Pembantaian Etnik Melayu 1946: Kekejaman PKI di Sumatera Timur (Selesai)

Media Barak Time.com
By -
0


 Oleh : Prof. Dr. Ok. Saidin, SH, M.Hum H

(Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum  Universitas Sumatera Utara)



Kecurigaan Keterlibatan Menteri Pertahanan

Oleh karena itu, mengundang kecurigaan, mengapa kedatangan Amir Syarifuddin Harahap Menteri Pertahanan Republik Indonesia pada Tanggal 9 sampai dengan 12 April 1946. mengunjungi Sumatera Timur tak menggambarkan kekecewaannya atas kegagalannya mengendalikan keamanan di wilayah Republik Indonesia. Selaku Menteri Pertahanan, beliau tak mungkin tak tahu kekacauan yang terjadi di Sumatera Timur. Apakah beliau selaku Menteri Pertahanan tidak melakukan komunikasi dengan Gubernur Teuku Mohammad Hasan? Tentu itu sulit untuk diterima. Sebagai Tokoh PKI Amir Syarifuddin pasti mengetahui gerakan pembantaian Sultan-Sultan di Sumatera Timur, karena itu adalah target PKI.

Menteri pertahanan mencederai janji Gubernur Teuku Muhammad Hasan di hadapan para Raja di Simaungun dan Sultan di Sumatera Timur. Menteri pertahanan tidak benar-benar mengawal keamanan yang berada di bawah kendalinya. Justru beliau ikut "bermain" dan sebagai aktor intelektual di balik peristiwa itu.

 

Oleh karena itu benar apa yang disimpulkan dalam penelitian Tengku Luckman Sinar bahwa gerombolan orang yang mengakui republiken itu adalah merupakan objek rahasia Markas Agung pimpinan komunis Sarwono Sastro Sutarjo, Zainal Baharuddin dan Muhammad Saleh Umar dalam rangka menghapuskan kekuasaan raja-raja di Sumatera Timur yang dituduh menghalangi kemerdekaan. Amir Syarifuddin dan Pesindo berada dalam barisan itu.

Dr. Muhammad Amir ketua Tim Dokter Sultan Langkat yang juga menjadi wakil Gubernur Sumatera juga berpihak pada Markas Agung. Itulah sebabnya Dr. Muhammad Amir ikut mendesain jadwal pemberangkatan Teuku Mohammad Hasan ke Palembang, agar tak ada lagi yang menghalangi rencana mereka. Teuku Mohammad Hasan dikecoh wakilnya.

Berdasarkan catatan Lira Media (m.liramedia.co.id), pada tanggal 1 Maret 1946, sebenarnya sudah ada informasi rahasia yang masuk ke Tentara Sekutu, bahwa Partai Komunis Indonesia dan Barisan Harimau Liar bekerja sama dalam aksi yang akan didukung penuh oleh Volksfront dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) besutan Mr. Amir Syarifuddin yang didirikan pada bulan November 1945. Satu hari sebelum aksi dimulai, tanggal 2 Maret 1946, kelompok yang menamakan dirinya republiken berkumpul di rumah kediaman Mr. Luat Siregar di Medan dihadiri oleh anggota Volksfront, Muhammad Yunus dan Marzuki Lubis bersama Divisi IV TRI Kolonel Ahcmad Tahir dan Mahruzar (Adik Sutan Syahrir) merecanakan penumpasan raja-raja Sumatera Timur.

