Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
(Praktisi Hukum)
Pendahuluan
“Kebijakan ekonomi bukan sekadar angka pertumbuhan, tapi soal arah sejarah yang dipilih suatu bangsa.”
Ketika Prabowo Subianto resmi mengemban amanah sebagai Presiden RI, publik disuguhi janji monumental: pertumbuhan ekonomi 8% per tahun. Di atas kertas, ini bukan sekadar ambisi, tapi manifesto arah sejarah baru yang ingin dibangun melalui Prabowonomics—sebuah sintesis antara nasionalisme ekonomi, intervensi negara dalam distribusi kekayaan, dan dorongan pada swasembada pangan serta energi. Namun, dalam lanskap global yang dilanda perang dagang, disrupsi rantai pasok, serta kebangkitan proteksionisme baru pasca-pandemi dan konflik, janji tersebut dihadapkan pada realitas keras yang bahkan negara-negara besar pun sulit menjinakkannya.
Akar dari Prabowonomics sesungguhnya sudah tertuang dalam buku Paradoks Indonesia (2017), di mana Prabowo menyuarakan kegelisahannya atas kekayaan nasional yang bocor ke luar negeri dan ketimpangan yang mengancam stabilitas. Ia mengusulkan peran negara yang lebih tegas dalam menjaga kedaulatan ekonomi, memperkuat sektor primer, dan membendung arus liberalisasi yang membabi buta. Narasi ini kemudian dijabarkan dalam Asta Cita, delapan program prioritas pemerintahan Prabowo, mulai dari kemandirian pangan, energi, industrialisasi, hingga revolusi mental dan pembangunan manusia unggul. Dalam kerangka ini, ekonomi dipandang bukan sebagai angka-angka statistik, tetapi sebagai medan perjuangan peradaban.
Namun tantangannya nyata dan kompleks. Ketegangan geopolitik di Laut China Selatan, konflik Ukraina dan Timur Tengah, hingga fragmentasi ekonomi global akibat rivalitas AS-Tiongkok membuat perdagangan internasional tidak lagi netral. Dunia bergerak menuju “blok ekonomi”, bukan pasar bebas. Di sinilah Prabowonomics diuji: mampu atau tidak membangun kemandirian ekonomi nasional tanpa jatuh pada autarki yang usang, atau menjadi satelit ekonomi kekuatan besar. Apalagi, proyek makan siang gratis dan modernisasi militer menuntut ruang fiskal yang besar, di saat rasio utang sudah menembus 39% PDB. Jika belanja negara tak disertai manajemen risiko fiskal yang disiplin, maka cita-cita bisa berubah jadi jebakan.
Prabowo ingin keluar dari paradoks: negara kaya sumber daya, tapi rakyat miskin. Namun untuk menjawab paradoks itu, ia harus melawan paradoks baru: membangun kemandirian di tengah dunia yang saling terhubung namun semakin berkonflik. Masa depan Prabowonomics tidak hanya akan ditentukan oleh kemampuannya menumbuhkan ekonomi, tetapi oleh keberaniannya mendefinisikan ulang arah sejarah Indonesia—sebagai bangsa yang berdikari, berdaulat, dan tidak tunduk pada logika pasar global semata.
Apa Itu Prabowonomics?
Prabowonomics bukan sekadar slogan politik atau jargon kampanye. Ia adalah representasi konkret dari visi ekonomi Presiden Prabowo Subianto yang berakar pada dua arus besar: kapitalisme nasionalis dan populisme sosialis. Di satu sisi, ia mendukung industrialisasi dan efisiensi pasar; di sisi lain, ia menegaskan pentingnya keberpihakan negara pada rakyat kecil. Dalam konteks ini, Prabowonomics mencoba menjembatani jurang antara efisiensi dan keadilan sosial. Ia menjanjikan pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, sebuah target ambisius yang memerlukan orkestrasi fiskal, moneter, dan kelembagaan yang sangat presisi.
Program-program utama Prabowonomics mencerminkan sintesis pemikiran ini: swasembada energi dan pangan berbasis biofuel sawit, pertanian terintegrasi, serta perluasan jaminan sosial berupa makan siang dan susu gratis untuk siswa, hingga subsidi pendidikan. Prabowo menolak pendekatan trickle-down economics—sebuah doktrin ortodoks yang meyakini bahwa kekayaan di puncak piramida sosial perlahan akan menetes ke bawah. Baginya, pemerataan harus dirancang sejak awal, bukan ditunggu sebagai efek samping dari pertumbuhan.
