Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Komisioner KPU Medan Periode 2003-2008)
Pendahuluan
Pemilu serentak lima kotak yang dijalankan pada 2019 dan 2024 barangkali pantas disebut sebagai eksperimen demokrasi paling melelahkan dalam sejarah republik ini. Demi efisiensi dan dalih anggaran, pemilih dipaksa menyalurkan suara untuk lima lembaga sekaligus dalam satu hari: Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Hasilnya bukan hanya antrean panjang dan kelelahan logistik, tetapi tragedi kemanusiaan: ratusan petugas KPPS meninggal dunia karena keletihan. Demokrasi bukan hanya kehilangan makna, tapi juga kehilangan nyawa.
Dalam lanskap semrawut itulah Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 hadir sebagai koreksi konstitusional yang tegas. Mahkamah menegaskan bahwa pemilu nasional dan pemilu lokal tidak harus diselenggarakan serentak pada hari yang sama. Ini bukan sekadar soal teknis penjadwalan, tapi koreksi terhadap logika sistem yang selama ini memaksa kompleksitas politik dilebur dalam satu hari pencoblosan massal. MK membuka jalan bagi format baru yang lebih manusiawi dan akuntabel.
Bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), putusan ini seharusnya menjadi perintah, bukan opsi. Sikap menunggu revisi undang-undang hanya akan menunda perbaikan yang dibutuhkan segera. Putusan MK bersifat final dan mengikat, yang berarti harus dijalankan tanpa syarat. KPU wajib menyiapkan desain pemilu yang memisahkan antara ranah nasional dan lokal—baik dalam aspek tahapan, kesiapan SDM, maupun logistik. Reformasi tata kelola pemilu tak bisa lagi ditunda.
Pendapat para ahli tata negara memperkuat urgensi perubahan ini. Jimly Asshiddiqie menyebut pemilu serentak lima kotak sebagai eksperimen demokrasi yang gagal desain. Laica Marzuki mengingatkan bahwa keserentakan semacam itu justru melanggar asas pemilu yang jujur dan adil karena membebani hak pilih secara simultan. Bahkan Mahfud MD menilai skema lama sebagai kesalahan logika hukum yang merusak kualitas partisipasi. Saat para ahli sepakat, tak ada alasan KPU bertahan dalam skema yang justru mengorbankan integritas pemilu.
Kini, arah baru demokrasi sudah dibuka oleh MK. Pemerintah dan DPR harus menyesuaikan undang-undang, sementara KPU wajib segera menyusun peta jalan yang konkret. Masa jabatan legislatif dan eksekutif tetap berakhir pada 2029, namun arsitektur pemilu pasca-2029 harus dibangun mulai sekarang. Demokrasi tidak bisa lagi ditumpuk dalam satu hari pencoblosan massal. Ia butuh ruang untuk bernapas, waktu untuk dipahami, dan sistem yang tidak mengorbankan nyawa warganya sendiri.
MK Bicara, KPU Tak Bisa Membisu
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah memberi garis terang bahwa pemilu nasional dan pemilu lokal tidak harus dilaksanakan secara serentak dalam satu hari. Putusan ini bukan sekadar koreksi teknis, melainkan perintah konstitusional yang wajib ditaati. Tidak ada ruang bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bersikap ambigu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU harus segera menyesuaikan semua regulasi teknis, termasuk Peraturan KPU (PKPU), agar sejalan dengan tafsir konstitusi yang telah dikeluarkan oleh lembaga yudikatif tertinggi dalam perkara konstitusional ini.
Final dan mengikat (final and binding) bukanlah jargon hukum yang bersifat opsional. KPU, sebagai institusi pelaksana, tidak berada di atas konstitusi. Ia adalah pelayan demokrasi yang tunduk pada prinsip legalitas. Jika lembaga seperti MK telah memberikan arah, maka menunda pelaksanaan putusan sama artinya dengan mencederai integritas pemilu sejak dari hulu. Mengabaikannya hanya akan memperpanjang mata rantai kekacauan yang sudah tampak sejak Pemilu 2019—mulai dari beban logistik, kelelahan SDM, hingga kerentanan administrasi.
Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam banyak forum, telah menegaskan bahwa pemilu tidak cukup didekati dari aspek prosedural. Demokrasi bukan sekadar soal hari pencoblosan, tapi tentang jaminan partisipasi yang bermakna. Menurutnya, serentak tidak harus dimaknai secara harfiah sebagai “hari yang sama”, melainkan sebagai keserentakan niat konstitusional untuk memilih pemimpin secara adil, logis, dan proporsional. Ketika semua jenis pemilu dijadikan satu, yang terjadi bukan efisiensi, melainkan disorientasi politik.
Pendapat ini diamini oleh Prof. Laica Marzuki, hakim konstitusi era awal reformasi. Baginya, pemilu serentak lima kotak menciptakan beban berlebihan yang tidak manusiawi bagi pemilih. Voter fatigue, disinformasi, dan pengambilan keputusan yang prematur menjadi realitas yang tak terbantahkan. Keserentakan yang brutal justru merusak kualitas pilihan, karena rakyat dipaksa memilih tanpa pemahaman cukup atas program, karakter, maupun rekam jejak para calon.
Lebih keras lagi, Prof. Mahfud MD menyebut skema serentak sebagai “konstruksi demokrasi yang salah kaprah.” Ia menilai bahwa penyelenggaraan pemilu yang baik adalah yang memberi ruang bagi rakyat untuk berpikir, menimbang, dan memilih dengan sadar. Bukan pemilu yang dipadatkan dalam satu hari dengan beban lima keputusan politik sekaligus. Demokrasi, kata Mahfud, tidak boleh dibebani dengan birokrasi yang menyesakkan dan tempo logistik yang tak manusiawi.
KPU kini berada di persimpangan penting: tunduk pada konstitusi atau melanggengkan kekacauan. Publik menunggu langkah konkret, bukan sekadar wacana evaluasi. Putusan MK telah membuka pintu perubahan, dan sejarah tidak akan memaafkan bila kesempatan ini kembali diabaikan. Penyelenggaraan pemilu 2029 harus dimulai dari sekarang, dengan desain yang lebih rasional, terpisah secara bertahap, dan berpihak pada kualitas partisipasi rakyat, bukan sekadar kepraktisan administratif.
Tahun 2029: Akhir Masa Jabatan, Awal Desain Baru
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tidak mengutak-atik masa jabatan pejabat publik hasil Pemilu dan Pilkada 2024. Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta kepala daerah tetap akan mengakhiri masa jabatan mereka pada 2029 sesuai dengan siklus konstitusional yang berlaku. Namun, di balik keutuhan jadwal itu, tersembunyi perintah konstitusional yang jauh lebih mendasar: saatnya mengubah arsitektur pemilu nasional dan lokal secara menyeluruh mulai dari desainnya, bukan hanya kalendernya.
MK telah membuka ruang evaluasi sistemik. Putusan ini menegaskan bahwa pemilu tidak wajib diselenggarakan dalam satu hari untuk semua level. Ini bukan hanya soal efisiensi teknis, tetapi soal keberlangsungan demokrasi yang sehat dan partisipatif. Memilih lima jenis pemimpin dalam satu hari adalah beban yang secara empiris telah gagal: menimbulkan kelelahan penyelenggara, rendahnya kualitas pilihan rakyat, dan bahkan korban jiwa seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
Setelah 2029, Indonesia harus berani beranjak dari format "serentak brutal" menjadi pemilu yang bertahap dan terstruktur. MK memberi arah agar pemilu dibagi dalam dua kluster besar: Pemilu Nasional yang mencakup Presiden, DPR RI, dan DPD RI; serta Pemilu Lokal untuk memilih Gubernur, Bupati, Wali Kota, dan seluruh DPRD. Pemisahan ini memungkinkan pemilih memberi atensi dan penilaian penuh terhadap setiap calon dan level jabatan yang dipilih.
Pemisahan pemilu juga akan menciptakan ruang pembelajaran politik yang lebih intensif di masyarakat. Tidak semua pemimpin lahir dari efek ekor jas (coattail effect) yang selama ini mendistorsi suara rakyat di level lokal karena tergilas kepentingan elektoral nasional. Dengan format dua fase, rakyat bisa membedakan antara pilihan ideologis nasional dan kebutuhan praktis lokal — dua ranah yang selama ini sering tumpang tindih dalam satu bilik suara.