 

Achmad Tahir adalah Komandan Tentara Republik Indonesia, pengangkatannya sebagai Komandan setelah terjadi Tragedi Jalan Bali. Bermula dari tindakan seorang Tentara Etnik Ambon yang kerap kali berpihak pada Kolonial Belanda merenggut bendera Merah Putih dan menginjak-injaknya. Ia tak setuju dengan rencana penumpasan raja-raja Sumatera Timur, sebab keberadaan raja-raja sudah diakui dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Itulah sebabnya ketika gerakan pembantai di Kesultanan Serdang Persatuan Perjuangan menghadapi perlawanan yang cukup keras. Sultan Serdang yang berkedudukan di perbaungan mendapat pengawalan ketat dari TRI di bawah pimpinan Tengku Noerdin. Beliau adalah seorang bangsawan muda Serdang, bekas perwira Giyugun dan keponakan tengku Nizam yang menjadi ketua KNI daerah itu. Tengku Noerdin mendapat persetujuan dari Achmad Tahir untuk mengambil keputusan di tangan sendiri. Pengambil alihan kekuasaan berlangsung cepat dan para Bangsawan Kerajaan Serdang ditahan di istana secara baik-baik.

 

Penutup

Gerakan pembantaian yang direncanakan oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya pro-Repulik berjalan sesuai dengan Grand Design PKI yakni menghancurkan kekuasaan Raja-Raja dan Kesultanan di Simalungun dan Sumatera Timur. Akan tetapi bagaimanapun juga, sebuah kejahatan tak bisa menyembunyikan dirinya. Berakhirnya kekuasaan Raja-Raja di Simalungun dan Kesultanan Sumatera Timur, harus mereka bayar mahal. Para pelaku dan dedengkot pembantaian akhirnya harus mengakhiri hidupnya dengan teragis. Tuhan, Allah wa jalla tak pernah tidur.

Di sinilah generasi sekarang harus tahu, betapa politik tetaplah politik yang jika digunakan untuk keburukan, isinya akan penuh dengan tipu daya dan kemunafikan. Sikap munafik itu dapat kita lihat dari pidato Amir Syaraifuddin dalam kunjungannya ke Sumatera Timur di tengah-tengah pergolakan yang sedang berlangsung. Bukankah yang mendalangi dan tokoh pemuda yang terlibat langsung dalam gerakan pembantaian itu adalah para aktivis PKI? Tapi beliau masih bisa berpidato dalam kunjungannya itu dan menegaskan, "Setelah melihat revolusi berada pada arah yang salah, perlu kembali membawa gelora revolusi di bawah kendali yang benar". Memang, Pidato Amir Sayarifuddin membawa dorongan kepada unsur moderat untuk kembali ke arah revolusi yang benar. Akan tetapi sekali komunis tetaplah komunis, sebuah ideologi yang sudah mendarah daging. Amir Syarifuddin pun rela berpindah agama dari Agama Islam karena agama barunya, dianggapnya lebih dekat dan lebih bisa dicerna dengan ideologi komunisnya. Walaupun akhirnya ia harus mengakhiri hidupnya pada usianya yang ke-41 dihukum mati oleh pemerintahan sahabatnya Soekarno, karena keterlibatannya dalam pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.

 

Kini Puak Melayu dan Masyarakat Indonesia yang mengakui Pancasila sebagai ideologi negara harus sadar dan mengenal musuhnya. Musuh kita sesungguhnya adalah komunis, jika kita lalai bukan tidak mungkin kita akan jatuh dalam putaran roda sejarah selanjutnya dan menjadi korban untuk kedua kalinya. Jauhilah hal-hal yang tak bermanfaat yang membuang waktu.

Tak ada yang dihasilkan oleh kaum republiken atas pembantaian Etnik Melayu Tahun 1946, kecuali menghancurkan sendi-sendi budaya Melayu yang bersumber dari aqidah Islam. Di sinilah pentingnya semua kita melihat secara jujur. Jika hari ini ada orang-orang yang harus dimaafkan, maka wajib bagi kita untuk memaafkannya. Wajib bagi kita ke depan untuk menghilangkan perselisihan tentu dalam batas-batas syariah dan Etika Peradaban Melayu. Tapi persoalan ini adalah persoalan kebangsaan ke depan yang masih tersisa hingga hari ini. Mari kita bangun kembali peradaban Melayu yang telah runtuh dengan memberi prioritas pada pembangunan pendidikan, aqidah, adab dan akhlak sesuai jatidiri Melayu. Jatidiri Islam.

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)