Refleksi Akhir Tahun Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut: Korupsi Masih Menjadi Masalah Serius di Sumatera Utara

Media Barak Time.com
By -
0

 



Tahun 2025 kembali menutup kalender hukum di Sumatera Utara dengan satu kenyataan pahit: korupsi belum surut, bahkan menebal dalam pola yang lebih sistematis. Dari laporan tahunan KPK dan ICW, Sumut masih bertengger sebagai salah satu provinsi dengan tingkat kasus korupsi tertinggi di Indonesia. Refleksi akhir tahun MW KAHMI Sumut menyimpulkan bahwa problem utama bukan sekadar banyaknya pejabat yang ditangkap, tetapi ekosistem kekuasaan yang membiarkan korupsi tumbuh seperti jamur di ruang publik.


Data ICW menunjukkan bahwa sepanjang 2024–2025, setidaknya lebih dari 40 kasus korupsi ditangani aparat penegak hukum di Sumut, melibatkan kepala daerah, pejabat dinas, rektor, hingga anggota legislatif. Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan pelanggaran hukum, tetapi juga kegagalan tata kelola pemerintahan daerah dalam memastikan integritas dan akuntabilitas yang menjadi syarat dasar pelayanan publik.


Korupsi di Sumut bersifat berlapis. Ia bukan hanya soal suap proyek dan pungutan liar, tetapi merambah pada sektor-sektor strategis: pendidikan tinggi, kesehatan, perizinan sumber daya alam, hingga bantuan sosial. Budang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut menilai pola ini menunjukkan bahwa pengawasan internal pemerintah daerah tidak berjalan, dan reformasi birokrasi masih sebatas slogan tanpa disiplin implementatif.


Dalam sektor pendidikan, misalnya, polemik  rektor di lingkungan perguruan tinggi negeri di Sumut disebut KPK sebagai sirkel kejahatan korupsi jalan di Paluta. Dugaan korupsi, gratifikasi, dan intervensi eksternal menjadi bayangan panjang yang menggerus kepercayaan publik terhadap dunia akademik. Rektor yang seharusnya menjadi penjaga moral dan pusat integritas justru terseret dalam lingkaran korupsi yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan akdemik.


Korupsi sektor agraria di Sumatera Utara memasuki babak yang lebih memprihatinkan ketika praktik penyimpangan Hak Guna Usaha (HGU) yang masih aktif dialihkan atau diperlakukan sebagai Hak Guna Bangunan (HGB) oleh PTPN Regional I, anak-anak perusahaannya, serta pengembang seperti PT Citraland, sehingga membuka ruang spekulasi tanah, penguasaan ilegal, dan manipulasi nilai aset negara dalam skala yang sangat besar. Modus ini bukan sekadar cacat administrasi, tetapi bentuk korupsi struktural yang mencabut kewenangan negara atas tanah dan mengalihkan nilai ekonominya ke tangan korporasi. Dalam perhitungan organisasi masyarakat sipil dan akademisi pertanahan, potensi kerugian negara dari penyimpangan status HGU ini bisa mencapai ratusan triliun rupiah—meliputi hilangnya nilai sewa tanah negara, pendapatan sah BUMN, potensi PNBP yang menguap, hingga kerugian ekologis akibat perubahan fungsi lahan yang tidak berizin. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa tata kelola agraria di Sumut berada dalam titik darurat: pengawasan ATR/BPN lemah, audit BPK tidak menyentuh akar masalah, dan BUMN perkebunan menjalankan praktik penguasaan lahan layaknya korporasi swasta tanpa kendali publik. Negara mengalami kebocoran pendapatan dalam skala yang setara dengan beberapa tahun APBD Sumut, sementara rakyat kecil terus terusir dari tanahnya. Inilah wajah korupsi agraris yang paling telanjang—sunyi dari sorotan, tetapi menghancurkan kedaulatan negara atas ruang hidup rakyat,Tegas Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI SUMUT.


Di sektor sumber daya alam, angka kerusakan hutan di Sumatera Utara mencapai lebih dari 770 ribu hektar dalam satu dekade terakhir, menurut data KLHK dan pantauan WALHI. Kerusakan ini tidak mungkin terjadi tanpa kongkalikong antara korporasi dan pejabat publik. Korupsi izin, suap untuk pembiaran pembalakan liar, serta manipulasi laporan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) telah menjelma sebagai kejahatan ekologis yang menumpuk kerugian negara dan rakyat.


Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut menegaskan bahwa persoalan korupsi bukan hanya soal moralitas, tetapi soal struktur kekuasaan yang gagal membangun sistem pengawasan yang bekerja. Banyak kasus justru terungkap bukan karena efektivitas aparat, tetapi karena laporan masyarakat, media, atau konflik antarkelompok pejabat. Aparat penegak hukum di Sumut masih menghadapi krisis kepercayaan akibat dugaan “tebang pilih” dan rendahnya transparansi.


Ketika kasus-kasus korupsi besar melibatkan aktor politik atau pejabat tinggi, proses hukum yang dilakukan institusi penegak hukum kerap berjalan lambat.  Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut mencatat pola yang berulang: penundaan pemeriksaan, penghilangan barang bukti, hingga dugaan intervensi. Publik bertanya: apakah hukum benar-benar bekerja, atau justru ditarik ulur oleh kepentingan politik yang lebih besar?


Buruknya tata kelola anggaran daerah menjadi catatan gelap lainnya. Laporan BPK menyebut sejumlah pemerintah kabupaten/kota di Sumut masih mendapatkan opini WDP (Wajar Dengan Pengecualian), menandakan adanya kelemahan akuntansi dan praktik pengelolaan yang tidak sesuai regulasi. Celah administrasi ini kerap dimanfaatkan untuk mark-up belanja modal, penggelembungan honorarium, hingga proyek fiktif.


Korupsi juga berdampak langsung pada kemiskinan dan ketimpangan di Sumut. Data BPS 2025 menunjukkan angka kemiskinan provinsi berada di kisaran 8,3 persen, dengan ketimpangan (Gini Ratio) mencapai 0,385. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cermin bahwa korupsi telah mengalihkan anggaran publik dari rakyat ke kantong-kantong elite. Dana pendidikan tidak optimal, layanan kesehatan timpang, dan pembangunan desa berjalan tanpa arah.


MW KAHMI Sumut menilai bahwa upaya pemberantasan korupsi harus diletakkan dalam kerangka reformasi struktural. Pemerintah daerah perlu memperkuat e-budgeting, e-procurement, audit digital, serta membuka akses data publik secara luas. Transparansi bukan sekadar retorika, tetapi instrumen untuk memutus ruang gelap korupsi. Tanpa reformasi tata kelola, penindakan hukum hanya akan menjadi irama tahunan tanpa perubahan nyata.


Namun, upaya represif  yang memberikan efek jerah tetap krusial. KAHMI menegaskan pentingnya memperkuat KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian dalam menghadapi kejahatan kerah putih. Pendidikan antikorupsi harus masuk ke sekolah, perguruan tinggi, dan ruang publik. Perlu ada gerakan sosial yang menempatkan integritas sebagai budaya, bukan hanya mekanisme hukum. Tanpa tekanan publik, pemberantasan korupsi hanya akan terjebak dalam ritual 'birokrasi kompleks'.


Tahun 2025 menunjukkan bahwa masyarakat Sumut tidak tinggal diam. Aksi-aksi mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan keberanian whistleblower menjadi pembuka jalan bagi pengungkapan berbagai kasus. Kehadiran mereka penting sebagai penyeimbang kekuasaan. KAHMI Sumut melihat bahwa dorongan civil society merupakan fondasi yang harus diperkuat jika Sumut ingin keluar dari jerat korupsi yang telah mengakar.


Refleksi akhir tahun Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI SUMUT ini menutup dengan satu pesan tegas: pemberantasan korupsi di Sumatera Utara tidak boleh lagi berjalan setengah hati. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi ancaman terhadap masa depan demokrasi, pembangunan, dan keselamatan rakyat. Jika pemerintah daerah tidak melakukan perubahan struktural, Sumut akan terus berada dalam lingkaran stagnasi. Saatnya menjadikan 2026 sebagai tahun keberanian: membongkar korupsi, memperkuat supremasi hukum, memiskinkan koruptor, hukuman yang memberikan efek jerah bagi para koruptor dan mengembalikan kepercayaan publik kepada negara.


Demikian 


Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut 

Wasek Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)