Sidang Prapid Hadirkan 2 Saksi Ahli: Penetapan Tersangka Nenek 70 Tahun Dinilai Cacat Prosedur

Media Barak Time.com
By -
0

 


Baraktime.com|Medan

Sidang praperadilan (Prapid) dengan menghadirkan dua saksi ahli pidana serta tiga saksi biasa oleh pemohon berlangsung di ruang Cakra 4 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (1/12/2025).


Sebelum mendengar keterangan saksi ahli, majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Philip Mark Soenpiet terlebih dahulu mendengarkan keterangan tiga saksi yang dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon Eben Haezer Zebua SH,MH.


Secara bergantian, dua saksi mengaku mengenal dan salah satunya pernah bekerja sebagai humas di pabrik milik almarhum (alm) Yusuf suami JHL (pemohon). 


Dalam keterangan nya, kedua saksi juga mengetahui bahwa dari isteri pertama Alm. Yusuf mempunyai anak angkat yaitu 2 laki-laki, HTS dan AW yang kini keduanya juga telah tiada. 


"Dan setau saya, antara pemohon (JHL) dan anak angkat Yusuf tidak pernah terjadi keributan," terang saksi. 


Lebih lanjut dihadapan majelis dan termohon, dari hasil perkawinan antara JHL dan Yusuf, saksi menerangkan bahwa pasangan tersebut dikaruniai 2 anak perempuan.


Dari keterangan yang disampaikan dua saksi, Alm. Yusuf mempunyai aset berupa tanah di beberapa lokasi berbeda. 



Sementara, salah satu saksi pemohon, JHN yang juga ketua pengurus Cetiya rumah ibadah umat Budha saat memberikan kesaksiannya mengatakan, surat perkawinan yang dikeluarkan pada 9 September 2022 karena JHL telah memenuhi syarat yang diperlukan. 


Namun, atas terbitnya surat perkawinan tersebut, JHL malah dilaporkan ke Polrestabes Medan dengan tuduhan menggunakan surat palsu. 


Dalam persidangan, JHN menyampaikan pihak penyidik Polrestabes Medan hingga surat tersebut diduga dinyatakan palsu belum pernah memanggil dan meminta keterangan serta mempertanyakan keabsahannya. 


"Cetiya itu ada, dulunya berada di jalan Puri kemudian pindah ke alamat baru di jln pukat banting, bagaimana bisa dibilang tidak ada," ujar JHN. 


Persidangan yang berakhir menjelang magrib ini, juga turut mendengarkan keterangan dari dua ahli hukum pidana Dr Andi Hakim Lubis dari Universitas Medan Area dan Dr Khomaini dari Fakultas Hukum UPMI Medan.


Dalam keterangan nya kepada media, Dr. Andi menyampaikan, dalam proses penetepan tersangka, penyidik harus berpegang pada dua alat bukti serta kualitas dari alat bukti tersebut.


Dikarenakan dalam kasus ini polisi menetapkan tersangka terhadap seorang nenek berusia 70 tahun atas dugaan pemalsuan dokumen berupa buku nikah.


Menurutnya, polisi wajib memeriksa keabsahan dokumen dan meminta keterangan pihak yang mengeluarkan buku nikah tersebut.


“Dalam hukum, kekuatan alat bukti bukan hanya dilihat dari kuantitas, tetapi juga kualitas. Mestinya dalam kasus ini, polisi membuktikan keabsahan dokumen dengan meminta keterangan dari lembaga atau pihak yang mengeluarkan buku nikah untuk memastikan keabsahannya,” ujar Andi.


Sementara itu, Dr. Khomaini SH.,SE.,MH. menjelaskan bahwa praperadilan berfungsi menguji proses penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka oleh polisi.


Ia menilai melalui pandangan hukum sebagai ahli pidana terdapat kejanggalan dalam perkara ini.


Dimana Awalnya laporan terhadap JHN adalah dugaan pemberian keterangan palsu (Pasal 242 KUHP), namun dalam proses penyidikan berubah menjadi pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP).


“Dalam perspektif hukum, perubahan pasal tidak boleh serta-merta,” tegasnya.


Menurutnya, perubahan pasal harus melalui gelar perkara, adanya bukti baru, saksi baru, dan tersangka harus diberi tahu pasal yang dikenakan.


Khomaini juga menyebut ganjil karena pihak penerbit buku nikah tidak pernah diperiksa oleh penyidik.


“Bagaimana kita mengatakan surat itu palsu kalau pihak yang mengeluarkan dokumen tidak pernah diperiksa? Penyidik harus objektif, bukan subjektif,” tuturnya. (Red)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)