Namun untuk memahami akar Prabowonomics, kita tak bisa melewatkan pengaruh pemikiran alm. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo—ayah Prabowo dan tokoh penting dalam sejarah perumusan strategi ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan. Soemitro adalah arsitek utama ekonomi Indonesia dalam berbagai era, dari Kabinet Hatta hingga Orde Baru. Ia menekankan pentingnya peran negara dalam pembangunan, perlunya industrialisasi nasional, dan tidak mempercayai pasar sepenuhnya dalam menata keadilan. Dalam Prabowonomics, warisan ini bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih modern—berpadu dengan geopolitik baru dan tekanan global yang lebih kompleks.
Yang membedakan Prabowonomics dari model ekonomi sebelumnya adalah keberaniannya memasukkan pendekatan populis secara terang-terangan ke dalam kebijakan fiskal. Program makan siang gratis, misalnya, bukan hanya soal pemenuhan gizi, tetapi juga strategi membentuk human capital sejak dini—sebuah langkah yang diadopsi dari model pendidikan negara-negara Skandinavia. Di sinilah terlihat bahwa Prabowo tidak sekadar mengulang narasi proteksionisme lama, tetapi mencoba menyesuaikannya dengan kebutuhan kontemporer.
Namun keberanian ini akan diuji. Tantangan global seperti volatilitas harga komoditas, geopolitik yang tidak stabil, dan tekanan fiskal akibat utang membuat implementasi Prabowonomics berpotensi menjadi pertarungan antara idealisme dan kenyataan. Model pembangunan yang berorientasi negara memang menjanjikan keadilan distribusi, tetapi berisiko jika dijalankan tanpa efisiensi birokrasi dan reformasi struktural yang serius. Sejarah mencatat bahwa banyak ekonomi populis gagal bukan karena niat, tetapi karena pelaksanaan yang tumpul dan birokrasi yang korup.
Jika berhasil, Prabowonomics bisa menjadi model pembangunan khas Indonesia: tidak liberal seperti Washington Consensus, tapi juga tidak tertutup seperti model autarki Orde Lama. Ia bisa menjelma sebagai jalan ketiga Indonesia di tengah dunia yang semakin bipolar. Sebuah visi ekonomi yang bukan hanya tentang angka-angka makro, tetapi tentang arah sejarah dan martabat nasional. Dalam konteks ini, Prabowonomics bukan hanya program kerja, melainkan upaya merumuskan kembali jati diri bangsa dalam percaturan ekonomi global.
Tantangan Global: Era Baru “Perang Total”
Kebijakan ekonomi nasional tidak bisa dilepaskan dari peta konflik global. Ketika Prabowo Subianto menjanjikan pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, dunia justru sedang terseret dalam pusaran polycrisis: kombinasi antara perang terbuka, krisis energi, disrupsi rantai pasok, dan fragmentasi geopolitik. Laporan IMF edisi April 2025 mencatat bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi global turun ke angka 2,8%, level terendah sejak pandemi COVID-19, disertai lonjakan ketidakpastian di sektor perdagangan, moneter, dan energi.
Di kawasan Timur Tengah, konflik bersenjata antara Iran dan Israel telah meledak menjadi perang terbuka, memicu lonjakan harga minyak global dan mengancam stabilitas Selat Hormuz—jalur vital pengangkutan minyak dunia. Dunia menghadapi ancaman disrupsi energi besar-besaran. Sebagai negara pengimpor minyak bersih, Indonesia akan menanggung lonjakan biaya energi dan subsidi yang bisa membebani fiskal secara struktural. Di sisi lain, kenaikan harga minyak juga berdampak pada biaya logistik dan inflasi domestik, yang bisa memukul konsumsi rumah tangga—motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Konflik antara India dan Pakistan, dua negara bersenjata nuklir di Asia Selatan, menambah daftar ketegangan global yang berimplikasi langsung terhadap kestabilan kawasan Indo-Pasifik. Ketegangan ini mengganggu arus perdagangan dan investasi lintas Asia Selatan, termasuk India yang merupakan mitra dagang strategis Indonesia. Investasi langsung asing (FDI) cenderung menahan diri dalam situasi geopolitik yang genting. Risiko persepsi negara berkembang sebagai wilayah “berisiko tinggi” akan semakin kuat, mempersulit agenda industrialisasi Prabowonomics yang sangat bergantung pada arus modal masuk dan transfer teknologi.
