Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD bukan sekadar perdebatan teknis tata kelola pemilu, melainkan pertaruhan serius atas arah demokrasi Indonesia. Di balik dalih efisiensi anggaran dan stabilitas politik, terselip logika lama yang menempatkan rakyat sebagai variabel sekunder dalam sirkulasi kekuasaan. Demokrasi elektoral lahir justru untuk memutus praktik kompromi elite yang berlangsung di ruang tertutup, dengan menghadirkan legitimasi langsung dari warga sebagai sumber utama kewenangan politik. Ketika hak memilih kepala daerah dialihkan kembali ke DPRD, maka yang dipangkas bukan hanya mekanisme, tetapi substansi kedaulatan rakyat itu sendiri.
Kesepakatan Partai Golkar dalam Rapimnas I Tahun 2025—yang antara lain mendorong pilkada melalui mekanisme pemilihan DPRD dan pembentukan koalisi permanen—menegaskan kecenderungan konsolidasi kekuasaan elite yang semakin pragmatis. Koalisi permanen dan pemilihan tidak langsung berpotensi melahirkan stabilitas semu, tetapi sekaligus mempersempit ruang kontrol publik. Kepala daerah akan lebih bergantung pada negosiasi partai dan fraksi ketimbang mandat warga. Dalam konteks ini, demokrasi sengaja direduksi menjadi prosedur internal partai, bukan proses partisipatif rakyat. Jalan pintas kekuasaan semacam ini mungkin menguntungkan elite politik dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang berisiko menggerus legitimasi negara dan memperlebar jarak antara rakyat dan pelayannya (penyelenggara pemerintah daerah).
Pemilihan langsung kepala daerah pasca-Reformasi merupakan koreksi historis atas praktik sentralistik dan otoritarianisme Rezim Orde Baru, ketika kekuasaan daerah ditentukan dari atas dan rakyat sekadar penonton. Pilkada langsung membuka ruang partisipasi publik yang luas, memungkinkan warga menilai, memilih, dan menghukum secara politik pemimpin yang gagal. Menghapus mekanisme ini sama artinya dengan memutar jarum sejarah ke arah yang berlawanan.
Argumen efisiensi biaya kerap dijadikan justifikasi utama. Memang, pilkada menyedot anggaran besar. Namun demokrasi bukanlah berbiaya murah. Biaya tinggi tidak otomatis menjadi pemborosan jika menghasilkan akuntabilitas dan legitimasi. Negara justru perlu membandingkan ongkos demokrasi dengan ongkos korupsi politik yang kerap lahir dari proses elektoral tertutup dan elitis.
Data berbagai lembaga menunjukkan bahwa pemilihan tidak langsung cenderung memperbesar praktik transaksi politik dan berujung pada bancakan proyek di daerah yang bukan bermanfaat dan mensejahterakan rakyat. Ketika kepala daerah dipilih oleh segelintir anggota DPRD, maka suara rakyat digantikan oleh suara elite yang rentan ditukar dengan kepentingan jangka pendek. Politik uang tidak hilang, ia hanya berpindah arena—dari pemilih banyak ke pemilih terbatas—dengan nilai transaksi yang justru lebih terpusat dan sistematis.
Dalam perspektif legitimasi politik, pemimpin yang lahir dari pemilihan langsung memiliki basis dukungan yang lebih luas dan kuat. Legitimasi ini penting bukan hanya secara simbolik, tetapi juga efektif dan fungsional. Kepala Daerah dengan mandat rakyat relatif lebih berani mengambil kebijakan tidak populer namun perlu, karena sandaran utamanya adalah publik, bukan fraksi-fraksi DPRD.
Sebaliknya, kepala daerah hasil pilihan DPRD cenderung terikat pada kompromi politik internal. Kebijakan publik berisiko disandera oleh kepentingan koalisi elite, bukan kebutuhan rakyat banyak. Dalam situasi demikian, akuntabilitas bergeser dari rakyat ke parlemen lokal, yang faktanya tidak selalu bebas dari konflik kepentingan dan oligarki nasional dan lokal.
Partisipasi politik publik juga menjadi taruhan besar. Pilkada langsung, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi instrumen pendidikan politik rakyat yang progresif. Ia mengajarkan rakyat banyak (publik) bahwa suara mereka bernilai dan berdampak. Mengalihkan pemilihan ke DPRD berpotensi mematikan energi partisipatif ini dan mendorong apatisme politik, terutama di kalangan pemilih muda.
