Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Memang aneh bangsa ini. Korupsi, yang sejatinya kejahatan moral paling memalukan, justru kerap menjelma jadi tontonan publik yang menimbulkan rasa lelah sekaligus getir. Ia tak lagi menimbulkan rasa malu, apalagi penyesalan. Seolah korupsi bukan lagi dosa publik, melainkan profesi bergengsi dengan risiko ringan dan keuntungan berlipat.
Setiap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan, publik hanya terhenyak sejenak sebelum kembali pada rutinitas lupa. Dalam satu dekade terakhir saja, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata ada lebih dari 600 kasus korupsi per tahun dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 40–50 triliun, namun vonis rata-rata pelaku tak lebih dari 3 tahun penjara. Pola yang berulang ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi extraordinary crime, melainkan bagian dari kebiasaan birokrasi. Ia hidup dalam sistem yang menoleransi kejahatan atas nama prosedur. Dalam setiap proyek, perizinan, hingga politik anggaran, praktik rente dianggap lumrah—bukan penyimpangan, tapi “tradisi administrasi”.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, namun kesejahteraan rakyat masih sebatas retorika. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 25 juta warga masih hidup di bawah garis kemiskinan, sementara indeks persepsi korupsi (CPI) 2024 stagnan di angka 34, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dunia, jauh di bawah Malaysia (47) dan Vietnam (41). Ini potret negeri besar dalam sejarah, tapi kecil dalam moral dan tata kelola. Kita membanggakan kuantitas pembangunan fisik—jalan tol, bendungan, bandara—namun gagal membangun integritas dan keadilan sosial. Maka, di balik simbol kemajuan, berdiri kenyataan getir: negeri yang megah dalam angka, tapi rapuh oleh korupsi yang mendarah-daging.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kita hidup dalam negara yang irasional secara politik dan moral. Di satu sisi, rakyat dituntut jujur, taat pajak, dan sabar menghadapi kenaikan harga. Di sisi lain, elite mengobral integritas, menggadaikan kepercayaan publik demi memperkaya diri dan kelompok. Ironinya, banyak di antara mereka tetap tampil di podium, bicara moral, dan menasihati bangsa soal etika.
Sumber daya alam di keruk habis oleh korporasi besar. Hutan ditebang, tambang dieksploitasi, laut dijarah. Hasilnya tidak kembali pada rakyat, melainkan tersangkut di neraca keuntungan swasta atau bocor di jalur rente kekuasaan. Negara yang mestinya kaya, justru menanggung utang ribuan triliun. Seperti rumah tangga yang habis-habisan bekerja, tapi rekeningnya tetap kosong karena bocor di kantong orang lain.
Untuk menutup defisit, pemerintah menempuh jalan pintas: menaikkan pajak, menciptakan pungutan baru, dan menekan anggaran sosial. Rakyat yang sudah susah, kembali diperas atas nama stabilitas fiskal. Sementara itu, para penikmat rente menumpuk aset di luar negeri, membeli properti di kota-kota global, dan bersembunyi di balik jargon “investasi”.
Korupsi bukan lagi hanya tindakan melanggar hukum; ia sudah menjadi struktur sosial. Dalam sistem politik yang biaya pencalonannya tinggi dan patronase merajalela, integritas kalah oleh uang. Orang jujur tersingkir bukan karena bodoh, melainkan karena tidak punya modal untuk membeli “dukungan”. Demokrasi pun kehilangan jiwa, menjadi sekadar ritual elektoral tanpa nurani.
Yang paling menyedihkan, banyak aparat penegak hukum ikut bermain di arena yang sama. Dari kasus narkoba hingga suap proyek, tak jarang pelakunya justru orang berseragam atau berjas penegak hukum. Ketika hukum bisa dinegosiasikan, moral bangsa ikut runtuh. Kepercayaan publik pun hancur pelan-pelan, diganti sinisme yang akut: “semua bisa diatur.”
Fenomena “tertawanya elite” di tengah penderitaan rakyat bukan lagi metafora, tapi fakta sosial. Lihatlah pesta politik, perayaan proyek, atau seremoni pejabat yang tak segan berpidato tentang “pengabdian” sementara di belakang layar menandatangani kontrak yang menguntungkan diri sendiri dan orang lain. Nurani publik dirampas oleh kemunafikan yang dilembagakan.
Padahal, korupsi adalah bentuk kekerasan terselubung terhadap rakyat. Ia mencuri hak pendidikan anak miskin, menghilangkan obat bagi pasien miskin, dan merampas kesempatan kerja dari penganggur. Setiap rupiah yang dikorup berarti satu nyawa yang gagal diselamatkan oleh sistem yang mestinya melindungi.
