Oleh: Adv.M.Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktis Hukum)
Pendahuluan
Konflik agraria di Indonesia kerap menjadi cermin kegagalan tata kelola tanah yang adil dan berkeadilan sosial. Sumatera Utara, sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah, menjadi episentrum sengketa agraria yang pelik, terutama yang berkaitan dengan tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) Perusahaan Perkebunan Negara (PTPN) II seluas 23.603,72 hektar. Konflik ini tidak hanya memperlihatkan ketimpangan antara negara, korporasi, dan masyarakat penggarap, tetapi juga menyingkap berbagai permasalahan hukum dan tata kelola tanah yang berakar dari sistem konsesi kolonial pra-kemerdekaan.
Artikel ini berupaya mengkritisi status hukum dan pengelolaan tanah eks HGU PTPN II dengan menggali aspek hukum tata negara, perspektif reforma agraria, serta pandangan para ahli hukum agraria dan aktivis petani. Fokus kajian terletak pada bagaimana akte konsesi pra-kemerdekaan yang menjadi dasar kepemilikan tanah tersebut perlu dipertimbangkan ulang demi penegakan keadilan agraria dan hak penguasaan negara atas tanah.
Latar Belakang Konflik Eks HGU PTPN II di Sumatera Utara
Sejak lama, tanah bekas HGU PTPN II di Sumatera Utara telah menjadi sumber konflik antara perusahaan negara, pemerintah daerah, dan masyarakat penggarap. Luasnya mencapai 23.603,72 ha yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten/Kota seperti Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, dan Binjai. Sengketa ini mencerminkan problematika tata kelola tanah negara yang selama ini kurang transparan dan cenderung elitis, jauh dari cita-cita reforma agraria yang bertujuan mendistribusikan tanah secara adil kepada rakyat.
Untuk mengatasi gejolak di masyarakat, Gubernur Sumatera Utara pada saat itu, H. Tengku Rizal Nurdin, membentuk Tim Terpadu Penelitian dan Pemecahan Masalah Sengketa Tanah melalui Surat Keputusan Gubernur No. 693.05/1754/K/1999 tanggal 22 Agustus 1999. Tim ini bertugas mengkaji permasalahan sengketa tanah dan mencari solusi yang memenuhi kepentingan negara dan masyarakat.
Namun, dalam proses penanganan konflik, masyarakat penggarap yang menjadi korban utama tidak dilibatkan secara signifikan dalam tim maupun pengambilan keputusan. Bahkan PTPN II sebagai perusahaan pemegang HGU juga tidak dilibatkan secara optimal dalam pembahasan status tanah.
Pembentukan dan Rekomendasi Panitia Pemeriksa Tanah B Plus
Menindaklanjuti pembentukan tim terpadu, pada 11 Februari 2000 dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. 593.4/065/K/2000 jo. No. 593.4/2060/K/2000 untuk membentuk Panitia Pemeriksa Tanah B Plus.^[5] Panitia ini bertugas menyisir ulang status hukum tanah eks HGU PTPN II dengan fokus pada aspek alas hak, objek, dan subjek hukum tanah.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Panitia B Plus, dari total luas 23.603,72 ha, direkomendasikan:
1. Perpanjangan HGU seluas 17.730,66 ha.
2. Pengeluaran lahan seluas 5.873,06 ha dari perpanjangan HGU.
Lahan yang dikeluarkan dari HGU kemudian diatur melalui SK Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI No. 42, 43, 44 Tahun 2002 dan SK No. 10 Tahun 2004 dengan rincian sebaran tanah yang dikeluarkan, yaitu di Kabupaten Deli Serdang (4.392,89 ha), Kabupaten Serdang Bedagai (30,78 ha), Kabupaten Langkat (1.210,87 ha), dan Kota Binjai (238,52 ha).
Problematika Pengelolaan dan Distribusi Tanah Eks HGU
Meski telah ada keputusan formal tentang pengeluaran tanah tersebut dari HGU, realitas di lapangan menunjukkan banyak persoalan. Distribusi tanah tersebut tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat penggarap yang selama ini mengolah lahan tersebut secara turun-temurun.^[8]
Ketiadaan transparansi ini memicu ketidakadilan dan konflik berkelanjutan antara masyarakat penggarap dengan pihak perusahaan maupun pemerintah daerah. Alih-alih menjadi solusi reforma agraria, kebijakan ini justru memperpanjang sengketa dan memperkuat struktur agraria yang timpang.
Pandangan Para Ahli Hukum Tata Negara Dan Tokoh Petani Tentangan Penguasan Negara Atan Tanah.
Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH, seorang ahli hukum tata negara dan agraria, menyatakan bahwa akte konsesi pra-kemerdekaan yang menjadi dasar penerbitan HGU di Indonesia harus dikaji ulang secara konstitusional. Menurut Parlindungan Lubis, “hak penguasaan negara atas tanah sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) harus ditegakkan dengan prinsip keadilan sosial yang mengakomodasi hak-hak masyarakat penggarap.”
Ia menegaskan bahwa HGU yang diperoleh melalui sistem konsesi kolonial sering kali mengabaikan hak-hak rakyat, sehingga negara perlu melakukan revokasi atau pembaharuan atas akte tersebut dengan melibatkan rakyat sebagai pemilik sah tanah. Pembaruan ini menjadi bagian dari reforma agraria sejati yang menghapus warisan kolonialisme dan feodalisme agraria.
Prof. Dr. Budi Harsono, mantan Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), menyatakan bahwa kegagalan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia sangat dipengaruhi oleh warisan hukum kolonial dan ketimpangan struktural.^[13] Dalam konteks tanah eks HGU PTPN II, perpanjangan HGU yang tidak melibatkan masyarakat penggarap merupakan kegagalan tata kelola agraria yang berkeadilan.
Menurut Budi Harsono, “pemberian hak guna usaha yang bersifat eksklusif kepada perusahaan negara tanpa melibatkan masyarakat penggarap memperkuat struktur agraria yang timpang dan menimbulkan konflik sosial.Ia menyarankan agar pengelolaan tanah negara dilakukan secara inklusif dan partisipatif dengan mekanisme transparan.
Hendrik Saragih, Ketua Umum DPP Serikat Petani Indonesia (SPI), memandang sengketa tanah eks HGU PTPN II sebagai refleksi ketimpangan struktural agraria yang harus segera diselesaikan melalui redistribusi tanah. Saragih menegaskan bahwa “tanah adalah sumber kehidupan rakyat, dan hak penguasaan negara harus digunakan untuk memastikan akses rakyat penggarap atas tanah, bukan justru memperkuat hak korporasi atau elite.”
SPI menolak keras kebijakan perpanjangan HGU tanpa melibatkan masyarakat dan menuntut pengembalian tanah kepada rakyat penggarap sebagai wujud keadilan agraria dan kedaulatan pangan nasional.
Konsep Penguasaan Negara Atas Tanah Cara Pandang Ahli Hukum Tata Negara
Penguasaan negara atas tanah bukanlah penguasaan mutlak, melainkan mandat konstitusi untuk menjamin keadilan sosial dan pemenuhan hak rakyat atas sumber daya alam.
Negara harus transparan, adil, dan akuntabel dalam mengelola tanah, terutama dalam konteks tanah-tanah eks konsesi seperti HGU, yang berimplikasi langsung terhadap kehidupan rakyat kecil.
Begitupun ketiga tokoh Ahli Hukum Tata Negara tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan pandangan, dimana pandangan para ahli Hukum Tata Negara adalah sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menegaskan bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” tidak dimaknai sebagai kepemilikan negara, melainkan sebagai bentuk penguasaan dalam arti pengelolaan dan pengaturan untuk kepentingan rakyat secara kolektif.
> “Negara bukan sebagai pemilik, tetapi sebagai pemegang amanah konstitusional untuk memastikan bahwa sumber daya dikelola untuk keadilan sosial,” (Jimly Asshiddiqie, dalam Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2006)
2. Prof. Dr. Saldi Isra, SH, MPA
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI ini pernah menyatakan bahwa penggunaan frasa “dikuasai oleh negara” memiliki makna konstitusional sebagai perpanjangan tangan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya, dan bukan dalam pengertian administratif atau birokratis semata.
> “Negara harus memastikan distribusi keadilan agraria dengan memastikan akses rakyat kecil terhadap tanah. Hak negara adalah hak publik, bukan privat.”(Saldi Isra, dalam Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, hlm. 145)
3. Prof. Dr. Laica Marzuki
Sebagai mantan Hakim Konstitusi, Laica Marzuki sangat vokal mengenai keadilan substantif dalam penggunaan kewenangan negara terhadap tanah. Ia mengingatkan bahwa penguasaan negara tidak boleh berubah menjadi instrumen kapitalisasi sumber daya atau hanya melayani kepentingan elite politik dan korporasi.
> “Dalam konsep negara hukum yang demokratis, penguasaan negara atas tanah harus tunduk pada prinsip-prinsip HAM, partisipasi rakyat, dan keadilan distributif,”
(Laica Marzuki, Catatan Konstitusional Mahkamah Konstitusi, 2009)
Hak Penguasaan Negara atas Tanah Eks HGU: Perspektif Hukum Tata Negara
Secara konstitusional, hak penguasaan negara atas tanah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Oleh karenanya, hak guna usaha yang merupakan hak penguasaan atas tanah negara harus dikelola dengan prinsip keberpihakan pada rakyat banyak.
