Suara Rakyat Tak Bisa Dipidana: Bebaskan Delpedro dkk, Hentikan Kriminalisasi Aktivis!”

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH 


Penangkapan Delpedro Marhaen dan kawan-kawan (dkk) lainnya pada aksi 17+8 (tujuh belas plus delapan) adalah alarm keras bahwa negara kembali tergoda mengkriminalisasi suara warganya sendiri. Tuduhannya: provokasi, penghasutan, dan pelanggaran UU ITE. Salah satu “barang bukti” yang dipakai polisi hanyalah unggahan foto dari akun @lokataru_foundation—sebuah poster yang memuat hotline bantuan hukum bagi pelajar yang ingin atau telah mengikuti demonstrasi dan terancam sanksi dari sekolah atau aparat. Sebuah hotline advokasi dicurigai sebagai hasutan. Sebuah ruang aman bagi korban justru dipidana. Di sinilah absurditas itu mencapai puncaknya.


Pasal 160 KUHP, Pasal 45A ayat (3) UU ITE, dan Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Perlindungan Anak, yang disangkakan kepada Delpedro dkk, adalah pasal-pasal lentur yang kerap ditarik-ulur sesuai kebutuhan politik negara. Padahal Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa “penghasutan” hanya dapat dipidana jika memenuhi syarat clear and present danger: adanya ajakan yang secara langsung menimbulkan akibat nyata berupa kekerasan atau kerusuhan. Negara wajib membuktikan hubungan sebab-akibat yang konkret, bukan sekadar dugaan, bukan pula interpretasi subjektif aparat.


Namun, faktanya, tidak satu pun unggahan yang dijadikan bukti menunjukkan ajakan melakukan tindakan kekerasan. Poster advokasi itu bahkan tidak memuat diksi “lawan dengan kekerasan”, “buat kerusuhan”, atau bentuk instruksi eksplisit lain yang didefinisikan sebagai incitement dalam Pasal 20 ICCPR (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik)—yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU 12/2005. Sebaliknya, advokasi hak berkumpul secara damai justru dijamin penuh oleh Pasal 28E ayat (2)&(3) UUD 1945, Pasal 24–25 UU 39/1999 tentang HAM, hingga Pasal 9 UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.


Jika negara serius memakai standar hukum, maka yang dipersoalkan bukanlah aktivitas advokasi, melainkan apakah kekerasan pada demonstrasi terjadi karena ajakan tersangka? Sampai hari ini, tidak ada bukti kausalitas. Tak ada video yang menunjukkan mereka memerintah massa untuk merusuh. Tak ada rekaman komunikasi yang mengarah kepada mobilisasi kerusuhan. Tuduhan itu lebih tampak sebagai upaya meredam gelombang kritik terhadap penyelenggaraan negara yang justru terbukti amburadul: defisit transparansi, korupsi yang terus bertambah, manipulasi kebijakan publik yang semakin kasar, hingga kegagalan negara merespons situasi sosial secara beradab.


Justru publik tak lupa: para demonstran selama ini menuntut isu-isu yang sepenuhnya sah dan relevan—kebocoran anggaran, penangkapan aktivis, pemusatan kuasa politik, hingga carut-marut tata kelola pemerintahan. Negara lebih cepat menangkap pengkritiknya ketimbang menangkap para koruptor yang merampok anggaran rakyat. Penjara yang seharusnya dipenuhi pelaku korupsi justru diisi oleh anak-anak muda yang membela hak publik untuk bersuara.


Ironisnya, bila ingin mencari provokator sesungguhnya, publik masih ingat pernyataan Presiden yang menyebut ada “oknum yang mematikan HP ketika dihubungi” pada saat demonstrasi berlangsung. Pernyataan itu memunculkan spekulasi lebih liar daripada unggahan advokasi mana pun. Namun anehnya, energi aparat justru tidak diarahkan untuk mengusut aktor politik di balik kelalaian tersebut. Yang ditangkap malah mereka yang mengorganisir solidaritas.


Konstitusi tidak pernah memberi negara kewenangan mempidanakan kritik. Negara tidak boleh menggunakan hukum pidana untuk membungkam oposisi sipil. Ini bukan saja melanggar UUD 1945, tetapi juga bertentangan dengan prinsip necessity and proportionality dalam ICCPR serta melanggar standar Siracusa Principles tentang pembatasan hak sipil.


Sudah saatnya pemerintah mengakhiri pola kriminalisasi yang terus berulang ini. Delpedro dan kawan-kawan harus dibebaskan. Proses hukum yang tidak memenuhi unsur harus dihentikan. Negara tidak boleh menjadi rezim yang menakuti rakyatnya sendiri. Suara rakyat adalah fondasi demokrasi—dan suara itu tidak bisa dipidana.


Demikian.


Penulis Praktisi Hukum, Mantan Demostran Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)