Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
Sumatera Utara menjadi cermin konflik struktural agraria di Indonesia. Sengketa tanah eks HGU PTPN II seluas 23.603,72 ha menguak borok tata kelola lahan negara yang tidak transparan, elitis, dan jauh dari cita-cita reforma agraria. Menjawab gejolak rakyat, Gubernur Sumut H. Tengku Rizal Nurdin membentuk Tim Terpadu Penelitian dan Pemecahan Masalah Sengketa Tanah melalui SK Gubsu No. 693.05/1754/K/1999 tanggal 22 Agustus 1999.[^1]
Lalu, pada 11 Februari 2000, lahir Panitia Pemeriksa Tanah B Plus lewat SK Gubsu No. 593.4/065/K/2000 jo. No. 593.4/2060/K/2000 untuk menyisir ulang status hukum atas lahan yang dipermasalahkan[^2].Tim ini melibatkan unsur pemprov, kabupaten/kota (Deli Serdang, Langkat, Binjai), dan BPN, tanpa melibatkan PTPN II dan masyarakat penggarap.
Rekomendasi Tim B Plus: HGU Diperpanjang dan Dikeluarkan
Setelah pemeriksaan alas hak, objek, dan subjek hukum, dari 23.603,72 ha lahan PTPN II:
1. Lahan seluas 17.730,66 ha direkomendasikan untuk perpanjangan HGU.
2. Laha seluas 5.873,06 ha direkomendasikan dikeluarkan dari perpanjangan HGU.[^3]
Lahan 5.873,06 ha itu kemudian resmi dikeluarkan dari HGU berdasarkan SK BPN RI No. 42, 43, 44 Tahun 2002 dan SK No. 10 Tahun 2004, dengan sebaran sebagai berikut:
1. Kab. Deli Serdang: 4.392,89 ha
2. Kab. Serdang Bedagai: 30,78 ha
3. Kab. Langkat: 1.210,87 ha
4. Kota Binjai: 238,52 ha[^4]
Namun, sampai hari ini, distribusi lahan tersebut masih menyisakan persoalan keterbukaan, keadilan, dan keterlibatan masyarakat penggarap yang justru menjadi korban kriminalisasi.
Kritik Akademik dan Perspektif Hukum
Menurut Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH, pembentukan Tim B Plus oleh Gubernur Sumut saat itu memiliki kelemahan mendasar dari sisi legitimasi hukum:
> “SK Gubernur bukan instrumen yang bisa menentukan status hukum tanah. Itu domain BPN sebagai otoritas tunggal agraria. Tanpa partisipasi masyarakat, keputusan tersebut rawan cacat hukum.”[^5]
Kemudian Prof. Budi Harsono, tokoh hukum agraria nasional, juga menilai bahwa:
> “Tanah negara yang telah dikuasai rakyat secara sah—meskipun belum memiliki sertifikat—harus dikembalikan kepada rakyat. Negara bertanggung jawab atas perlindungan hak penggarap.”[^6]
Dalam pendekatan Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa:
> “Pengelolaan tanah negara harus berbasis asas keterbukaan, akuntabilitas, dan konstitusionalitas. Rakyat harus menjadi subjek, bukan objek.”[^7]
Sementara Prof. Maria Farida Indrati mengingatkan bahwa:
> “Tanah adalah bagian dari HAM dalam konteks sosial ekonomi. Negara wajib menjamin akses adil terhadap tanah, terlebih pada tanah yang sudah tidak diperpanjang HGUnya.”[^8]
Begitupun Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Hendrik Saragih, menyebut tanah eks HGU sebagai “tanah harapan rakyat”:
> “Tanah eks HGU adalah ruang hidup petani. Tidak boleh dikembalikan ke korporasi, apalagi diambil alih oleh elite. Redistribusi harus dipimpin oleh prinsip reforma agraria sejati.”[^9]
Penutup
Apa yang terjadi pada lahan 5.873,06 ha bekas HGU PTPN II bukan sekadar problem administratif. Ini adalah persoalan keadilan agraria yang menyangkut hak hidup ribuan rakyat penggarap dan karyawan serta mantan karyawan PTPN yang sampai hari masih belum punya tanah pertapakan rumah. Saat negara gagal mendistribusikan tanah secara adil, maka mandat konstitusi dan UUPA No.5 Tahun 1960 sejatinya sedang dikhianati.
Demikian
Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Petani DPW SPI Sumut Dari Tahun 2009 - 2014
__________
Catatan Kaki
[^1]: SK Gubernur Sumut No. 693.05/1754/K/99 tentang Tim Terpadu Penelitian dan Pemecahan Masalah Sengketa Tanah, 22 Agustus 1999.
[^2]: SK Gubernur Sumut No. 593.4/065/K/2000 Jo No. 593.4/2060/K/2000 tentang Pembentukan Tim Pemeriksa Tanah B Plus.
[^3]: Laporan Akhir Tim B Plus, 2001.
[^4]: SK BPN RI No. 42, 43, 44 Tahun 2002 dan No. 10 Tahun 2004 tentang Pengeluaran Tanah Eks HGU PTPN II.
[^5]: Parlindungan Lubis, A.P., Hukum Agraria dan Masalah Reforma di Indonesia, Medan: USU Press, 2015.
[^6]: Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Jakarta: Komnas Reforma Agraria, 2017.
[^7]: Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
[^8]: Indrati, Maria Farida, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
[^9]: Saragih, Hendrik, Keadilan Agraria dan Gerakan Petani, Jakarta: SPI Publishing, 2018.
Posting Komentar
0Komentar