mereka berada di atau sekitar kawasan hutan yang juga menjadi habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan spesies dilindungi lainnya.
Dalam perspektif hukum lingkungan internasional, kerusakan sistematis terhadap ekosistem yang berdampak luas pada manusia dan keanekaragaman hayati telah lama dikategorikan sebagai environmental crime. Prinsip polluter pays, precautionary principle, dan intergenerational equity yang diakui dalam Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992 menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan hak hidup generasi kini dan mendatang. Apa yang terjadi di Batang Toru jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut, ungkap Taufik.
Di tingkat nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mewajibkan negara mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pasal 69 secara tegas melarang perusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian serius. Fakta deforestasi ratusan hingga ribuan hektare di DAS Batang Toru menunjukkan bahwa norma hukum ini tidak dijalankan secara efektif.
Begitupun, kasus PT Agincourt Resources menjadi contoh nyata paradoks pembangunan. Pengurangan tutupan hutan sekitar 300 hektare, lokasi fasilitas tailing yang dekat dengan sungai, serta rencana pembukaan ratusan hektare lahan baru—yang bahkan diakui dalam dokumen AMDAL berisiko mengubah pola aliran sungai dan menurunkan kualitas air—menunjukkan bahwa potensi bahaya telah diketahui sejak awal, namun tetap dilanjutkan. Dalam hukum lingkungan modern, pengabaian risiko yang telah diprediksi merupakan bentuk kelalaian serius.
Ditambah lagi proyek PLTA Batang Toru yang menghilangkan lebih dari 350 hektare hutan di sepanjang aliran sungai. Sedimentasi tinggi, fluktuasi debit air, hingga kemunculan gelondongan kayu saat banjir adalah indikator gangguan ekologis berat. Dalam kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), negara wajib memastikan proyek pembangunan tidak merusak habitat kritis. Fakta di lapangan menunjukkan kewajiban itu diabaikan.
Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit melalui skema PKR dan PHAT yang merusak sedikitnya 1.500 hektare hutan dalam tiga tahun terakhir tidak dapat lagi direduksi sebagai pelanggaran administratif semata, melainkan harus dibaca sebagai kejahatan ekologi yang memenuhi elemen ecocide sebagaimana berkembang dalam wacana hukum internasional; praktik ini secara nyata menghancurkan koridor satwa, melemahkan kawasan lindung, dan menciptakan risiko sistemik terhadap keselamatan manusia—mulai dari banjir, longsor, hingga konflik satwa—yang bertentangan dengan prinsip sustainable development dan kewajiban negara untuk melindungi lingkungan hidup sebagaimana ditegaskan dalam Prinsip 1 dan 2 Deklarasi Stockholm 1972 serta Prinsip Kehati-hatian (precautionary principle) Deklarasi Rio 1992; lebih jauh, dalam perspektif Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC), meski ecocide belum dirumuskan sebagai kejahatan inti, tindakan perusakan lingkungan yang meluas, serius, dan sistematis dapat ditautkan dengan pelanggaran berat terhadap kepentingan kemanusiaan sebagaimana semangat Pasal 7 dan Pasal 8 Statuta Roma, yang menempatkan kerusakan lingkungan masif sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup manusia; karena itu, pembiaran negara terhadap ekspansi perkebunan yang menabrak daya dukung ekologis bukan hanya pengkhianatan terhadap mandat konstitusional untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, tetapi juga menempatkan Indonesia dalam sorotan etika dan hukum global, sebagai negara yang gagal mencegah kejahatan ekologis yang dampaknya lintas generasi—sebuah kegagalan serius yang tak bisa lagi ditutup dengan retorika pembangunan, ungkap Taufik Wasek Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
Banjir bandang yang membawa kayu-kayu besar setiap musim hujan adalah bukti kasat mata bahwa hutan telah kehilangan fungsinya. Ketika citra satelit memperlihatkan tutupan hutan yang gundul, maka narasi “hujan ekstrem” tidak lagi memadai. Negara tidak boleh berlindung di balik dalih bencana alam untuk menutupi kegagalan pengawasan dan penegakan hukum terhadap korporasi perusak lingkungan, pungkas Taufik.
Karena itu, Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut menegaskan agar aktivitas industri ekstraktif dihentikan, izin dievaluasi dan dicabut, serta pelaku perusakan lingkungan ditindak tegas adalah tuntutan konstitusional. Negara wajib memastikan pemulihan hak-hak penyintas, menyediakan kebutuhan dasar, memberikan ganti untung yang wajar dan menata ulang kebijakan tata ruang yang menjadikan Batang Toru sebagai kawasan lindung strategis, bukan ladang eksploitasi.
Refleksi akhir tahun Bidang Hukum &HAM MW KAHMI SUMUT harus menjadi titik balik: bahwa pembangunan tanpa keadilan ekologis adalah bentuk kekerasan struktural terhadap rakyat. Setiap nyawa yang hilang dan setiap rumah yang hanyut adalah dakwaan moral dan hukum terhadap negara dan korporasi. Jika kejahatan ekologi terus dibiarkan, maka bencana akan berulang. Negara harus memilih—melindungi rakyat dan lingkungan, atau terus menghitung korban sebagai biaya pembangunan, Ujar Taufik.


Posting Komentar
0Komentar