Dari sisi teknis, pemilu terpisah akan memudahkan distribusi logistik, pengawasan partisipatif, serta penghitungan suara yang lebih akurat. KPU, Bawaslu, dan DKPP tidak lagi dibebani oleh tsunami administratif dalam satu hari, tetapi dapat menjalankan fungsi konstitusionalnya secara bertahap dan terukur. Ini adalah demokrasi yang bernapas—bukan yang tersengal karena beban simultanitas.
Namun demikian, perubahan format ini tidak akan terjadi otomatis. Ia memerlukan keberanian politik dan kejujuran institusional. DPR dan Pemerintah harus segera menyelaraskan Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dengan semangat Putusan MK. Di sisi lain, KPU harus mulai merancang tahapan pemilu pasca-2029 dengan pendekatan baru: yang menjamin kualitas partisipasi rakyat, bukan hanya menyederhanakan kalender kerja.
Tahun 2029 akan menandai akhir masa jabatan pejabat hasil Pemilu 2024, tapi juga bisa menjadi awal dari babak baru demokrasi Indonesia. Demokrasi tidak lagi dipaksa berpacu dalam satu hari maraton lima kotak, melainkan diberi ruang untuk bertumbuh, didalami, dan dimaknai secara lebih jujur oleh rakyatnya. Jika Pemilu adalah jantung demokrasi, maka tahun 2029 adalah saatnya mengatur ulang detaknya.
KPU Harus Segera Bertindak
Komitmen terhadap konstitusi bukanlah etalase seremonial, melainkan wujud nyata dalam tindakan kelembagaan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik alasan “menunggu revisi Undang-Undang Pemilu.” Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 bersifat final and binding, yang berarti mengikat secara langsung dan tidak membutuhkan pengesahan ulang oleh lembaga lain. Dalam doktrin konstitusi modern, putusan seperti ini bersifat self-executing—cukup menjadi dasar hukum untuk segera dilaksanakan, tanpa syarat.
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak tidak wajib dilakukan dalam satu hari. Kompleksitas teknis dan administratif, beban logistik berlebihan, serta menurunnya kualitas partisipasi politik menjadi dasar pertimbangan utama. Dengan kata lain, MK telah membuka jalan reformasi format pemilu nasional dan lokal menjadi lebih manusiawi, efisien, dan konstitusional. Kini, tidak ada alasan bagi KPU untuk diam atau menunda: tindakan harus segera diambil.
KPU wajib menyusun peta jalan yang konkret dan terukur untuk Pemilu 2029. Peta ini harus mencakup skema pemisahan antara Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dan Pemilu Lokal (Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD). Penyusunan peta ini bukan sekadar perencanaan teknis, melainkan bagian dari penghormatan terhadap konstitusi dan upaya koreksi terhadap kekacauan pemilu serentak sebelumnya. Tanpa roadmap ini, KPU akan kehilangan legitimasi moral dan konstitusionalnya sebagai penyelenggara yang profesional dan independen.
Langkah kedua, KPU harus segera menyesuaikan seluruh instrumen hukum internal, terutama Peraturan KPU (PKPU), agar selaras dengan tafsir konstitusi yang telah ditegaskan MK. Penyesuaian ini menjadi dasar hukum teknis pelaksanaan tahapan pemilu ke depan. Bila tidak dilakukan, KPU justru berpotensi menciptakan pelanggaran konstitusi karena bertindak berdasarkan regulasi yang bertentangan dengan putusan yudisial tertinggi.
Langkah ketiga, komunikasi politik dan publik harus segera dijalankan. KPU perlu menjalin dialog terbuka dengan partai politik, pemerintah, DPR, akademisi, serta masyarakat sipil untuk memastikan bahwa perubahan jadwal dan format pemilu tidak ditafsirkan sebagai manuver politik, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional. Tanpa komunikasi yang baik, reformasi ini bisa disalahpahami atau bahkan ditolak oleh kekuatan status quo.
