Refleksi Akhir Tahun, Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut Mengingatkan: Kekerasan di Sumatera Utara Masih Meresahkan

Media Barak Time.com
By -
0

 


Baraktime.com|Medan

Menutup tahun 2025, Bidang Hukum Dan HAM Majelis Wilayah KAHMI Sumatera Utara melalui siaran pers  menyampaikan peringatan serius mengenai kondisi hak asasi manusia di Sumut yang kian mengkhawatirkan. Data yang dihimpun KontraS Sumut menunjukkan bahwa kekerasan, konflik agraria, dan penyempitan ruang sipil bukan sekadar peristiwa insidental, melainkan pola sistemik yang terus berulang tanpa koreksi berarti dari negara.


Dalam konteks kekerasan aparat, sepanjang 2025 tercatat 14 kasus penyiksaan yang mengakibatkan 12 orang luka-luka dan 3 orang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, 12 kasus melibatkan kepolisian, satu kasus melibatkan TNI, dan satu kasus dilakukan oleh petugas lembaga pemasyarakatan. Angka ini hanya sedikit lebih rendah dibanding 2024 dengan 17 kasus, namun jauh lebih tinggi dibanding periode 2019–2022 yang rata-rata hanya mencatat tujuh kasus per tahun.


Eskalasi ini menandakan kemunduran serius dalam praktik penegakan hukum. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung warga justru tampil sebagai aktor dominan pelanggaran hak hidup dan hak bebas dari penyiksaan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G dan 28I UUD 1945 serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia.


Penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi juga masih menjadi persoalan akut. Sepanjang 2025, setidaknya terjadi 48 kasus yang mengakibatkan 78 korban luka dan 4 orang meninggal dunia. Kasus tewasnya Muhammad Syuhada (15) akibat tembakan Kapolres Pelabuhan Belawan menjadi simbol kegagalan negara membedakan antara penegakan hukum dan praktik penghukuman di luar proses peradilan, tegas Taufik.


Dalih “tindakan tegas dan terukur” terus diulang, namun realitas di lapangan menunjukkan narasi tersebut gagal menjawab akar masalah kejahatan. Lebih dari itu, praktik ini berpotensi memenuhi unsur extrajudicial killing, sebuah kejahatan serius dalam hukum HAM internasional yang wajib dicegah, diselidiki, dan diadili oleh negara.


Ironisnya, kepolisian telah memiliki perangkat normatif internal, seperti Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip HAM dan Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan. Namun, lemahnya pengawasan dan impunitas institusional membuat aturan tersebut kehilangan makna substantif.


Kesulitan korban dalam mengakses keadilan memperparah situasi. Pemantauan KontraS terhadap persidangan kasus-kasus TNI—termasuk penyerangan Yon Armed 2/KS di Sibiru-biru serta pembunuhan anak MAF (13) dan MHS (15)—menunjukkan vonis ringan dan kecenderungan perlindungan institusional di peradilan militer, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum, terang Wakil Sekretas Bid. Hukum & HAM


Di luar isu kekerasan, konflik pengelolaan sumber daya alam tetap menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Sepanjang 2025, tercatat 25 letusan konflik agraria di Sumatera Utara, konsisten dengan tren 2023 dan 2024. Angka ini membuktikan bahwa negara gagal menghadirkan mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan berkelanjutan.


KontraS mengidentifikasi enam akar konflik utama: tumpang tindih HGU, konflik bekas HGU, proyek strategis nasional dan industri ekstraktif, kegagalan plasma, konflik kawasan hutan, serta konflik tanah grant sultan. Seluruhnya mencerminkan buruknya tata kelola agraria dan absennya keberpihakan pada masyarakat pungkas Taufik.


Perampasan tanah masyarakat adat oleh PT Toba Pulp Lestari, dengan sedikitnya 11 upaya pencaplokan lahan, menjadi contoh nyata bagaimana kepentingan korporasi mengalahkan hak kolektif warga. Nasib serupa dialami Kelompok Tani Padang Halaban—penyintas tragedi 1965—yang kini kembali terancam oleh ekspansi PT SMART.


Pola perampasan tanah berlangsung secara terstruktur dan sistematis, melibatkan jejaring pengusaha, mafia tanah, pejabat negara, dan aparat penegak hukum. Ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi digunakan sebagai instrumen untuk membungkam perlawanan masyarakat, sebuah praktik yang jelas melanggar prinsip negara hukum, ungkap Taufik.


Dampak buruk tata kelola sumber daya alam tidak berhenti pada konflik sosial, tetapi juga melahirkan bencana ekologis. Banjir, longsor, dan kerusakan lingkungan di berbagai daerah Sumatera Utara akhir tahun ini adalah konsekuensi kebijakan eksploitatif yang mengabaikan daya dukung lingkungan.


Dalam konteks ruang sipil, situasi demokrasi di Sumatera Utara menunjukkan gejala penyusutan serius. Setidaknya tujuh aktivis agraria dikriminalisasi sepanjang 2025, sementara 10 serangan terhadap jurnalis—mulai dari intimidasi hingga kekerasan fisik—menandai meningkatnya intoleransi terhadap kritik.


Penanganan demonstrasi Agustus lalu memperjelas wajah represif negara. Aparat melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap sedikitnya 44 orang, disertai kekerasan fisik dan pengabaian hak atas pendampingan hukum, bahkan terhadap anak-anak. Praktik ini bertentangan langsung dengan prinsip kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dijamin konstitusi.


Rangkaian fakta tersebut menunjukkan bahwa Sumatera Utara sedang menghadapi “bencana HAM” yang nyata. Selama negara masih mengandalkan pendekatan kekerasan dan membiarkan impunitas, krisis ini akan terus berulang. Memupuk ingatan kolektif, memperkuat solidaritas sipil, dan menuntut akuntabilitas negara adalah prasyarat mutlak untuk keluar dari lingkaran kekerasan yang merusak kemanusiaan dan demokrasi, ujar Taufik.


Demikian


Siaran Pers Bid. Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)