Rahim Lubis Harus Bicara: Bukan Martir Korupsi, Tapi Justice Collaborator Demi Keadilan Publik.

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH


Ketika korupsi menyentuh tanah negara, maka yang terampas bukan sekadar hektare demi hektare lahan, melainkan keadilan publik. Kasus pengalihan aset PTPN I Regional I melalui kerja sama dengan PT Nusa Dua Propertindo (NDP) dan PT Ciputra Land bukan hanya soal pelanggaran administratif agraria, melainkan simbol rapuhnya pengawasan negara terhadap aset publik.


Penetapan tersangka terhadap Abdul Rahim Lubis—mantan Kepala BPN Deli Serdang—dan Askani, mantan Kakanwil BPN Sumut, membuka kembali luka lama: bagaimana tanah negara yang seharusnya dikelola untuk kemakmuran rakyat justru berubah menjadi komoditas pribadi melalui legalitas semu.


Namun di tengah badai tuduhan dan sorotan publik, muncul satu peluang moral yang bisa mengubah arah perkara ini: Rahim Lubis harus bicara. Ia bukan harus menjadi martir korupsi, tetapi justice collaborator (JC) — saksi kunci yang membuka simpul permainan mafia tanah di balik layar.


Dalam sistem hukum modern, JC bukan bentuk pengkhianatan antar pelaku, melainkan keberanian moral untuk memihak kebenaran. Mereka yang memilih menjadi JC bukan sekadar menyelamatkan diri, melainkan ikut menyelamatkan institusi penegak hukum dari kebuntuan struktural dan politik kekuasaan.


Definisi JC sudah jelas diatur dalam hukum positif Indonesia. Ia adalah pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana yang lebih besar. Tujuannya bukan untuk melindungi pelaku, melainkan untuk menembus jaring kekuasaan yang biasanya melindungi koruptor di level atas.


UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No. 4 Tahun 2011, hingga Peraturan Bersama lima lembaga hukum, memberikan dasar kuat bahwa JC berhak atas perlindungan dan keringanan hukuman jika kontribusinya signifikan dalam membuka kejahatan sistemik.


Kasus PTPN I ini adalah contoh klasik kejahatan agraria yang bersarang di tubuh birokrasi. Modusnya sederhana tapi terstruktur: perubahan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) tanpa memenuhi syarat pelepasan 20 persen lahan untuk negara. Di atas kertas, legal. Dalam realitas, manipulatif.


PT NDP dan afiliasinya mengubah status tanah untuk pengembangan komersial, bahkan menjual sebagian lahan yang masih berstatus aset negara. Sementara BPN, yang seharusnya menjadi penjaga keabsahan hukum agraria, justru menjadi bagian dari prosedur yang memuluskan penyimpangan tersebut.


Jika benar Rahim Lubis menandatangani atau menyetujui penerbitan sertifikat HGB tanpa rekomendasi tata ruang dan tanpa realisasi pelepasan tanah negara, maka persoalannya bukan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi indikasi penyalahgunaan kewenangan — abuse of power yang merugikan keuangan negara secara nyata.


Namun keadilan substantif tidak cukup hanya menghukum pelaku di ujung birokrasi. Hukum akan kehilangan makna jika hanya berhenti pada pejabat pelaksana. Justru dari Rahim Lubis-lah, peta jaringan, aliran dana, dan keterlibatan pihak-pihak kuat bisa terungkap.


Inilah sebabnya mengapa ia harus bicara. Menjadi justice collaborator bukan bentuk pengkhianatan terhadap institusi, tapi bentuk pengabdian kepada negara. Dalam banyak kasus korupsi, pengakuan satu JC sering menjadi kunci membongkar skandal yang selama ini terlindung oleh politik kekuasaan dan uang.


Dalam konteks Sumatera Utara, kasus ini bisa menjadi batu uji bagi integritas Kejati dan keberanian BPN mereformasi diri. Selama ini, BPN dikenal sebagai institusi yang sarat dengan praktik gelap—dari jual beli peta bidang, sertifikat ganda, hingga persekongkolan dengan pengusaha perkebunan.


Jika Rahim Lubis memilih diam, maka ia akan tercatat sebagai bagian dari lingkaran hitam birokrasi korup yang melukai rakyat. Namun jika ia bersuara, membuka skema manipulasi di balik proyek HGB 8.077 hektare itu, sejarah akan mencatatnya sebagai pejabat yang memilih berpihak pada kebenaran, meski di tengah tekanan.


Tentu, keputusan menjadi JC bukan tanpa risiko. Ancaman psikis, sosial, bahkan politik akan menghantui. Tetapi negara wajib menjamin keselamatan dan hak-haknya sesuai dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Karena tanpa perlindungan, keadilan akan mandek di ruang sidang.


Kejati Sumut harus terbuka dalam proses ini. Transparansi penyidikan adalah ujian utama integritas penegak hukum. Publik menunggu apakah pengusutan akan berhenti pada Rahim Lubis dan Askani, atau akan menjangkau para pihak di balik perusahaan besar yang menikmati keuntungan dari pengalihan aset negara.


Korupsi tanah bukan kejahatan biasa. Ia adalah bentuk kolonialisme baru di dalam negeri—di mana pejabat negara bersekongkol dengan pemodal untuk menguasai ruang hidup rakyat. Dalam logika seperti ini, keheningan adalah bentuk kejahatan baru. Maka berbicara adalah tindakan revolusioner.


Rahim Lubis punya pilihan moral: menjadi martir yang tenggelam dalam sejarah korupsi, atau menjadi justice collaborator yang menyalakan api keadilan. Indonesia tidak kekurangan pelaku, tapi kekurangan saksi jujur. Dan kadang, satu keberanian untuk bersuara lebih berharga daripada seribu pledoi di pengadilan.


Demikian


Penulis adalah Praktisi Hukum, Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut dan Junior Kakanda Rahim Lubis di HMI FH USU

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)