Ketergantungan Indonesia terhadap ekspor komoditas primer juga menjadi titik rawan. Penurunan harga sawit, batubara, dan nikel akibat melambatnya permintaan global dari Tiongkok dan Uni Eropa membuat neraca perdagangan rentan terguncang. Dalam sistem ekonomi terbuka seperti Indonesia, gejolak harga komoditas langsung berdampak pada nilai tukar rupiah, pendapatan negara, dan daya saing ekspor manufaktur. Tanpa diversifikasi basis ekonomi yang kuat, Prabowonomics dapat terjebak dalam commodity trap yang mengekang ruang fiskal untuk kebijakan sosial populis.
Kenaikan suku bunga global yang dipimpin oleh The Fed dan European Central Bank menambah tekanan. Biaya pinjaman internasional meningkat, membebani bunga utang negara yang pada 2024 tercatat telah mencapai 39,2% dari PDB. Sementara itu, program makan siang gratis dan infrastruktur sosial lainnya—dengan estimasi biaya sekitar Rp400 triliun per tahun—menuntut pembiayaan besar. Dalam situasi ini, menjaga disiplin fiskal tanpa mengorbankan janji kampanye akan menjadi ujian berat bagi kredibilitas ekonomi pemerintahan Prabowo.
Kita menghadapi era “perang total”, bukan hanya di medan militer, tetapi juga di meja perdagangan, pasar obligasi, jalur energi, dan kepercayaan investor. Dalam lanskap ini, Prabowonomics harus mampu menavigasi badai global dengan pendekatan strategis yang adaptif, realistis, dan berpijak pada stabilitas makro. Bukan sekadar mengejar pertumbuhan tinggi, tapi memastikan pertumbuhan yang tangguh dalam dunia yang makin tak pasti. Di tengah gelombang global ini, bangsa yang mampu membaca peta akan tetap berlayar; yang hanya bergantung pada angin, akan karam.
Kebijakan Pertahanan: Investasi atau Beban?
Sebagai mantan Panglima Kopassus dan Menhan dua periode, Prabowo Subianto membawa warisan militeristik yang sangat kuat ke dalam kepresidenannya. Salah satu prioritas awal yang langsung mencolok adalah modernisasi pertahanan. Belanja alutsista ditingkatkan secara signifikan, dengan penguatan diplomasi militer melalui kemitraan strategis dengan negara-negara seperti Prancis, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab. Indonesia bukan lagi sekadar pembeli senjata, tetapi mulai diarahkan menjadi pemain aktif dalam industri pertahanan regional.
Kebijakan ini memiliki sisi terang. Di tengah dunia yang semakin tidak stabil, kekuatan militer bukan lagi pelengkap, melainkan instrumen utama dalam menegosiasikan posisi geopolitik. Penguatan pertahanan memperkuat daya tawar Indonesia di kawasan Indo-Pasifik, termasuk dalam sengketa Laut China Selatan yang kian memanas. Lebih dari itu, kolaborasi militer membuka ruang bagi industrialisasi berbasis pertahanan dalam negeri—dari PT Pindad hingga PT PAL—yang jika dikelola baik, bisa menciptakan economic spillover ke sektor teknologi, manufaktur, hingga ketenagakerjaan.
Namun sisi gelapnya tidak kalah serius. Anggaran pertahanan pada 2025 melonjak ke Rp165 triliun, menjadikannya salah satu pos belanja terbesar setelah pendidikan dan infrastruktur. Dalam konteks fiskal yang sempit—terutama akibat pembiayaan proyek makan siang gratis dan subsidi sosial lainnya—belanja militer berisiko menjadi beban. Setiap rupiah yang ditarik ke sektor pertahanan berpotensi mengurangi porsi untuk pendidikan, layanan kesehatan, dan mitigasi iklim. Jika tak dikawal transparansi dan akuntabilitasnya, pengadaan alutsista bisa berubah menjadi ladang rente dan korupsi.
Dari perspektif ekonomi Keynesian, belanja pertahanan memang bisa merangsang agregat demand, terutama jika barang dan jasanya diproduksi dalam negeri. Tetapi jika pembelian alutsista masih didominasi oleh produk impor tanpa transfer teknologi yang signifikan, maka multiplier effect akan sangat rendah. Belanja besar akan keluar sebagai devisa, bukan berputar dalam ekonomi nasional. Dalam skenario ini, pertahanan bukan investasi, melainkan lubang fiskal jangka panjang yang memperlemah fondasi pembangunan.
Prabowo tampaknya sedang membentuk military-industrial doctrine baru untuk Indonesia—dengan niat menjadikan pertahanan sebagai lokomotif pertumbuhan, bukan hanya beban anggaran. Tetapi pertanyaan kritisnya adalah: apakah kita sedang membangun kemandirian pertahanan nasional, atau sekadar mengulangi pola konsumtif berbaju nasionalisme? Dalam dunia yang berubah cepat, kekuatan militer memang penting, tapi kekuatan ekonomi, sosial, dan moral tak boleh dikorbankan atas nama ancaman yang belum tentu datang.