Pengalaman negara-negara demokrasi menunjukkan bahwa kemunduran partisipasi sering berbanding lurus dengan menguatnya populisme dan ketidakpercayaan terhadap institusi politik. Ketika rakyat merasa dijauhkan dari proses pengambilan keputusan, ruang publik menjadi subur dengan politik kotor dari elite sehingga munculnya sinisme dan delegitimasi negara.
Dalih bahwa DPRD merupakan representasi rakyat juga perlu diuji secara jujur dalam soal politik ektoral. Representasi elektoral bersifat tidak langsung dan berlapis. Mandat anggota DPRD adalah mandat legislatif, bukan mandat untuk memilih eksekutif. Menumpuk mandat tanpa persetujuan langsung rakyat adalah penyimpangan prinsip demokrasi representatif itu sendiri.
Lebih jauh, pemilihan oleh DPRD berpotensi menguatkan dinasti politik lokal. Transaksi kekuasaan menjadi lebih mudah dikendalikan oleh keluarga, jejaring bisnis, dan elite partai yang telah mapan. Rakyat kehilangan fungsi korektifnya sebagai pemutus terakhir.
Masalah utama pilkada langsung sejatinya bukan terletak pada mekanisme pemilihan oleh rakyat, melainkan pada kualitas tata kelola dan penegakan hukum elektoral yang gagal berevolusi secara serius selama lebih dari dua dekade. Sejak pilkada langsung diterapkan pada 2005, berbagai patologi demokrasi terus berulang: politik uang yang kian terstruktur, penyelenggaraan pemilu yang belum sepenuhnya luber dan jurdil, serta penegakan hukum pemilu yang lemah dan kompromistis. Data penindakan tindak pidana pemilu dan korupsi kepala daerah menunjukkan korelasi kuat antara mahalnya ongkos politik dan praktik penyalahgunaan kekuasaan pasca-pemilihan. Namun dalam teori demokrasi prosedural ala Joseph Schumpeter hingga demokrasi partisipatoris Robert Dahl, cacat implementasi tidak pernah dijadikan alasan untuk mencabut hak pilih warga, melainkan justru menuntut perbaikan institusional agar kompetisi politik berlangsung adil dan setara.
Selama lebih dari 20 tahun, negara cenderung mengambil jalan pintas dengan menormalisasi pelanggaran sebagai “risiko demokrasi”, alih-alih memperkuat desain hukum dan institusi pengawas pemilu. Bawaslu kerap ditempatkan dalam posisi tanpa taring, sementara sanksi terhadap politik uang sering berhenti pada pelaku lapangan, bukan aktor intelektual dan pendana. Dalam perspektif hukum tata negara modern, kegagalan penegakan hukum bukan kesalahan rakyat sebagai pemilih, melainkan kegagalan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk menjamin pemilu yang bebas dan adil. Mengganti pilkada langsung dengan pemilihan oleh DPRD bukan solusi struktural, melainkan regresi demokrasi yang mengabaikan pelajaran penting dua dekade reformasi: bahwa demokrasi memang, terjal, mahal dan berisiko, tetapi jauh lebih berbahaya jika kedaulatan rakyat dikorbankan demi stabilitas semu dan kenyamanan elite politik.
Demokrasi selalu mengandung risiko, tetapi solusinya bukan dengan mengurangi demokrasi itu sendiri. Jalan pintas kekuasaan kerap menggoda elite politik, terutama ketika proses elektoral dianggap merepotkan dan mahal. Namun kemudahan bagi elite sering kali berbanding terbalik dengan keadilan bagi rakyat.
Pada akhirnya, memilih kepala daerah melalui DPRD adalah jalan mundur demokrasi yang berpotensi merapuhkan legitimasi politik rakyat banyak (publik). Dalam negara yang mengaku kedaulatannya berada di tangan rakyat, partisipasi publik bukan beban, melainkan fondasi. Demokrasi yang sehat memang melelahkan, tetapi demokrasi yang dipangkas justru berbahaya.
Demikian.
Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH Merupakan Praktisi Hukum Dan Komisioner KPU Medan 2003-2008


Posting Komentar
0Komentar