Lebih jauh, korupsi menciptakan ketimpangan sosial yang ekstrem. Segelintir orang hidup berlebihan di tengah lautan kemiskinan. Mereka menikmati fasilitas negara yang dibangun dari pajak rakyat, sambil berlagak sebagai penyelamat ekonomi. Padahal, merekalah yang menyebabkan jurang itu makin dalam.
Sementara itu, pendidikan moral di sekolah dan kampus kehilangan daya gigitnya. Generasi muda dibentuk untuk berpikir pragmatis—bahwa sukses identik dengan kekayaan, bukan kebermanfaatan. Nilai integritas yang dahulu menjadi ukuran kepribadian kini tergeser oleh logika kompetisi material. Di ruang kelas, kejujuran kalah oleh target indeks prestasi; di ruang publik, idealisme mati di hadapan uang dan jabatan. Maka lahirlah generasi yang cerdas secara akademik, namun gersang secara etik—generasi yang mahir membuat laporan, tapi gagap menghadapi krisis moral. Pendidikan kehilangan makna ketika lembaga-lembaga akademik tak lagi menjadi penjaga nurani bangsa, melainkan sekadar pabrik gelar dan jabatan.
Ironi itu kini menjelma nyata di Sumatera Utara. Seorang rektor universitas ternama disebut-sebut dalam pusaran dugaan korupsi proyek infrastruktur daerah, bahkan dipanggil KPK sebagai saksi fakta—namun mangkir tanpa konsekuensi. Aneh tapi nyata, sosok yang seharusnya menjadi teladan justru bisa mendaftar kembali sebagai calon rektor dan berpidato tentang visi-misi akademik. Fenomena ini menegaskan betapa dunia pendidikan telah terseret ke dalam kubangan moral yang sama dengan politik: menganggap reputasi sebagai formalitas, dan etika sebagai hiasan administratif. Jika kampus—benteng terakhir akal sehat—ikut membenarkan kebusukan, maka siapa lagi yang bisa diharap menyalakan kembali cahaya kebenaran di negeri ini?
Dalam situasi ini, negara seolah kehilangan kompas moral. Lembaga-lembaga pengawas kerap lumpuh oleh kompromi politik. Reformasi birokrasi menjadi jargon yang indah tapi kosong makna. Kita punya regulasi antikorupsi yang tebal, tapi kehilangan teladan moral yang nyata di ruang kekuasaan.
Korupsi di negeri ini bukan sekadar soal uang; ia adalah cermin kegagalan spiritual. Ketika orang tidak lagi merasa berdosa mencuri uang publik, berarti ada yang retak dalam kesadaran keagamaan dan moral bangsa. Agama dijadikan ornamen politik, bukan sumber ketulusan. Upacara keagamaan dijalankan, tapi hati tetap beku terhadap penderitaan sesama.
Kita bisa membangun sistem hukum yang lebih tegas, memperkuat lembaga antikorupsi, dan memperketat transparansi anggaran. Tapi selama kesadaran publik tidak berubah, semua itu hanya kosmetik. Korupsi akan tetap menemukan celah baru di antara retakan moral yang belum sembuh.
Efek jera tidak akan pernah lahir dari hukuman yang ringan, tapi juga tidak dari ancaman berat tanpa keadilan substantif. Ia hanya lahir jika masyarakat menolak korupsi sebagai budaya. Jika publik berhenti menormalisasi “uang terima kasih”, “jatah proyek”, dan “honor tambahan”, maka sedikit demi sedikit struktur dosa publik ini bisa diguncang.
Perjuangan melawan korupsi bukan soal membenci pelaku, melainkan menyelamatkan akal sehat dan moral bangsa. Ia harus dimulai dari ruang-ruang kecil: keluarga, sekolah, kantor, dan komunitas sosial. Setiap tindakan jujur, sekecil apa pun, adalah bentuk perlawanan terhadap dosa publik yang mengakar.
Akhirnya, bangsa ini hanya akan pulih jika nurani kembali dihidupkan. Korupsi bukan takdir sejarah, melainkan pilihan sadar yang lahir dari kerakusan, kerusakan dan kebisuan moral. Selama pejabat masih bisa tertawa dan menari-nari di atas penderitaan rakyat, sementara publik memilih diam di hadapan kebusukan dan matinya nurani, maka kita sedang menggali kubur peradaban sendiri. Negeri ini pasti runtuh karena perbuatan korup elitenya dimana rakyat disengaja menjadi miskin dan keterbelakangan. Di saat korupsi menjadi budaya dan kejujuran dan hidup nurani dianggap kebodohan, kehancuran bukan lagi ancaman—melainkan kenyataan yang tinggal menunggu waktu.
Demikian
Penulis Praktisi Hukum dan Aktivis Rakyat Banyak.


Posting Komentar
0Komentar