Secara geografis, USU memang bukan pusat gravitasi kekuasaan
nasional. Namun secara geopolitik, ia memegang peran penting sebagai “pintu
masuk” pengaruh ke Sumatera Utara—provinsi dengan basis pemilih besar,
heterogen, dan strategis bagi kontestasi nasional. Karena itu, siapa yang
mengendalikan USU, dalam perspektif kekuasaan, bisa dianggap menguasai persepsi
dan jaringan sosial intelektual Sumut.
Fenomena inilah yang disebut banyak kalangan sebagai Operasi
TOBA—bagian dari pola besar Operasi Solo, yakni upaya sistematis menguasai
rektor-rektor perguruan tinggi negeri (PTN) strategis di berbagai provinsi
untuk memengaruhi lanskap politik nasional menjelang Pemilu 2029. Targetnya
jelas: membangun hegemoni melalui lembaga pendidikan tinggi, bukan hanya
melalui partai atau birokrasi.
Indikasi ini makin menguat ketika proses pemilihan Rektor
USU justru dibayangi aroma politisasi dan dugaan keterlibatan figur-figur
kekuasaan lokal yang terafiliasi dengan lingkar kekuasaan pusat. Sinyal paling
mencolok muncul dari dukungan massif kepada rektor incumbent, yang belakangan
tengah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait aliran dana korupsi
pejabat daerah.
Dugaan keterlibatan dana korupsi dalam pembiayaan pemilihan
rektor bukan hanya melanggar etika akademik, tetapi juga merupakan kejahatan
terhadap nilai-nilai universitas itu sendiri. Di sinilah publik menaruh harapan
agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bertindak
tegas—bukan hanya menunda, tetapi juga menata ulang seluruh proses pemilihan
secara sistemik.
Langkah Dikti untuk menunda pelaksanaan pemilihan Rektor USU
patut diapresiasi sebagai keputusan strategis. Namun penundaan semata tidak
akan banyak berarti jika tidak dibarengi dengan langkah-langkah korektif yang
mendasar. Kendali struktural di tangan rektor incumbent yang telah menguasai
mayoritas anggota Senat Akademik (SA)—bahkan diduga mewajibkan anggota memotret
surat suara di bilik pemilihan—menunjukkan betapa dalamnya luka integritas yang
mesti disembuhkan.
Karena itu, solusi yang paling rasional dan konstitusional
ialah penunjukan Pelaksana Tugas (PLT) Rektor dari unsur luar USU, yakni
pejabat Dikti yang memiliki jarak aman dari kepentingan lokal maupun pusat.
Penunjukan dari kalangan Wakil Rektor yang saat ini menjabat justru berisiko
melanggengkan kendali lama yang sudah terkontaminasi.
PLT Rektor harus diberi mandat yang cukup panjang dan jelas:
membersihkan suasana internal kampus, memastikan proses demokrasi kampus
berjalan sehat, serta membangun kembali kepercayaan sivitas akademika. Ia tidak
hanya bertugas sebagai pejabat sementara, melainkan sebagai pemulih integritas
institusional USU.
Langkah berikutnya, jika diperlukan, adalah melakukan
reshuffle terhadap jajaran Wakil Rektor. Beberapa posisi yang diduga sudah
terikat dengan kepentingan operasi politik mesti diisi oleh figur-figur
akademik yang bersih, berintegritas, dan diterima luas oleh sivitas.
Kendali PLT Rektor kemudian diarahkan pada reformasi
menyeluruh dalam sistem representasi kampus: mulai dari pemilihan ulang anggota
Senat Akademik hingga Majelis Wali Amanat (MWA). Proses ini harus dilakukan
dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan verifikasi publik agar tidak lagi
dikooptasi oleh satu rezim kekuasaan kampus.
Khusus untuk MWA, unsur masyarakat perlu dikaji ulang. Unsur
eksternal ini seringkali menjadi titik lemah yang dimanfaatkan untuk
mengamankan kepentingan politik tertentu. Pembentukan ulang MWA yang bebas dari
pengaruh rezim “Solo” adalah keharusan agar pemilihan rektor mendatang
benar-benar bebas dari manipulasi.
Baru setelah fondasi tersebut dibangun, proses penjaringan
calon rektor dapat dilakukan secara terbuka dan sehat. Kandidat yang muncul
haruslah orang-orang dengan kapasitas akademik, rekam jejak moral, dan komitmen
kebangsaan yang tak diragukan. Tanpa perbaikan struktur, demokrasi kampus hanya
menjadi ritual formal yang penuh sandiwara.
Krisis integritas yang kini menimpa USU bukan sekadar
masalah individu, tetapi cerminan rusaknya tata kelola perguruan tinggi akibat
intervensi politik kekuasaan. Jika kampus negeri sebesar USU dapat dikooptasi
demi kepentingan politik dinasti, maka masa depan pendidikan tinggi Indonesia
sedang dalam ancaman serius.
Kekhawatiran bahwa Operasi TOBA bertujuan untuk memastikan
keberlanjutan kekuasaan lokal menuju Pemilu 2029 harus menjadi alarm bagi
negara. Ada indikasi bahwa penguasaan kampus digunakan sebagai alat legitimasi
politik, bukan lagi sebagai benteng moral dan intelektual.
Sumatera Utara tidak boleh menjadi laboratorium politik
dinasti yang dibungkus dengan jargon akademik. USU harus kembali menjadi rumah
bagi ilmu pengetahuan, bukan alat bagi ambisi kekuasaan siapa pun. Kementerian
harus memutus siklus kendali politik ini secara tegas dan menyeluruh.
Penunjukan PLT Rektor dengan kewenangan penuh adalah
satu-satunya cara untuk mengembalikan marwah USU. Jika dibutuhkan waktu panjang
untuk menormalisasi keadaan, tidak ada salahnya memperpanjang masa PLT hingga
situasi benar-benar stabil. Yang penting, proses regenerasi kepemimpinan kampus
tidak lagi dikelilingi intrik dan transaksionalitas.
Sebagai alumni dan bagian dari keluarga besar USU, tanggung
jawab moral kita bukan sekadar mengkritik, tetapi menjaga agar universitas ini
tetap menjadi mercusuar intelektual Sumatera Utara. Menyelamatkan USU berarti
menyelamatkan masa depan kebangsaan dari infiltrasi kekuasaan yang menjadikan
ilmu pengetahuan sekadar alat politik.
Demikian.
Penulis adalah Alumni Fakultas FIB USU Stambuk' 87, Anggota
Forum Penyelamat USU serta PP IKA USU Bidang Sastra, Budaya dan Olahraga


Posting Komentar
0Komentar