"Perkebunan dan Krisis Agraria Struktural: Antara Monopoli Tanah dan Ketertutupan Informasi HGU"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Sektor perkebunan, yang sejak masa kolonial menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, ironisnya masih menyimpan luka lama yang tak kunjung sembuh: ketimpangan penguasaan tanah. Di balik gemerlapnya ekspor sawit dan klaim keberhasilan investasi, terbentang jurang ketidakadilan agraria yang kian menganga. Persoalan perkebunan bukan sekadar teknis produksi, melainkan persoalan struktural yang menyinggung inti relasi kuasa antara negara, korporasi, dan rakyat.


Sejak awal, sistem agraria di sektor perkebunan dibangun di atas model eksploitatif yang diwariskan dari masa kolonial Belanda. Pola ini menempatkan tanah sebagai alat akumulasi modal, bukan sebagai sumber penghidupan rakyat. Akibatnya, reformasi politik pasca-kemerdekaan gagal menembus dinding tebal oligarki tanah. Pemerintah datang silih berganti, namun monopoli tetap menjadi wajah abadi sektor ini.


Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, dari 16 juta hektar lahan perkebunan sawit di Indonesia, hanya 2.281 perusahaan yang menguasainya. Ironisnya, 53,5 persen berada di Sumatra dan 41,9 persen di Kalimantan—dua wilayah yang seharusnya menjadi episentrum kesejahteraan petani, bukan sarang korporasi. Sebanyak 54,08 persen lahan dikuasai perusahaan swasta, 42,29 persen oleh rakyat, dan hanya 3,63 persen yang masih dimiliki BUMN melalui PTPN.


Angka-angka ini menggambarkan ketimpangan akut. Negara seakan tak berdaya di hadapan kekuatan modal. Petani kecil, yang seharusnya menjadi subjek utama pembangunan agraria, justru terpinggirkan oleh kebijakan yang cenderung pro-korporasi. Padahal Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Masalah kedua yang tak kalah serius adalah penelantaran tanah. Berdasarkan laporan pemerintah tahun 2023, terdapat 7,24 juta hektar tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang terlantar. Fenomena ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang menegaskan bahwa hak atas tanah diberikan untuk diusahakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.


Pasal 27 UUPA menyebutkan bahwa hak atas tanah hapus apabila tanahnya ditelantarkan. Pemerintah sebenarnya telah menegaskan mekanisme penertiban tanah telantar melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini seakan hanya menjadi dokumen administratif tanpa daya paksa di lapangan.


Ketertutupan informasi Hak Guna Usaha (HGU) bukanlah sekadar persoalan administratif, melainkan cermin dari konspirasi kekuasaan antara birokrasi dan modal. Ketika Mahkamah Agung dan Komisi Informasi Pusat telah menetapkan bahwa data HGU adalah informasi publik, tetapi pemerintah justru menutupinya melalui Surat Edaran Kemenko Perekonomian, maka yang tampak bukanlah kelalaian, melainkan kesengajaan. Dalam logika good governance, keterbukaan adalah fondasi keadilan; menutupinya sama saja dengan menegasikan hak rakyat untuk tahu, serta mengaburkan jejak monopoli tanah dan praktik korupsi agraria yang menggurita.


Ketertutupan ini memperlihatkan adanya jaringan kepentingan yang saling menopang antara aparatus negara dan pemilik modal besar. Keduanya membangun benteng hukum semu untuk melanggengkan penguasaan lahan skala besar, sementara rakyat kecil terus dipinggirkan dari akses terhadap tanah dan informasi. Inilah bentuk pemiskinan struktural yang paling brutal: rakyat dibuat buta terhadap haknya sendiri. Di tengah jargon transparansi dan digitalisasi pemerintahan, sikap menutup data HGU hanyalah topeng untuk melindungi privilese segelintir elit yang menari di atas kemiskinan rakyat yang diciptakan oleh kebijakan mereka sendiri.


Ketertutupan ini berimplikasi besar terhadap penegakan hukum dan keadilan sosial. Jika terdapat 16 juta hektar lahan sawit namun hanya 10 juta hektar yang memiliki HGU sah, maka 6 juta hektar sisanya berada dalam “zona abu-abu”: tak jelas status hukumnya, tak diketahui siapa pemiliknya, dan di mana letaknya. Dalam kekaburan seperti itu, tumbuh subur korupsi, tumpang tindih klaim, dan konflik horizontal.


Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak tahu. Tanah, yang menjadi sumber hidup bersama, tak seharusnya menjadi rahasia negara. Ketika pemerintah menutup akses terhadap data HGU, berarti ia turut menyembunyikan potensi pelanggaran hukum dan kejahatan agraria di balik tembok birokrasi.


Reforma agraria sesungguhnya bukan sekadar program redistribusi tanah, tetapi koreksi struktural atas ketimpangan penguasaan sumber daya. KPA menilai, reforma agraria di bawah pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, termasuk pemerintahan Prabowo yang baru berjalan, masih lebih banyak bersifat administratif ketimbang substantif. Komitmen politik untuk melawan monopoli tanah belum tampak sebagai prioritas nyata.


Padahal, pemerintah telah memiliki perangkat hukum yang cukup kuat. Selain UUPA 1960, terdapat Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria, serta PP No. 20 Tahun 2021 tentang Tanah Telantar. Instrumen hukum ini seharusnya menjadi senjata untuk menuntaskan konflik agraria dan menghapus monopoli tanah perkebunan. Namun tanpa kemauan politik, regulasi hanya menjadi pajangan normatif.


Persoalan agraria di sektor perkebunan adalah persoalan politik kekuasaan, bukan semata masalah administrasi tanah. Penguasaan lahan oleh segelintir perusahaan besar tak mungkin bertahan tanpa perlindungan politik. Inilah yang disebut agrarian capture—ketika kebijakan agraria dikendalikan oleh kepentingan korporasi. Negara pun kehilangan kedaulatan atas tanahnya sendiri.


Di banyak daerah, tanah telah menjadi ladang penderitaan, bukan lagi sumber kehidupan. Rakyat kecil menjadi korban ganda dari sistem agraria yang timpang: kehilangan tanah, kehilangan kebebasan, bahkan kehilangan nyawa. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2024 terdapat lebih dari 200 konflik agraria baru di Indonesia, dan lebih dari 60 persen di antaranya terjadi di sektor perkebunan. Setiap sengketa menyisakan luka sosial yang dalam—petani dikriminalisasi, dipenjara, diserang aparat, atau cacat akibat kekerasan dalam penggusuran. Ironisnya, tanah yang seharusnya menjadi ruang hidup rakyat justru berubah menjadi ruang kekuasaan korporasi, difasilitasi oleh negara melalui izin-izin yang tumpang tindih.


Aparatus negara yang semestinya menjadi pelindung hukum justru kerap hadir sebagai alat represi. Dalam banyak kasus, negara tak berdiri di sisi korban, melainkan menari di atas penderitaan rakyat yang terpinggirkan. Ketika aparat keamanan digunakan untuk mengamankan kepentingan korporasi, bukan melindungi petani, maka hukum kehilangan nuraninya. Inilah paradoks terbesar pembangunan agraria Indonesia: di atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dikorbankan. Reformasi agraria yang dijanjikan hanya menjadi retorika, sementara rakyat terus kehilangan ruang hidup dan kepercayaannya terhadap negara yang seharusnya mengayomi.


Maka, tugas besar pemerintahan hari ini adalah membalik paradigma. Negara harus hadir bukan sebagai pelindung modal, tetapi sebagai pelindung rakyat. Reforma agraria harus dimaknai sebagai penataan ulang relasi kekuasaan atas tanah—dari yang semula oligarkis menjadi demokratis. Pemerintah wajib membuka data HGU, menindak perusahaan penelantaran tanah, dan memastikan redistribusi tanah berjalan adil dan transparan.


Jika pemerintah terus menutup mata, maka sektor perkebunan akan tetap menjadi sumber konflik laten, bukan sumber kemakmuran nasional. Tanah adalah soal hidup dan mati rakyat. Seperti kata Bung Karno dalam pidatonya di Kongres Agraria 1960: “Tanah bagi rakyat adalah nyawa bangsa.” Dan ketika tanah dikuasai segelintir orang, sejatinya kemerdekaan itu sedang dirampas kembali oleh tangan-tangan yang berkuasa.


Demikian


Penulis, M.Taufik Umar Dani Harahap,SH., Praktisi Hukum

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)