Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
“Transparansi adalah tulang punggung akuntabilitas publik. Menolak klarifikasi dengan alasan administratif adalah bentuk pembangkangan terhadap etika dan hukum keterbukaan.”
Universitas Sumatera Utara (USU), yang selama ini dikenal sebagai institusi akademik prestisius, kini tengah berada dalam sorotan tajam publik. Bukan karena prestasi riset atau akademik, melainkan karena keengganannya memberikan klarifikasi atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 28,4 miliar. Lebih ironis, alasan yang digunakan untuk menolak permintaan klarifikasi dari media adalah tidak adanya sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan verifikasi Dewan Pers.
Padahal, permintaan informasi itu jelas menyangkut uang negara dan tanggung jawab publik. Apakah masuk akal jika lembaga pendidikan tinggi negeri yang dibiayai APBN justru menyembunyikan tanggung jawab keuangannya atas dasar formalitas jurnalistik?
Klarifikasi Bukan Hak Istimewa, Tapi Kewajiban
Dalam surat bernomor 11-II/KN/2025 tertanggal 6 Mei 2025, media telah menyampaikan sembilan pertanyaan kritis kepada Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin. Beberapa di antaranya menyangkut penggunaan dana titipan miliaran rupiah yang tidak jelas, dugaan pemecahan paket pekerjaan untuk menghindari lelang, dan pembayaran remunerasi yang tidak mencapai target kinerja. Namun hingga kini, tak satu pun pertanyaan tersebut dijawab.
Anehnya, Kepala Biro Aset USU, Rapindo Gultom, hanya melempar permintaan itu ke unit lain—Amelia—yang kemudian menolak memberi tanggapan dengan alasan media penanya belum bersertifikat UKW dan belum terverifikasi Dewan Pers.
Sikap ini tidak hanya melukai akal sehat publik, malah publik menilai "USU menjadi birokrasi kompleks" dengan sengaja melanggar prinsip transparansi keuangan negara sebagaimana diatur dalam:
1. Pasal 19 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004: Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum.
2. Pasal 7 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2006: Hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada DPR, DPD, atau DPRD dinyatakan terbuka untuk umum.
3. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 11 ayat (1): Setiap badan publik wajib menyediakan informasi keuangan yang relevan setiap saat.
Dengan dasar hukum sejelas itu, tidak patut jika klarifikasi dibatasi dengan persyaratan administratif seperti sertifikasi UKW. Dalam konteks transparansi keuangan negara, setiap warga negara memiliki hak untuk tahu, dan setiap badan publik wajib menjelaskan.
Teori dan Etika Akuntabilitas
Robert Behn dalam Rethinking Democratic Accountability menyebutkan, akuntabilitas bukanlah soal siapa yang ditanya, tapi bagaimana pertanyaan publik dijawab secara jujur dan transparan. USU sebagai entitas penerima dana publik, terikat oleh moral dan hukum untuk menjawab temuan yang sudah dipublikasikan resmi oleh BPK.
Sementara itu, Ombudsman Sumatera Utara telah menyarankan media untuk mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi, membuktikan bahwa kasus ini telah masuk ranah pengawasan publik.
Sikap pegawai USU terkesan tidak terpelajar dengan dugaan melaga-laga antara Dewan Pers dan BPK. Ini adalah ironi besar. Jika BPK sebagai lembaga negara sudah menyampaikan temuannya ke publik, mengapa sebuah perguruan tinggi masih mencari-cari alasan untuk menolak klarifikasi?
Akibat Sikap Bungkam
Diamnya USU memperkuat opini publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Klarifikasi seharusnya menjadi cara untuk menjernihkan dugaan, bukan dihindari dengan dalih birokrasi. Sikap pasif dan tertutup justru membuka peluang bagi ketidakpercayaan dan spekulasi liar yang merugikan reputasi kampus sendiri.
Apakah USU menyadari bahwa setiap tindakan diam terhadap temuan BPK bisa dianggap sebagai pembiaran terhadap potensi pelanggaran hukum? Apakah pimpinan USU memahami bahwa di mata publik, akuntabilitas lebih bernilai daripada jabatan?
Jalan Keadaban Publik
Sebagai institusi akademik, USU tidak boleh anti-kritik dan anti-transparansi. Masyarakat menaruh harapan besar pada universitas untuk menjadi benteng nilai moral dan kejujuran. Jika universitas tidak memberi contoh keterbukaan, maka siapa lagi yang bisa?
Langkah termudah dan paling bijak adalah menjawab sembilan pertanyaan media secara terbuka, disertai dokumen pendukung, dan jika ada kekeliruan, menjelaskan langkah perbaikannya. Sikap ini bukan hanya meredam kegaduhan, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik yang mulai retak.
Penutup
Publik berhak tahu. Uang negara wajib dipertanggungjawabkan. Klarifikasi bukanlah pemberian cuma-cuma, melainkan konsekuensi atas jabatan, kekuasaan, dan anggaran yang diterima. Jika USU ingin tetap dihormati sebagai lembaga akademik yang berintegritas, maka tak ada jalan lain selain membuka pintu transparansi.
Sebab dalam demokrasi, menjawab pertanyaan publik bukan pilihan—itu kewajiban.
Demikian
Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
__________
Referensi:
UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
LHP BPK RI Tahun 2022
Behn, Robert. Rethinking Democratic Accountability
Berita Kilas Nusantara, Ditanya Media Terkait Temuan BPK USU Ogah Menjawab. Redaksi 16 Mei 2025
Posting Komentar
0Komentar