Namun, akte konsesi tanah pra-kemerdekaan yang menjadi dasar HGU saat ini menjadi dilema hukum karena berasal dari rezim kolonial yang bertujuan mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan korporasi asing dan elit penjajah. Maka, mempertahankan akte tersebut tanpa kajian ulang dan pembaharuan berarti mempertahankan sistem agraria yang timpang dan merugikan masyarakat penggarap.
Menuntut Reforma Agraria Sejati dan Transparansi Pengelolaan Tanah Negara
Menghadapi persoalan tersebut, negara harus mengambil langkah nyata melakukan reforma agraria sejati dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, khususnya masyarakat penggarap. Ini harus meliputi:
1. Pembatalan dan kajian ulang akte konsesi pra-kemerdekaan yang tidak adil.
2. Pengembalian tanah kepada masyarakat penggarap yang telah mengolah lahan secara turun-temurun.
3. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan tanah negara.
Penyusunan kebijakan agraria yang inklusif, demokratis, dan berkeadilan sosial berpihak pada rakyat dan petani.
Penutup
Sengketa tanah eks HGU PTPN II di Sumatera Utara menjadi gambaran nyata problematika struktural dalam tata kelola agraria Indonesia. Akte konsesi pra-kemerdekaan yang menjadi dasar penguasaan tanah masih menyimpan persoalan hukum dan keadilan sosial yang belum terselesaikan.
Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menegakkan hak penguasaan atas tanah demi kemakmuran rakyat, bukan untuk mempertahankan warisan kolonial yang timpang. Oleh karena itu, menggugat akte konsesi pra-kemerdekaan dengan cara membangun reforma agraria yang melibatkan rakyat, transparan, dan adil menjadi keniscayaan untuk masa depan agraria Indonesia yang lebih berkeadilan.
Demikian
Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Petani DPW SPI Sumut Dari Tahun 2009-2014.
_______________
Daftar Pustaka
1. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 693.05/1754/K/1999 tanggal 22 Agustus 1999 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penelitian dan Pemecahan Masalah Sengketa Tanah Eks HGU PTPN II.
2. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 593.4/065/K/2000 dan No. 593.4/2060/K/2000 tentang Pembentukan Panitia Pemeriksa Tanah B Plus, 11 Februari 2000.
3. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, SK No. 42, 43, 44 Tahun 2002 dan SK No. 10 Tahun 2004 tentang Pengeluaran Lahan dari Perpanjangan HGU PTPN II
4. Parlindungan Lubis, A.P., Hukum Agraria dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Pustaka Hukum Indonesia, 2015, hlm. 156-160.
5. Harsono, Budi, Reforma Agraria dan Pengelolaan Tanah di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2012, hlm. 78-82.
6. Saragih, Hendrik, Gerakan Petani dan Reforma Agraria di Indonesia, Medan: DPP Serikat Petani Indonesia, 2019, hlm. 42-50.
7. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3).
8. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
9. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), Laporan Pemantauan Konflik Agraria di Sumatera Utara, 2005.
10. Tim Peneliti Universitas Sumatera Utara, Kajian Sengketa Tanah Eks HGU PTPN II, Medan, 2003.
11. Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Data Pengelolaan HGU di Sumatera Utara, 2004.
12. Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
13. Parlindungan Lubis, Perspektif Hukum Tata Negara dan Agraria, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
14. Saragih, Hendrik, Petani dan Negara: Analisis Konflik Agraria di Indonesia, Medan: DPP SPI, 2017.
15. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI, Statistik Lahan Nasional Tahun 2006, Jakarta, 2007.
16. Laporan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, Tindak Lanjut Penyelesaian Sengketa Tanah Eks HGU PTPN II, 2005.
17. Komnas HAM RI, Laporan Tahunan Konflik Agraria Indonesia, 2007.
18. Kompas, "Sengketa Tanah Eks HGU di Sumut Belum Usai", 15 Juni 2008.
19. Direktur Jenderal Penataan Agraria, Kebijakan Reforma Agraria dan Penyelesaian Sengketa Tanah, Jakarta, 2010.
20. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 257.
21. Saldi Isra, “Makna Konstitusional Frasa ‘Dikuasai oleh Negara’ dalam Pasal 33 UUD 1945,” dalam Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, hlm. 145.
22. Laica Marzuki, Catatan Konstitusional Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 312
Posting Komentar
0Komentar