Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap pengelolaan aset negara, praktik alih status Hak Guna Usaha (HGU) aktif menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk kepentingan penyertaan modal (inbreng) kembali mencuat. Kasus yang menyeret PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Regional I, PT PAL Regional I, dan PT Citraland membuka babak baru tentang bagaimana celah regulasi agraria dimanipulasi menjadi alat akumulasi kapital.
Padahal, sebagai BUMN, PTPN memegang mandat publik: mengelola tanah negara untuk kepentingan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan. HGU yang mereka pegang bukan hak milik, melainkan hak pakai terbatas yang mengandung fungsi sosial. Ketika tanah itu justru diubah menjadi kompleks perumahan elit atau properti komersial, maka mandat negara beralih menjadi komoditas privat.
Secara normatif, UUPA 1960 menegaskan bahwa HGU tidak dapat dialihkan tanpa izin Menteri ATR/BPN. Lebih lanjut, Pasal 28 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 menegaskan bahwa HGU hanya dapat beralih menjadi HGB setelah haknya berakhir dan dikembalikan kepada negara. Fakta bahwa konversi HGU aktif menjadi HGB dilakukan tanpa mekanisme pelepasan hak adalah pelanggaran hukum agraria yang serius.
Di sini, pelanggaran bukan sekadar administratif. Ia menyentuh wilayah hukum Tipikor, karena berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara dan melibatkan penyalahgunaan kewenangan. Sebab, tanah yang seharusnya menjadi milik negara, berubah menjadi aset perusahaan swasta tanpa dasar hukum yang sah dan tanpa kompensasi yang memadai.
Mekanisme inbreng—penyertaan tanah sebagai modal ke perusahaan patungan—memang tampak legal secara formal. Namun, jika tanah yang di-inbreng masih berstatus HGU aktif, maka seluruh transaksi turunannya menjadi cacat hukum. Tanah yang belum dilepaskan ke negara tidak dapat menjadi objek hukum baru, apalagi dasar penyertaan modal swasta.
Praktik inbreng seperti ini bertentangan dengan Peraturan Menteri BUMN No. PER-02/MBU/2010 jo. PER-09/MBU/2012, yang mewajibkan persetujuan tertulis dari Menteri BUMN dan Menteri Keuangan dalam setiap penyertaan modal tanah. Jika mekanisme ini diabaikan, maka penyertaan tersebut tergolong ilegal dan melanggar asas Geen Macht Zonder Verantwoordelijkheid — tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban.
Kasus serupa sebelumnya telah menjadi temuan BPK dan Inspektorat BUMN: tanah eks-HGU dijadikan HGB, diinbreng ke perusahaan patungan, lalu dialihkan ke pengembang, bahkan dijaminkan ke bank. Polanya sistematis: negara kehilangan aset, sementara korporasi memperoleh keuntungan.
Preseden hukum juga sudah jelas. Putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2017 menegaskan bahwa tanah HGU aktif tidak dapat diterbitkan sertifikat HGB di atasnya sebelum masa berlaku HGU berakhir. Artinya, penerbitan HGB dalam konteks seperti ini merupakan cacat hukum substantif yang dapat dibatalkan melalui peradilan TUN.
Dalam perspektif UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, tindakan mengubah status HGU aktif menjadi HGB tanpa prosedur resmi memenuhi unsur “penyalahgunaan kewenangan” dan “memperkaya diri atau orang lain”. Jika terbukti ada nilai ekonomi yang berpindah dari negara ke pihak swasta tanpa dasar hukum, maka unsur tindak pidana korupsi terpenuhi.
Keterlibatan PT PAL Regional I sebagai perantara menambah lapisan kerumitan hukum. Entitas ini menjadi kendaraan bagi PTPN untuk menyalurkan aset negara ke sektor komersial. Namun karena tanah yang diinbreng belum dilepaskan ke negara, maka seluruh perjanjian bisnis di atasnya berdiri di atas fondasi hukum yang rapuh.
Fenomena ini menunjukkan moral hazard dalam tata kelola BUMN. Alih-alih menjadi penjaga amanah publik, manajemen justru memperlakukan tanah negara seperti aset pribadi yang bisa diputar demi keuntungan korporasi. Padahal, setiap meter tanah itu mengandung beban keadilan sosial yang dijamin konstitusi.
Di sisi lain, Kementerian ATR/BPN ikut memikul tanggung jawab. Lembaga ini kerap menutup akses publik terhadap data HGU, padahal putusan Komisi Informasi Pusat dan Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa data HGU merupakan informasi publik. Ketertutupan ini menciptakan ruang gelap bagi transaksi aset negara tanpa kontrol sosial.
Lemahnya pengawasan internal BUMN memperparah situasi. Tidak ada audit forensik menyeluruh terhadap proses perubahan status tanah, sementara nilai ekonominya mencapai triliunan rupiah. Padahal, konstitusi memberikan mandat kepada BPK untuk memeriksa seluruh kekayaan negara, termasuk tanah yang dikelola BUMN.
Audit investigatif harus dilakukan, bukan hanya untuk menghitung potensi kerugian, tetapi juga untuk menelusuri rangkaian kejahatan korporasi (corporate crime) yang mungkin terlibat. Sebab, praktik inbreng HGU aktif bukan kesalahan teknis, melainkan indikasi adanya rekayasa hukum yang sistematis.
Dalam kacamata hukum pidana, manipulasi legalitas semacam ini bisa dikategorikan sebagai delik penyertaan (deelneming) dan penyalahgunaan kewenangan korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 3 UU Tipikor. Pelaku bisa terdiri atas individu direksi, pejabat BUMN, hingga oknum pejabat ATR/BPN.
Secara sosial, dampaknya tak kalah parah. Eks-karyawan kebun dan masyarakat sekitar yang memiliki hak garap atau kompensasi sering kali tersingkir tanpa proses hukum yang adil. Ketika tanah pertanian berubah menjadi kawasan elit, maka yang terpinggirkan bukan hanya petani, tetapi juga keadilan sosial itu sendiri.
Jika dibiarkan, praktik ini akan menciptakan preseden berbahaya: negara secara de facto kehilangan kedaulatan atas tanahnya sendiri. Hukum agraria yang dirancang untuk keadilan sosial berubah menjadi instrumen kapitalisasi oleh elite birokrasi dan pengusaha.
Karena itu, pemerintah harus segera memberlakukan moratorium nasional terhadap perubahan HGU aktif menjadi HGB, khususnya di wilayah kerja PTPN Regional I dan entitas afiliasinya. Langkah ini penting untuk mencegah penggerusan aset negara lebih lanjut dan memulihkan kepercayaan publik terhadap tata kelola BUMN.
Kejaksaan Agung dan KPK harus masuk dengan pendekatan hukum korupsi aset negara. Penggunaan tanah negara tanpa dasar hukum yang sah adalah bentuk penyimpangan yang memenuhi unsur abuse of power. Di sini, penegakan hukum bukan semata soal pidana, tetapi soal mengembalikan kedaulatan negara atas tanahnya.
Kasus PTPN Reg I – PT PAL Reg I – PT Citraland adalah potret paradoks pembangunan: di atas nama investasi, aset negara dikonversi menjadi kapital privat. Dalam negara hukum, setiap jengkal tanah negara adalah amanah, bukan komoditas. Dan amanah itu, cepat atau lambat, akan menuntut pertanggungjawaban — bukan hanya di hadapan hukum, tetapi juga di hadapan rakyat.
Demikian.
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Aktivis Rakyat Banyak.


Posting Komentar
0Komentar