Oleh: Selwa Kumar – Forum Penyelamat USU, Jakarta
Penundaan pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) bukanlah keputusan teknis semata. Ia adalah cermin dari krisis moral dan tata kelola akademik yang tengah mengguncang fondasi universitas negeri kebanggaan Sumatera Utara ini.
Melalui pernyataan Sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) USU, Prof. Dr. Tamrin, M.Sc., dikonfirmasi bahwa rapat pleno MWA memutuskan penundaan proses pemilihan rektor selama dua hingga tiga pekan. Alasan resminya: “untuk memastikan tata kelola yang baik.” Namun publik akademik membaca lebih dalam, ada sesuatu yang jauh lebih serius di balik jeda waktu ini.
Selama berbulan-bulan, atmosfer pemilihan rektor USU diwarnai aroma politik yang pekat: dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), intervensi eksternal, serta praktik transaksional yang mencederai nilai akademik. Kampus, yang mestinya menjadi ruang rasionalitas dan otonomi keilmuan, tampak terseret dalam pusaran kekuasaan. Demokrasi kampus bergeser menjadi arena kepentingan, bukan kompetisi gagasan.
“Kami menemukan indikasi kuat bahwa proses Pilrek USU tidak hanya cacat prosedur, tapi juga cacat moral. Terjadi kecurangan TSM, di mana terdapat indikasi adanya intervensi dan tekanan terhadap anggota senat dilakukan secara terorganisir untuk mengarahkan suara pemilihan. Ini bukan sekadar dugaan, ini alarm moral yang nyata,” tegas Selwa Kumar, Anggota Forum Penyelamat USU.
Selwa juga menyoroti bahwa proses Pilrek dilakukan dalam situasi kepemimpinan yang amoral: USU masih dipimpin oleh Rektor, Prof. Muryanto Amin yang diduga terlibat kasus korupsi, dan berbagai masalah integritas, serta berbagai kepentingan proyek kampus dan kebijakan kontroversial lainnya. “Kami menuntut agar Muryanto Amin dicopot dari jabatan Rektor, karena tidak layak secara moral, selain itu ia masih memimpin USU dan proses Pilrek berjalan dibawah kekuasaannya. Bagaimana mungkin seorang Rektor bermasalah yang berkepentingan dalam proses Pilrek justru ikut proses itu sendiri?” lanjut Selwa.
Selain itu, Forum menilai penundaan pemilihan tidak akan menyelesaikan akar persoalan bila tidak disertai reformasi menyeluruh. “Kami mendesak agar Pilrek USU diulang secara terbuka, transparan, dan tanpa keterlibatan Muryanto Amin. Proses baru harus diawasi oleh panitia independen, bukan oleh pihak yang memiliki rekam jejak keberpihakan,” ujarnya tegas.
Kecurigaan publik semakin menguat setelah beredar informasi tentang pelanggaran asas LUBER dan JURDIL. Salah satunya, tindakan Prof. Basyuni yang tertangkap kamera tengah memfoto kertas suara di bilik pemilihan—sebuah tindakan yang menodai prinsip rahasia dan jujur dalam demokrasi akademik. “Jika pelanggaran terang-terangan seperti ini dibiarkan, maka USU sedang memberi pesan buruk kepada mahasiswanya: bahwa etika bisa dinegosiasikan demi kekuasaan,” kata Selwa.
Penundaan Pilrek ini seharusnya tidak dimaknai sebagai upaya meredam gejolak, tetapi sebagai momentum reformasi moral dan kelembagaan. MWA harus membuka seluruh proses secara transparan, melakukan audit etik menyeluruh, dan mengungkap fakta kepada publik. Tanpa langkah berani ini, penundaan hanya akan memperdalam krisis kepercayaan.
“USU kini berada di titik nadir sejarahnya. Jika universitas gagal membersihkan diri dari praktik kecurangan dan intervensi kekuasaan, maka yang runtuh bukan hanya kepemimpinan rektor, melainkan jiwa universitas itu sendiri,” tutup Selwa.
FP-USU Jakarta menyerukan kepada seluruh civitas akademika, mahasiswa, dan alumni untuk bersatu mengawal moralitas kampus. “USU bukan milik elite birokrasi, tetapi milik publik intelektual yang percaya bahwa kejujuran adalah puncak dari kecerdasan.”Selwa Kumar Pengurus PP IKA USU Alumnus Fakultas Sastra USU


Posting Komentar
0Komentar