Antara Kemandirian dan Ketergantungan Baru
Salah satu pilar utama Prabowonomics adalah dorongan kuat menuju kemandirian pangan dan energi nasional. Gagasan ini bukan hal baru. Ia berakar pada structuralist development theory (Prebisch-Singer), yang menegaskan bahwa negara-negara berkembang tak akan pernah maju jika terus bergantung pada ekspor bahan mentah dan impor produk jadi. Prabowo ingin memutus siklus itu. Ia menawarkan biofuel berbasis sawit, program lumbung pangan, dan swasembada energi sebagai jalan menuju kedaulatan ekonomi. Namun, sejarah mencatat: nasionalisme ekonomi tanpa kesiapan struktur produksi hanya akan menggantikan satu bentuk ketergantungan dengan bentuk lainnya.
Faktanya, ketergantungan pangan Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan data Bappenas, lebih dari 80% kebutuhan kedelai dan 90% bawang putih masih diimpor. Gandum, bahan utama konsumsi rakyat, hampir 100% berasal dari luar negeri. Ini bukan sekadar angka statistik, tapi potret rapuhnya fondasi kedaulatan pangan kita. Dalam sistem global yang penuh ketegangan dan embargo potensial, ketergantungan seperti ini adalah kerentanan strategis. Kemandirian pangan tidak cukup hanya dengan slogan, tetapi harus ditopang oleh investasi besar di sektor produksi primer, riset agrikultur, dan rantai logistik yang efisien.
Di sektor energi, pemerintah mengandalkan biofuel sawit sebagai tulang punggung transisi energi. Namun di sinilah paradoks baru muncul: ambisi kemandirian energi bertemu dengan ancaman krisis ekologis. Ekspansi kebun sawit yang masif, jika tidak dikendalikan, akan memperluas deforestasi, memperburuk kebakaran hutan, dan menambah emisi karbon Indonesia. Tanpa reformasi agraria, penguatan koperasi petani, dan perlindungan kawasan lindung, Prabowonomics berisiko menukar ketergantungan energi impor dengan ketergantungan ekologis yang tak kalah berbahaya.
Lebih dalam lagi, cita-cita kemandirian nasional membutuhkan fondasi teknologi yang kuat. Saat ini, ketergantungan Indonesia terhadap impor alat dan teknologi pertanian masih tinggi. Mesin panen, bibit unggul, hingga pupuk sintetis masih dikuasai korporasi asing. Tanpa investasi serius pada riset, inovasi lokal, dan industrialisasi pertanian, program kemandirian hanya akan melahirkan “nasionalisme kosmetik”—tampak berdikari, tapi dalamnya masih dijajah ketergantungan struktural. Ini adalah jebakan klasik yang telah banyak menjatuhkan negara berkembang.
Prabowo menawarkan mimpi kemandirian, dan itu patut diapresiasi. Tetapi mimpi tak cukup tanpa instrumen konkret. Kedaulatan pangan dan energi harus dibangun di atas basis produksi yang adil, hijau, dan berkelanjutan. Jika tidak, Prabowonomics akan gagal menjawab tantangan zaman: membebaskan Indonesia dari ketergantungan luar negeri, tanpa jatuh ke dalam ketergantungan baru yang diciptakannya sendiri.
Penutup
Prabowonomics adalah visi ekonomi yang lahir dari kegelisahan nasional: ketimpangan sosial, ketergantungan impor, dan lemahnya kemandirian strategis. Ia menawarkan arah baru—Indonesia yang berdikari dalam pangan, energi, dan pertahanan. Namun mimpi ini lahir di tengah realitas global yang penuh badai: krisis geopolitik, ekonomi dunia yang melambat, dan tekanan fiskal dari janji-janji populis yang menuntut pembiayaan besar. Dalam lanskap seperti ini, keberanian saja tidak cukup. Diperlukan disiplin makroekonomi dan kepemimpinan yang mampu mengelola ekspektasi dan risiko secara presisi.
Keberhasilan Prabowonomics akan sangat ditentukan oleh kemampuannya mentransformasikan ambisi menjadi strategi yang operasional. Target pertumbuhan 8% tidak akan tercapai hanya dengan menaikkan anggaran, tetapi melalui reformasi kelembagaan, efisiensi birokrasi, dan keberanian menata ulang skema subsidi yang tidak produktif. Tanpa penataan ulang prioritas fiskal, agenda makan siang gratis bisa menjadi beban struktural, sementara belanja pertahanan dan infrastruktur harus bersaing dengan kebutuhan dasar rakyat. Dalam kondisi seperti ini, setiap kebijakan harus diukur tidak hanya dari niat baiknya, tetapi dari daya dorong ekonominya terhadap produktivitas nasional.