Waktu terus berjalan menuju 2029. Jika KPU memilih diam, maka lembaga ini bukan hanya abai terhadap perintah konstitusi, tetapi juga lalai dalam menjaga martabat demokrasi. Putusan MK adalah momen pembuka, bukan akhir. Reformasi sistem pemilu harus dimulai dari sekarang—dengan langkah hukum yang tegas, komunikasi politik yang cerdas, dan keberanian moral untuk memutus rantai kebiasaan yang telah terbukti menyulitkan bangsa. Demokrasi yang sehat tak lahir dari kekacauan birokratis, tapi dari keberanian menata ulang sistemnya demi masa depan yang lebih adil.
Penutup
Jika demokrasi adalah jiwa bangsa, maka pemilu adalah detaknya. Dan ketika detak itu dipaksakan terlalu cepat dan serentak, ia justru berhenti. Pemilu lima kotak dalam satu hari telah membuktikan bahwa efisiensi semu bisa membawa bencana konstitusional, administratif, bahkan kemanusiaan. Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 adalah lonceng peringatan yang keras: sistem yang memaksa rakyat, penyelenggara, dan negara dalam satu hari pesta demokrasi adalah sistem yang harus dikoreksi, bukan dipertahankan.
Demokrasi bukan sekadar urusan kalender atau kalkulasi anggaran ansich. Demokrasi adalah tentang kualitas partisipasi, ruang deliberasi, dan penghormatan terhadap suara rakyat sebagai kehendak berdaulat. Ketika rakyat dipaksa memilih lima pemimpin dalam sekali pencoblosan, partisipasi berubah menjadi beban, bukan hak. MK telah memberi jalan, sekarang tinggal keberanian politik dan integritas institusional untuk menempuhnya. Jika penyelenggara tetap membungkam kehendak perubahan ini dengan alasan teknis, maka demokrasi hanya akan menjadi rutinitas kosong tanpa roh.
Menata ulang pemilu bukan kemunduran, melainkan lompatan moral dan institusional. KPU dan Bawaslu, DPR, dan pemerintah mesti melihat putusan MK ini sebagai peluang emas—bukan gangguan agenda kekuasaan. Saatnya meletakkan kepentingan rakyat di atas kesepakatan politik sesaat. Karena dalam demokrasi sejati, yang utama bukan siapa yang menang, tapi bagaimana suara rakyat dijaga martabat dan maknanya. Dan untuk itu, kita butuh sistem yang sehat, adil, dan konstitusional—dengan manajemen pemilu yang baik cepat dan tepat waktu.
Demikian
Penulis Advokat, Pemerhati Demokrasi dan Pemilu
__________
Daftar Pustaka
1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian UU Pemilu terkait Keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal. MKRI, 2024.
2. “Putusan MK Jawab Kesemrawutan Pemilu di Indonesia.” RMOL.id, 27 June 2025, https://rmol.id/politik/read/2025/06/27/671441/putusan-mk-jawab-kesemrawutan-pemilu-di-indonesia.
3. Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press, 2006.
4. Marzuki, Laica. Konstitusi dan Demokrasi: Gagasan dan Gugatan. Kompas, 2009.
5. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. LP3ES, 2010.
6. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Laporan Evaluasi Pemilu Serentak 2019 dan 2024. KPU RI, 2024.
7. “Fakta Jumlah Petugas KPPS Meninggal Dunia di Pemilu 2019.” Tempo.co, 10 May 2019, https://nasional.tempo.co/read/1201060.
8. “Pemilu Serentak Picu Kelelahan dan Efek Domino Kualitas Demokrasi.” Republika.co.id, 2024, https://www.republika.co.id/berita/q0slwp383.
9. “KPU Klaim Pemilu 2024 Berjalan Lancar, Tapi Kritik Menumpuk.” CNN Indonesia, 16 Feb. 2024, www.cnnindonesia.com.
10. “MK: Pemilu Serentak Tidak Wajib Dilaksanakan pada Hari yang Sama.” Kompas.com, 27 June 2025, https://www.kompas.com.
Posting Komentar
0Komentar