Baraktime.com|Medan
Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumatera Utara, M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, menyampaikan kritik tegas terhadap KUHAP terbaru yang baru saja disahkan Pemerintah dan DPR. Dalam konferensi persnya, Taufik menegaskan bahwa regulasi baru tersebut belum menjawab ketimpangan mendasar antara negara dan korban dalam proses peradilan pidana.
“Taufik menyampaikan bahwa KUHAP terbaru masih memandang korban sebagai objek administratif, bukan sebagai subjek hak yang memiliki martabat,” demikian pernyataannya. Ia menilai bahwa revisi KUHAP seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan hak korban, namun yang terjadi justru sebaliknya—negara tetap menjadi pusat kendali atas seluruh proses.
Menurut Taufik, teori hukum modern seperti pemikiran Ronald Dworkin mengenai rights as trumps menyatakan bahwa hak korban harus berfungsi sebagai pembatas kekuasaan negara. Paradigma ini selaras dengan prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation (PBB, 2005). “Namun dalam KUHAP baru, konstruksi normanya tetap state-centric. Korban masih harus menyesuaikan diri dengan negara, bukan negara yang mengakui klaim hak korban,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa ruang partisipasi korban yang dipuji sebagai kemajuan, pada kenyataannya hanya bersifat prosedural. Korban boleh mengakses informasi atau menyampaikan keberatan, tetapi tidak memperoleh hak substantif seperti pendampingan independen, jaminan anti-kriminalisasi balik, dan pemulihan sejak tahap penyidikan. “Negara terlihat lebih sibuk mempertahankan kewenangan aparat daripada menjamin keadilan bagi korban,” tambahnya.
Taufik menyampaikan bahwa KUHAP terbaru tetap gagal menghapus ketimpangan struktural antara korban dan negara. Mengacu pada pemikiran Michel Foucault, ia menegaskan bahwa hukum berpotensi menjadi instrumen disiplin yang mengatur dan mengontrol warga negara. Karena itu, kekuasaan negara dalam sistem peradilan pidana harus dikontrol secara ketat. “Pertanyaannya sederhana: apakah KUHAP ini memulihkan korban atau justru memperkuat legitimasi negara? Sampai hari ini jawabannya belum memuaskan,” ujarnya.
Ia juga membandingkan dengan standar global. Di banyak negara, victim-oriented approach telah menjadi norma, mencakup restitusi yang efektif, pendampingan psiko-legal, perlindungan dari reviktimisasi, dan definisi korban yang memperhatikan kerentanan sosial dan gender. “Di Indonesia, sebagian besar masih sebatas wacana. Definisi korban saja masih sangat administratif,” kata Taufik.
Menutup pernyataannya, Taufik menegaskan bahwa revisi KUHAP seharusnya mengembalikan orientasi hukum pidana kepada manusia. “Hukum hanya bermakna bila dimulai dari manusia, bukan negara. Selama KUHAP masih memposisikan korban sebagai pelengkap administrasi, maka penghormatan HAM akan terus berjarak dari realitas,” tutupnya.
Demikian pernyataan resmi.
M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM
MW KAHMI Sumatera Utara


Posting Komentar
0Komentar