Di tengah pusaran global, Indonesia tidak bisa menarik diri, tetapi juga tidak boleh tenggelam dalam arus. Maka, kuncinya adalah manajemen risiko geopolitik yang adaptif, kolaborasi internasional yang saling menguntungkan, dan pelibatan rakyat dalam agenda pembangunan. Ekonomi tidak boleh lagi dimaknai hanya sebagai angka di dalam tabel APBN, tetapi sebagai ruang hidup yang harus adil, tangguh, dan berdaulat. Di era perang energi, pangan, dan data, pertahanan terbaik adalah ekonomi yang berpihak pada rakyatnya.
Jika Prabowonomics mampu berubah dari janji kampanye menjadi gerakan nasional lintas sektor, maka kita tidak hanya sedang membangun ekonomi, tetapi memperkuat peradaban bangsa. Inilah momen menentukan: apakah Indonesia hanya akan menjadi pasar dalam pusaran dunia, atau menjadi kekuatan yang mampu memengaruhi arah sejarahnya sendiri. Di tengah badai, harapan harus dijaga. Tapi harapan hanya berarti jika disertai kerja nyata yang terukur dan konsisten.
Demikian.
Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut
_________
Referensi
1. Prabowo Subianto. (2017). Paradoks Indonesia: Sebuah Refleksi tentang Kekayaan Alam dan Kemiskinan Rakyat Indonesia. Jakarta: PT Garuda Yaksa Paramarta.
> Buku ini menjadi fondasi pemikiran ekonomi Prabowo yang menolak liberalisasi berlebihan dan menekankan kedaulatan ekonomi nasional.
2. Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. (2023). Asta Cita: Delapan Program Prioritas Prabowo-Gibran.
> Dokumen resmi yang mencakup visi-misi pemerintahan, termasuk makan siang gratis, swasembada pangan, dan industrialisasi nasional.
3. International Monetary Fund (IMF). (2025). World Economic Outlook: Navigating Global Divergences. April 2025.
> Menyajikan analisis pertumbuhan ekonomi global, dampak perang dan inflasi terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia.
4. Soemitro Djojohadikusumo. (1957). Dasar-Dasar Politik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
> Karya utama Soemitro yang menekankan pentingnya peran negara dalam ekonomi, penguatan sektor produksi dalam negeri, dan perencanaan pembangunan.
5. Bank Indonesia. (2024). Laporan Perekonomian Indonesia 2024.
> Data resmi pertumbuhan ekonomi Indonesia, inflasi, dan neraca perdagangan sebagai indikator tantangan fiskal dan makroekonomi.
6. World Bank. (2024). Indonesia Economic Prospects: Preserving Stability Amid Uncertainty.
> Kajian tentang risiko fiskal Indonesia, termasuk implikasi dari kebijakan sosial populis dan tekanan global terhadap anggaran negara.
7. Kementerian Keuangan RI. (2024). Nota Keuangan dan RAPBN 2025.
> Sumber resmi terkait struktur belanja negara, alokasi subsidi sosial, dan pembiayaan proyek prioritas nasional.
8. Friedman, T. L. (2005). The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. New York: Farrar, Straus and Giroux.
> Relevan untuk memahami tantangan ekonomi global dalam dunia multipolar dan keterkaitan ekonomi antarnegara.
9. Prebisch, R. & Singer, H. (1950s). Structuralist Theory of Economic Development.
> Teori yang mengilhami pendekatan Prabowo dalam membatasi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan menekankan industrialisasi nasional.
10. Joseph E. Stiglitz. (2010). Freefall: America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy. W.W. Norton & Company.
> Mengkritik pasar bebas tanpa regulasi dan relevan dalam membedah mengapa pendekatan trickle-down economics dianggap gagal oleh Prabowo.
11. The Economist Intelligence Unit. (2024). Geopolitical Risk Index Update.
> Memberikan konteks penting mengenai risiko global yang dapat mengganggu rantai pasok dan perdagangan luar negeri Indonesia.
12. Kompas.id. (2024–2025). Berbagai laporan kebijakan ekonomi Prabowo Subianto, wacana Asta Cita, dan program makan siang gratis.
> Digunakan sebagai referensi aktual terhadap dinamika kebijakan dan respon publik terhadap Prabowonomics.
Posting Komentar
0Komentar