Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
Obstruction of justice atau perintangan keadilan bukan hanya sekadar pelanggaran administratif; ia adalah serangan langsung terhadap jantung sistem hukum. Di tengah upaya mewujudkan sistem peradilan yang adil, bersih, dan transparan, perbuatan yang menghambat proses hukum menjadi batu sandungan serius yang terus berulang dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Bukan Sekadar Menghalangi, Tapi Merusak Keadilan
Secara konseptual, obstruction of justice merupakan tindak pidana yang secara aktif merintangi, menghambat, atau menggagalkan proses hukum. Sebagaimana dikemukakan Prof. Herkristuti Harkrisnowo, tindakan ini bukan hanya berdampak pada korban atau terdakwa, tetapi mengoyak sistem keadilan itu sendiri. Ia menyebut obstruction sebagai “kejahatan terhadap institusi hukum,” karena menyerang proses yudisial yang seharusnya netral dan berdasarkan kebenaran.
Dalam KUHP Indonesia, tindakan ini baru secara terbatas termuat dalam Pasal 221 dan Pasal 231, serta Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun pengaturannya belum komprehensif. Padahal dalam sistem hukum Anglo-Saxon, obstruction memiliki posisi penting dalam menjamin independensi proses hukum—baik pada tahap penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.
Dari Sambo, e-KTP, hingga MBZ: Cermin Kerapuhan Sistem
Kasus Ferdy Sambo (2022) menjadi potret telanjang bagaimana obstruction of justice dilakukan secara sistemik dan terstruktur. Mulai dari rekayasa kronologi, penghapusan rekaman CCTV, hingga intervensi terhadap bawahannya. Tak hanya Sambo, kasus korupsi e-KTP dan dugaan korupsi Tol MBZ menunjukkan pola yang sama: tekanan terhadap saksi, pemalsuan dokumen, hingga manuver politik untuk melemahkan KPK.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 menyebutkan bahwa dari 122 kasus korupsi yang ditangani, 19 di antaranya disertai indikasi perintangan keadilan. Ini menunjukkan bahwa obstruction bukan gejala anomali, melainkan bagian dari strategi impunitas dalam kejahatan kekuasaan (crimes of power).
Teori Hukum Pidana: Ancaman Sistemik terhadap Supremasi Hukum
Sangat penting artikel ini menegaskan pendapat ahli hukum pidana dalam memperkuat basis argumentasi dari tulisan artikel ini. Selanjutnya penjelasan dari Prof. Barda Nawawi Arief yang menekankan bahwa dalam konteks pembaruan hukum pidana nasional, obstruction harus diposisikan sebagai kejahatan yang menyerang fungsi instrumental hukum, yaitu menjamin tegaknya keadilan dan ketertiban. Dalam teori fungsional, tindakan seperti mempengaruhi hakim, mengintimidasi saksi, atau menyembunyikan bukti bukan sekadar tindak pidana, tapi sabotase terhadap mekanisme negara hukum.
Sementara itu, Prof. Muladi menyatakan bahwa konsep obstruction of justice harus dirumuskan sebagai delik terhadap proses hukum. Dalam kerangka negara demokratis, tindakan ini bukan hanya kriminal, tetapi melanggar prinsip due process of law dan fair trial yang menjadi bagian dari HAM.
Tantangan Regulasi dan Penegakan
Sayangnya, hingga kini belum ada undang-undang khusus yang secara komprehensif mengatur obstruction of justice. RUU KUHP baru memang menyebutkan penguatan terhadap tindak pidana ini, namun belum cukup menjawab kebutuhan terhadap instrumen hukum yang kuat, jelas, dan efektif.
Di sisi lain, aparat penegak hukum kerap menjadi bagian dari persoalan. Lemahnya sistem pengawasan internal, budaya impunitas, dan intervensi politik menjadi faktor yang membuat obstruction of justice sulit diberantas.
Urgensi Reformasi: Dari Substansi hingga Kultur Hukum
Pertama, pembaruan regulasi menjadi langkah mendesak. Diperlukan norma khusus yang secara tegas mengatur obstruction of justice sebagai delik berdiri sendiri. Kedua, dibutuhkan penguatan sistem perlindungan saksi dan whistleblower agar proses hukum tidak mudah dirusak oleh kekuatan politik atau ekonomi. Ketiga, pembenahan kultur hukum: bahwa keadilan tak boleh tunduk pada kuasa.
Sebagaimana ditegaskan Prof. Herkristuti, “Tanpa keberanian untuk melawan obstruction of justice, kita hanya akan terus mengulang babak-babak peradilan yang rusak, dan masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum.”
Penutup
Obstruction of justice bukan sekadar kejahatan teknis. Ia adalah ancaman sistemik terhadap keadilan. Dalam masyarakat yang hendak menjunjung hukum, setiap upaya perintangan terhadap keadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita demokrasi dan HAM. Dalam bahasa Prof. Barda, hukum harus punya daya paksa untuk menegakkan dirinya sendiri—dan obstruction of justice harus menjadi musuh bersama.
Demikian
Penulis Advokat Dari Kongres Advokat Indonesia.
_______________
Daftar Pustaka
Herkristuti Harkrisnowo. Pengantar Hukum Pidana. UI Press, 2010.
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, 2017.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1992.
ICW. “Laporan Tren Kasus Korupsi di Indonesia Tahun 2023.”
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KUHP Pasal 221, 231, dan RUU KUHP 2023.
Posting Komentar
0Komentar