Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Pidato Presiden Prabowo Subianto tentang “tidak ada negara dalam negara, tidak ada mafia dalam negara” bukan sekadar retorika politik. Ia adalah sinyal keras bahwa negara hendak menegaskan kembali otoritas moral dan konstitusionalnya atas republik yang terlalu lama dirongrong maling—baik yang berseragam jabatan maupun berjas korporasi. Dalam konteks inilah, gagasan Tan Malaka tentang “tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya” menemukan relevansi historis yang tajam.
Bangsa ini telah terlalu lama menjadi rumah yang dirampok oleh penghuninya sendiri. Dari era parlementer hingga reformasi, kita lebih banyak berunding dengan maling daripada mengadilinya. Korupsi yang seharusnya menjadi musuh bersama justru berubah menjadi bagian dari sistem. Ia beranak-pinak di lembaga negara, di birokrasi, bahkan di institusi pendidikan.
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa setiap rezim memiliki bentuknya sendiri dalam bernegosiasi dengan maling. Di masa Orde Lama, kompromi terjadi di meja politik; di masa Orde Baru, transaksi dilakukan di balik tirai pertemuan bisnis internasional; sementara di era Reformasi, kompromi dilakukan terang-terangan atas nama stabilitas dan demokrasi. Watak maling tetap sama—hanya ruang operasinya yang berganti.
Dampaknya kini terukur secara ilmiah. Berdasarkan laporan Transparency International tahun 2024, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya berada di angka 34 dari 100, stagnan selama tiga tahun terakhir. Artinya, sistem pengawasan dan penegakan hukum belum menyentuh akar permasalahan. Rakyat masih menjadi korban dari kebijakan yang dikuasai oligarki dan mafia anggaran.
Utang negara yang menembus Rp8.300 triliun (data Kemenkeu, 2025) menjadi paradoks tragis. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Dalam teori ekonomi politik Daron Acemoglu dan James Robinson, kondisi ini disebut sebagai extractive institutions—institusi yang membiarkan segelintir elite mengeruk kekayaan publik tanpa akuntabilitas.
Ironinya, rakyat yang paling miskin justru menanggung beban pajak tertinggi. Laporan BPS menunjukkan daya beli masyarakat terus menurun sejak 2022, sementara angka pengangguran terbuka masih di atas 5,3 persen. Di sisi lain, korporasi besar menikmati tax holiday dan insentif fiskal. Ketimpangan ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan sistem yang gagal melindungi rakyat dari perampokan yang dilegalkan.
Prabowo dalam pidatonya menolak konsep “negara dalam negara”—sebuah metafora yang menohok eksistensi jaringan mafia di tubuh birokrasi. Dalam teori negara predatorik Mushtaq Khan, mafia birokrasi muncul ketika negara kehilangan kemampuan untuk menegakkan keadilan distributif. Ketika hukum tunduk pada uang, dan kebijakan tunduk pada tekanan kelompok kepentingan.
Tan Malaka jauh sebelum itu telah memperingatkan: jangan berunding dengan maling. Baginya, negosiasi dengan pelaku ketidakadilan hanya memperpanjang umur kezaliman. “Tuan rumah yang berunding dengan maling berarti kehilangan kehormatan dan hak atas rumahnya sendiri,” tulisnya dalam Madilog. Prinsip ini bukan sekadar moralitas individual, melainkan fondasi etik untuk membangun republik yang berdaulat.
Sistem hukum Indonesia seolah terus menumbuhkan imunitas bagi maling berkerah putih. Hukuman yang ringan, remisi tanpa moral, dan kriminalisasi terhadap pelapor korupsi adalah wajah paradoks keadilan kita. KPK yang dahulu digadang sebagai lembaga superbody kini dilemahkan melalui regulasi dan tekanan politik.
Kita seolah hidup di zaman di mana hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Fenomena ini persis seperti yang dikritik Foucault: kekuasaan bukan lagi alat melindungi, melainkan mekanisme pengendalian sosial. Ketika rakyat dikontrol melalui pajak, sanksi, dan birokrasi, sementara elite menari di atas kekebalan hukum, maka republik ini sedang kehilangan jiwa.
Pembaruan sistem tidak cukup dilakukan melalui reformasi birokrasi semata. Kita memerlukan transformasi struktural—dari sistem anggaran, pola rekrutmen pejabat, hingga pendidikan politik rakyat. Negara harus menegaskan kembali kedaulatan hukum di atas kepentingan ekonomi dan oligarki.
Strategi holistik pemberantasan korupsi mesti menyentuh empat lapisan: institusi, nilai, partisipasi publik, dan teknologi. Institusi perlu dikuatkan melalui independensi hukum dan keuangan. Nilai moral harus dibangun melalui pendidikan karakter. Partisipasi publik harus difasilitasi dalam pengawasan kebijakan. Dan teknologi—seperti digitalisasi anggaran dan blockchain audit—dapat menutup ruang transaksi gelap.
Namun semua itu akan gagal bila moral para pemimpin tetap tumpul. Karena korupsi bukan hanya soal uang, tetapi soal mental. Negara gagal bukan karena miskin sumber daya, melainkan karena miskin integritas. Tan Malaka menyebutnya sebagai “watak budak yang berkuasa”—mereka yang menggunakan jabatan untuk melayani diri, bukan rakyat.
Di sisi lain, rakyat juga harus berhenti menjadi penonton. Demokrasi yang sejati bukan sekadar memilih, tetapi mengawasi. Partisipasi publik harus dihidupkan melalui keterbukaan informasi, pelaporan digital, dan gerakan sosial yang mandiri. Di era digital, rakyat punya kekuatan baru untuk menuntut transparansi.
Prabowo menawarkan pendekatan yang lebih integratif—menata ulang sistem hukum, fiskal, dan pemerintahan agar bekerja sebagai satu kesatuan. Inilah esensi strategi holistik: menutup celah korupsi bukan dengan retorika, melainkan dengan sinergi kebijakan, audit publik, dan etika politik.
Jika visi ini dijalankan konsisten, republik akan bertransformasi dari negara yang “berunding dengan maling” menjadi negara yang memulangkan moral. Negara yang tidak lagi menjadi ladang rampasan, melainkan rumah bagi keadilan sosial dan kedaulatan rakyat.
Watak maling memang tidak bisa disembuhkan. Tapi sistem yang melahirkan maling bisa dihancurkan. Untuk itu, kita tidak butuh “obat batuk hitam”—obat sementara yang hanya menenangkan gejala. Kita butuh operasi besar: membangun sistem yang membuat maling tidak punya ruang hidup.
Inilah saatnya kita berhenti bersenggama dengan maling. Kita perlu menegaskan kembali bahwa republik ini milik rakyat, bukan milik kelompok yang memperkaya diri atas nama pembangunan. Pidato Prabowo dan pesan Tan Malaka sesungguhnya berpadu dalam satu seruan: lawan tanpa kompromi segala bentuk penjarahan atas bangsa sendiri.
Karena kemerdekaan sejati bukanlah bebas dari penjajah asing, melainkan bebas dari maling yang menjarah rumah sendiri.
Demkan.
Penulis , Praktisi Hukum dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak


Posting Komentar
0Komentar